POLEMIK RUU MINOL
Oleh: Dr. Abdul Hakim Siagian, S.H., M.Hum.Dosen Fakultas Hukum UMSU
Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol (RUU Minol) masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2020 sebagai usul inisiatif DPR RI. Adapun pengusul dari RUU ini terdiri atas 21 anggota DPR, yaitu 18 orang dari Fraksi PPP, 2 orang dari Fraksi PKS, dan 1 orang dari Fraksi Gerindra. Berbagai polemik muncul atas RUU Minol ini.
Pihak yang kontra salah satunya menyatakan pendekatan undang-undang ini sangat infantil alias segala sesuatu dilarang. Apalagi ragam tradisi berkaitan dengan minuman alkohol yang telah lama ada di diri masyarakat juga tak bisa dipukul rata dengan satu kebijakan atau perundang-undangan.
Di sisi lain, pengetatan peredaran minol ini tentunya berdampak pada penerimaan negara dari cukai miras, baik minol produksi local maupun yang diimpor. Dikutip dari Kompas.com, penerimaan negara dari cukai Minuman Menggandung Etil Alkohol (MMEA) sampai akhir Juli lalu hanya sebesar Rp 2,64 triliun. Angka tersebut kontraksi 21,44 persen dibanding realisasi sama tahun lalu senilai Rp 3,36 triliun. Penurunan cukai dari minumal beralkohol ini lantaran banyak tempat-tempat pariwisata ditutup sementara akibat pandemi Covid-19. Adapun secara umum, penerimaan cukai per 31 Juni 2020 adalah Rp 88,82 triliun atau 51,35 persen dari targetnya. Penerimaan cukai yang terdiri atas cukai Hasil Tembakau (HT), Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA), dan Etil Alkohol (EA), tumbuh 7,01 persen dibandingkan bulan Juli tahun 2019. Penerimaan cukai dari MMEA didominasi penerimaan dari minuman beralkohol dari golongan A. Namun, dalam aspek perdagangan, pendapatan miras bagi negara diklaim tidaklah sebanding dengan risiko yang ditimbulkan dari minuman beralkohol.
Di pihak pro, minuman beralkohol (minol) adalah minuman yang diharamkan dalam beberapa kitab suci. Dalam islam, Seorang muslim dilarang mengkonsumsi minol karena mudharatnya lebih besar dibandingkan dengan manfaatnya. Selain itu, akibat minum minol juga sangat fatal bagi kesehatan. Minol atau minuman keras yang juga disebut dengan istilah khamr, beberapa kali disebutkan dalam islam dan semua ayat tersebut melarang umat muslim untuk meminum khamr berdasarkan Surat Al-Baqarah ayat 219, Allah menyebutkan bahwa meminum minuman keras atau khamr dan berjudi adalah dua hal yang memiliki dosa besar. Allah juga menyebutkan bahwa mudharat khamr lebih besar daripada manfaatnya. Selain itu, dalam surat Al-Maidah ayat 90 menyatakan, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. Sehingga perbuatan meminum minuman keras atau khamr adalah perbuatan syaitan yang harus dihindari oleh umat muslim.
Tidak hanya dilarang dalam agama islam, minol juga dilarang dalam agama Kristen. Larangan ini terdapat dalam Yesaya 5:22, yang menyatakan, “Celakalah mereka yang menjadi jago minum dan juara dalam mencampur minuman keras” dan Amsal 20:1 menegaskan bahwa minuman beralkohol hanya membuat orang menjadi rebut dan tidak bijak. Karena pemabuk umumnya suka membuat keributan. Oleh karena itu sebaiknya hindari saja dan jauhi jika memungkinkan.
