BENANG PUTIH & BENANG HITAM
(al-Khaith al-Abyadh wa al-Khaith al-Aswad)
Oleh Dr. Arwin Juli Rakhmadi Butarbutar
Firman Allah, “Makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dan benang hitam yaitu fajar” (QS. Al-Baqarah ayat 187). Ayat ini memberi penjelasan tentang waktu Subuh yang ditandai dengan fajar. Ayat ini memberi perumpamaan fajar dengan ‘benang putih’ dan ‘benang hitam’. Ada ragam interpretasi dan penafsiran di kalangan ulama terkait ‘benang putih’ dan ‘benang hitam’ ini. Demikian lagi para ahli bahasa tak luput mengurai dua terminologi ini. Berikut adalah beberapa definisi dan interpretasi ‘benang putih’ dan ‘benang hitam’ menurut para ahli bahasa dan ulama.
Ibn Faris (w. 395/1005) dalam “Maqayis al-Lughah” menyatakan kata ‘khaith’ sebagai sesuatu yang terbentang halus (imtidad asy-syai’ fi diqqah). Kata ‘al-khaith’ yang telah populer ini juga bermakna cahaya putih siang (bayadh an-nahar). Sementara itu ‘al-khaith al-aswad’bermakna gelap malam (sawad al-lail).
Ibn Manzhur (w. 711/1311) dalam “Lisan al-‘Arab”menyatakan, ‘al-khaith’ bermakna ‘as-silk’ (kawat), jamaknya ‘akhyath’dan ‘khuyuth’. Adapun firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 187, menurut Ibn Manzhur bermakna warna putih Subuh (bayadh ash-shubh) dan gelap malam (sawad al-lail) yang menyerupai benang halus. Menurut Abu Ishaq, seperti dikutip Ibn Manzhur, dari dua fajar itu (fajar kazib dan fajar sadik), yang pertama tampak kehitaman membentang (mu’taridh) yaitu ‘al-khaith al-aswad’, yang kedua tampak naik menyebar (mustathil) memenuhi ufuk yaitu ‘al-khaith al-abyadh’.
Sementara itu Ibn Taimiyah menjelaskan, penamaan cahaya putih siang (bayadh an-nahar) dan gelap hitam malam (sawad al-lail) dengan ‘al-khaith al-abyadh’ dan ‘al-khaith al-aswad’ menjadi dalil bahwa permulaan cahaya putih yang tampak di kegelapan secara lembut lagi halus, sedangkan ‘al-khaith’ meruncing (menjulang).
Fakhr ar-Razi (w. 606/1209) dalam tafsirnya menyatakan, ‘al-khaith al-abyadh’ itu meniscayakan fajar, dan kita mengerti bahwa yang dimaksud bukan Subuh kazib, tapi Subuh sadik. Lantas mengapa Subuh sadik disamakan dengan ‘al-khaith’ (benang), sedangkan Subuh sadik tidak disebut ‘mustathil’ (menyebar), sementara ‘al-khaith’ menyebar (mustathil)? Jawabannnya adalah, kadar warna putih (al-bayadh) yang ia menjadi penyebab penghalang awal Subuh sadik tidak menghambur (muntasyir), namun ia kecil dan halus (shaghiran daqiqan). Bahkan pebedaan antara sadik dan kazib adalah, kazib muncul tampak halus, sedangkan sadik muncul halus dan terus naik menyebar (mustathil).
Az-Zamakhsyari (w. 538/1143) dalam “Tafsir al-Kassyaf” menyatakan, ‘al-khaith al-abyadh’ adalah permulaan fajar saat mulai tampak membentang di ufuk seperti benang yang terurai, sedangkan ‘al-khaith al-aswad’ adalah cahaya yang memanjang dari gelap malam yang meyerupai dua benang, putih dan hitam.
Asy-Syaukani dalam “Fath al-Qadir” menyatakan benang (al-khaith)ini sebagai perumpamaan (tasybih baligh), dimana benang putih dimaksud disini adalah yang membentang (al-mu’taridh) di ufuk, bukan menjulang seperti ekor Serigala.
Ibn Jarir (w. 310/922) dalam “Tafsir Ibn Jarir ath-Thabary” menyatakan, benang putih dimaksud adalah cahaya putih siang (bayadh an-nahar), sedangkan benang hitam adalah gelap malam (sawad al-lail), dimana hal ini telah populer di kalangan Arab. Wallahu a’lam[]
Penulis, Dr. Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, Dosen dan Kepala Observatorium Ilmu Falak UMSU