Averroes dan Averoesme di Barat
Oleh: Dr. Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
“Averroes” adalah penyebutan untuk tokoh filsafat bernama Ibn Rusyd. “Averroes” adalah istilah yang lazim disematkan kepadanya. Nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd. Lahir di Cordova tahun 1126 M dan wafat tahun 1198 M. “Averroes” banyak mempelajari bidang ilmu, seperti hadis, bahasa, fikih, dan teologi. Dia juga menulis tentang agama dan filsafat, dan dia tercatat pernah menjabat hakim di Sevilla. Di dunia Islam, Ibn Rusyd dikenal sebagai tokoh filsafat yang banyak mengkaji dan mempelajari pemikiran filsafat Aristoteles. Beberapa karya filsafatnya antara lain: “Tahafut Tahafut”, “Fashl al-Maqal fima Baina al-Hikmah wa asy-Syari’ah Min at-Tishal”, dan “al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah fi ‘Aqa’id al-Millah”.
Karya dan pemikiran filsafat Ibn Rusyd sampai ke dunia Eropa adalah melalui aktivitas terjemah yang marak ketika itu. Karya-karya Ibn Rusyd yang telah diterjemahkan ke bahasa Ibrani dan Latin sangat cepat diterima dan menyebar dan lalu dipelajari. Pemikiran Ibn Rusyd populer di Barat diantaranya karena gagasan integrasi filsafat dan agamanya. Pasca penerjemahan karya-karya Ibn Rusyd ini menyebabkan dia lebih dikenal di Barat ketimbang di Timur. Di Barat, Ibn Rusyd lebih dikenal sebagai “Komentator Aristoteles” yang membawa pencerahan pemikiran rasional. Justru dengan terjemahan karya-karya Ibn Rusyd ke berbagai bahasa inilah para sarjana dan pemikir Barat mendapat pencerahan.
Momentum pengaruh pemikiran Ibn Rusyd di Barat adalah lahirnya apa yang disebut dengan “Averroisme”. “Averroisme” berasal dari nama “Averroes” yang di dunia Islam dikenal dengan Ibn Rusyd. Sejak abad ke 13 hingga 16 Averroism terus berkembang menjadi tren pemikiran Barat yang dominan, khususnya di Perancis. Gerakan ini berlangsung tidak kurang empat abad. ‘Averroisme” sendiri adalah terminologi yang dipersepsikan untuk merujuk pada interpretasi filsafat Aristoteles yang dipopulerkan oleh Ibn Rusyd dan dikembangkan lagi oleh pemikir-pemikir Barat.
Ibnu Rusyd tercatat menghabiskan waktunya untuk membuat komentar atas karya-karya Aristoteles dan berusaha mengembalikan pemikiran Aristoteles dalam bentuk aslinya. Dalam beberapa hal Ibnu Rusyd tidak sependapat dengan tokoh-tokoh filosof Muslim sebelumnya, seperti al-Farabi dan Ibnu Sina dalam memahami filsafat Aristoteles walaupun dalam beberapa persoalan filsafat ia tidak bisa lepas dari pendapat dari kedua filosof Muslim tersebut. Menurutnya pemikiran Aristoteles telah bercampur dengan unsur-unsur Platonisme.
Diantara tokoh Barat yang terkenal sebagai pelopor Averroisme adalah Siger de Brabant dan diikuti oleh murid-muridnya seperti Boethius de Decie, Berner van Nijvel dan Antonius van Parma. Para tokoh ini mempelajari, meneliti dan menelaah karya-karya ulasan Ibnu Rusyd terhadap filsafat Aristoteles. Landasan rasionalitas yang dikembangkan Ibnu Rusyd ternyata sangat menarik. Timbul kesadaran di kalangan sarjana-sarjana Barat untuk mengoptimalkan penggunaan akal dan meninggalkan paham-paham yang bertentangan dengan semangat rasional.
Ajaran-ajaran yang terilhami oleh pemikiran Ibnu Rusyd antara lain adalah pandangan tentang pembuktian keberadaan Tuhan dengan teori gerak. Sama dengan Ibnu Rusyd, mereka memandang bahwa segala sesuatu di dunia ini mesti ada yang menggerakkannya. Karena tidak mungkin ada rentetan gerak yang tiada hentinya itu tanpa ada penggeraknya, maka sampailah mereka pada kesimpulan adanya penggerak utama. Itulah yang dalam bahasa Ibnu Rusyd disebut “al-Muharrik al-Awwal” (Tuhan) atau “Prima Causa” menurut Aristoteles.
Berdasarkan pandangan ini, mereka juga mengikuti Ibnu Rusyd dalam pandangan mereka tentang teori kausalitas. Meskipun Tuhan adalah penyebab segala sesuatu, Tuhan hanyalah menciptakan akal pertama saja, sedangkan secara seterusnya diciptakan oleh akal-akal berikutnya. Inilah yang dimaksud Ibnu Rusyd dengan hukum-hukum alam terhadap penciptaan Tuhan. Jadi, sebagaimana Ibnu Rusyd, mereka memahami bahwa penciptaan Tuhan terhadap segala sesuatu bukanlah secara langsung, tetapi melalui hukum-hukum alam yang tetap yang telah diciptakan-Nya terhadap segala ciptaan-Nya tersebut.
Pada tahun 1270, paham Averroisme yang diajarkan Siger van Brabant dan murid-muridnya diharamkan oleh gereja. Para penguasa Kristen ketika itu menganggap ajaran Ibnu Rusyd berbahaya bagi akidah orang Kristen. Lalu, pada tahun 1277 pandangan-pandangan Averroisme secara resmi dilarang di Paris melalui sebuah undang-undang yang dikeluarkan gereja. Siger van Brabant sendiri akhirnya dihukum mati oleh gereja tujuh tahun kemudian. Pada tahun-tahun berikutnya, Paus semakin meningkatkan aksinya menentang universitas yang mengajarkan pemikiran Aristoteles dan Ibnu Rusyd. Banyak tokoh-tokoh Averroisme dihukum dan buku-buku karangan Ibnu Rusyd dibakar. Namun demikian, larangan dan kutukan gereja terhadap Averroisme tidak membuat surut perkembangan gerakan intelektual ini, sebaliknya malah semakin menyebar ke berbagai wilayah lainnya di Eropa.
Melihat kepada keadaan di atas, maka di lakukan usaha-usaha untuk mempertahankan dominasi mutlak gereja dan menolak gerakan Averroisme yang dilakukan oleh tokoh-tokoh gereja. Meskipun dalam beberapa sisi mereka dapat menerima prinsip-prinsip Aristotelian yang dikembangkan Ibnu Rusyd, dalam beberapa hal mereka menolak prinsip-prinsip Aristotelian dan “menasranikannya” seperti yang dilakukan oleh Arbertus the Great dan muridnya Thomas Aquinas. Keduanya adalah anggota ordo Dominican, sebuah ordo imam Katolik yang didirikan oleh St. Dominicus.
Gerakan Averroisme yang ditandai oleh semangat rasional inilah yang yang melahirkan renaisans di Eropa. Tokoh-tokoh Averroisme meyakini kebenaran pandangan Ibnu Rusyd tentang keharmonisan antara akal dan wahyu, filsafat dan agama, menimbulkan kesadaran bagi mereka untuk mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan sebagai warisan dari peradaban Yunani dan Islam.
Penulis, Dr. Arwin Juli Rakhmadi Butarbutar, Kepala Observatorium Ilmu Falaq (OIF) UMSU dan Anggota Komisi Fatwa MUI Sumatera Utara