Selain itu, pemenuhan keseluruhan hak asasi manusia termasuk hak asasi untuk memperoleh hidup sejahtera lahir dan batin, tempat tinggal serta lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan Kewajiban Negara dan tanggung jawab Pemerintah, sebagaimana tertuang dalam dalam Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Minol secara klinis menganggu kesehatan sebab menimbulkan gangguan mental organik, merusak syaraf dan daya ingat, odema otak, sirosis hati, gangguan jantung, gastrinitis, paranoid, dan jika diminum terus menerus dalam jangka panjang akan memicu munculnya penyakit kronis. Minol secara psikologis dapat merusak secara permanen jaringan otak sehingga menimbulkan gangguan daya ingatan, kemampuan penilaian, kemampuan belajar dan gangguan jiwa tertentu. Gangguan daya ingat biasanya merupakan ciri awal gangguan kejiwaan, seperti demensia, alzheimer, perubahan kepribadian (skizoprenia), serta gangguan mental kejiwaan lainnya. Dampak klinis dan psikologis ini selain berdampak pada kondisi jasmani dan psikis yang sakit dan membutuhkan biaya perawatan yang tinggi secara ekonomi juga berakibat pada rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia.
World Health Organization (WHO) menyatakan pada tahun 2014, alkohol membunuh 3,3 juta orang di seluruh dunia setiap tahun. Angka kematian akibat konsumsi alkohol ini jauh di atas gabungan korban AIDS, TBC, dan kekerasan. Kematian yang disebabkan alkohol termasuk kecelakaan lalu lintas akibat mabuk, kekerasan terkait alkohol, dan berbagai penyakit yang disebabkannya. Bahaya alkohol tak dapat dibendung lagi. Laporan teranyar WHO menyebutkan sebanyak 3 juta orang di dunia meninggal akibat konsumsi alkohol pada 2016 lalu. Angka itu setara dengan 1 dari 20 kematian di dunia disebabkan oleh konsumsi alkohol. Lebih dari 75 persen kematian akibat alkohol terjadi pada pria. Sebagian besar kematian disebabkan oleh insiden kecelakaan sebanyak 28 persen. Posisi itu diikuti oleh 21 persen kematian akibat gangguan pencernaan dan 19 persen oleh gangguan jantung. Di luar itu, infeksi, kanker, dan gangguan mental menjadi pemicu kematian yang diakibatkan alkohol.
Selain dampak yang ditimbulkan terhadap kesehatan dan psikologis, minol dianggap menjadi faktor pemicu tingginya angka kriminalitas di beberapa daerah di Indonesia, dimana 58% kasus yang terjadi akibat kondisi mabuk atau pengaruh minol. Kondisi ini sering menyulut perkelahian/tawuran, menganggu ketertiban umum, hilangnya rasa aman, dan rusaknya tatanan sosial dalam masyarakat. Inilah yang menjadi urgensi dibentuknya RUU Minol.
Hukum merupakan alat rekayasa sosial. Roscoe Pound mengemukakan hukum tidak hanya dapat digunakan untuk melanggengkan kekuasaan, namun hukum dapat berfungsi sebagai alat rekayasa sosial (law as a tool of social engineering). Pound sebagai penganut aliran sociological jurisprudence berpendapat bahwa hukumlah yang seharusnya menjadi instrument/alat untuk mengerahkan masyarakat menuju pada sasaran yang hendak dicapai, bahkan jika diperlukan hukum dapat digunakan untuk menghilangkan berbagai kebiasaan masyarakat yang bersifat negatif. Bahkan Mochtar Kusumaatmadja menyatakan pendayagunaan hukum sebagai sarana untuk merekayasa masyarakat menuju scenario kebijakan pemerintah (eksekutif) amatlah terasa diperlukan oleh negara-negara berkembang, jauh melebihi kebutuhan negara-negara industry maju yang telah mapan karena negara-negara maju memiliki mekanisme hukum yang telah “jalan” untuk mengakomodasi perubahan-perubahan di dalam masyarakat, sedangkan negara-negara berkembang tidak demikian.
Bila memperhatikan dampak konsumsi alkohol di Indonesia, maka telah sesuai dibentuknya RUU Minol dengan fungsi hukum sebagai social engineering. Larangan minol bertujuan melindungi masyarakat dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh minol; menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya minol; dan menciptakan ketertiban dan ketentraman di masyarakat dari gangguan yang ditimbulkan oleh peminum minol.
RUU Minol terdiri dari 7 bab dan 24 pasal. Dalam Pasal 1 Ayat 1, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan minuman beralkohol pada RUU ini adalah minuman yang mengandung etanol yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi. Baik dengan cara memberikan perlakuan terlebih dahulu atau tidak, menambahkan bahan lain atau tidak, maupun yang diproses dengan cara mencampur konsentrat dengan etanol atau dengan cara pengenceran minuman mengandung etanol. Kemudian pada Bab II tentang Klasifikasi, Pasal 4 Ayat (1) mengatur beberapa jenis minol. Golongan A (kadar etanol kurang dari 5 persen), Golongan B (kadar etanol antara 5 sampai 20 persen), Golongan C (kadar etanol antara 20 sampai 55 persen). Dalam pasal tersebut, dikatakan bahwa minol tradisional dan campuran atau racikan juga dilarang.
Produsen hingga penjual minol terancam pidana dalam RUU Larangan Minuman Beralkohol. Ketentuan ini diatur dalam Bab III Pasal 5 RUU yang berbunyi: “Setiap orang dilarang memproduksi Minuman Beralkohol golongan A, golongan B, golongan C, Minuman Beralkohol tradisional, dan Minuman Beralkohol campuran atau racikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4”. Selain itu, dalam Pasal 6 RUU ini melarang setiap orang memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan, dan/atau menjual minol di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Adapun sanksi bagi orang yang melanggar ketentuan tersebut adalah sebagaimana Pasal 18 dan Pasal 19 yaitu pidana dengan pidana penjara paling sedikit 2 tahun dan paling lama 10 tahun atau denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Apabila pelanggaran yang dilakukan mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain akan dipidana dengan pidana pokok ditambah satu pertiga.
Larangan terhadap konsumen minol golongan A, golongan B, golongan C, minol tradisional, dan minol campuran atau racikan terdapat dalam Pasal 7. Sedangkan bagi yang melanggarnya, terdapat dalam Pasal 20 yaitu dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 3 bulan dan paling lama 2 tahun atau denda paling sedikit Rp 10 juta dan paling banyak Rp 50 juta. Jika perbuatan mengkonsumsi alkohol mengganggu ketertiban umum atau mengancam keamanan orang lain dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 1 tahun dan paling lama 5 tahun atau denda paling sedikit Rp. 20 juta dan paling banyak Rp100 juta. Dalam hal perbuatan tersebut mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain, dipidana dengan pidana pokok ditambah 1/3 (satu pertiga).
RUU Minol ini sebenarnya adalah pengaturan bukan pelarangan secara massif. Tentunya dalam RUU Minol ini terdapat pengecualian agar tidak melanggar keanekaragaman dan kebhinekaan Indonesia mengingat minol juga digunakan dalam beberapa kegiatan seperti kegiatan keagamaan dan lainnya. Terlebih, mengingat penerimaan negara dari penerimaan cukai yang terdiri atas cukai Hasil Tembakau (HT), Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA), dan Etil Alkohol (EA), tentunya dibutuhkan pengecualian penggunaan minol. Pengecualian dari larang-larangan tersebut terdapat dalam pasal 8. Minol diperbolehkan untuk kepentingan terbatas, seperti adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi, dan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan “tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan” meliputi toko bebas bea, hotel bintang 5 (lima), restoran dengan tanda talam kencana dan talam selaka, bar, pub, klub malam, dan toko khusus penjualan Minuman Beralkohol. Ketentuannya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP). Sehingga dengan adanya RUU Minol ini bukan berarti pembatasan sepenuhnya terhadap minol. Bar, pub, klub malam yang menjadi tempat pembelian minol masih diperbolehkan dengan izin tertentu.
Di dalam Pasal 9, dijelaskan bahwa pemerintah wajib mengalokasikan dana dari pendapatan cukai dan pajak minol—yang didapat dari kepentingan terbatas—sebanyak 20 persen untuk sosialisasi bahaya minol dan merehabilitasi korban minol. Selama ini, memang telah terdapat ketentuan mengenai pidana bagi orang yang mabuk sebagaimana diatur dalam Pasal 492 KUHP yang menyatakan, barang siapa dalam keadaan mabuk di muka umum merintangi lalu lintas, atau mengganggu ketertiban, atau mengancam keamanan orang lain, atau melakukan sesuatu yang harus dilakukan dengan hati-hati atau dengan mengadakan tindakan penjagaan tertentu lebih dahulu agar jangan membahayakan nyawa atau kesehatan orang lain, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam hari, atau pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.
Selain itu, Pengaturan mengenai minol diatur dalam Pasal 204 KUHP dan Pasal 300 KUHP, yang memuat ancaman pidana bagi pelaku peredaran minol tanpa izin. Terhadap peredaran minol tanpa izin, bagi pelakunya akan diancam dengan pidana penjara dan/atau denda yang diatur dalam Pasal 204 KUHP yang memuat “Barangsiapa menjual, menawarkan, menyerahkan atau membagi-bagikan barang yang diketahuinya membahayakan nyawa atau kesehatan orang, padahal sifat berbahaya itu tidak diberitahu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Disamping itu dalam Pasal 300 KUHP juga mengatur ancaman pidana pelaku peredaran minol yang memuat ketentuan “Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah bagi barangsiapa dengan sengaja menjual atau memberikan minuman yang memabukkan kepada seseorang yang telah kelihatan mabuk”.
Hal yang berbeda dalam RUU Minol ini adalah pidana bagi yang mengkonsumsi minol tidak hanya diterapkan pada orang mabuk di tempat umum dan merintangin lalu-lintas, mengganggu ketertiban umum, dan sebagainya, namun diterapkan pada setiap orang yang mengkonsumsi minuman beralkohol. Terlebih lagi, terdapat hukuman pidana yang lebih berat dalam RUU Minol.
Pemerintah dalam menangani kasus peredaran minol tanpa izin dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kota mengamanatkan perdagangan minuman beralkohol merupakan urusan pemerintah daerah. Contohnya di Bali pengaturan pidana bagi pelaku peredaran minuman beralkohol tanpa izin diatur dalam Perda Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol Di Provinsi Bali. Perda ini lebih menerapkan pidana denda sebagai pertanggungjawaban pelaku peredaran minol tanpa izin di Bali. Penerapan sanksi pidana denda dalam peraturan daerah merupakan aktifitas atau kegiatan dalam rangka mewujudkan atau merealisasikan kebijaksanaan yang telah ditetapkan.
Di sisi lain, patut diapresiasi kebijakan Gubernur Papua, Lukas Enembe, yang menerapkan Perda Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pelarangan Peredaran Minuman Keras di Bumi Cenderawasih. Pendekatan yang dilakukan Gubernur Papua bukanlah agama, tetapi rasional dan budaya karena berkorelasi dengan produktivitas, kesehatan, dan kematian masyarakatnya. kebiasaan minum miras diduga menjadi penyebab kematian pemuda di Papua. Tak hanya itu minum minuman keras juga dapat menyebabkan dampak buruk lainnya.
Sedangkan dalam RUU Minol, dalam Pasal 10 dan 11, pengawasan minol akan dilakukan oleh tim terpadu yang dibentuk oleh pemerintah dan pemerintah daerah, yang isinya perwakilan Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Polri, Kejaksaan Agung, dan perwakilan tokoh agama/tokoh masyarakat. Pengetatan aturan dalam RUU Minol ini diharapkan menciptakan keseragaman pengawasan terhadap minol di setiap daerah. Mengingat tujuan RUU ini penting, maka harus dilengkapi kajian yang komprehensif terhadap naskah akademis RUU Minol agar tidak terjadi problematika dalam pengaturan minol ke depannya. (*)

