• Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
Infomu
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
No Result
View All Result
Infomu
No Result
View All Result
Kolom Dr. Abdul Hakim Siagian: OTDA di Omnibus Law

Dr. Abdul Hakim Siagian

Kolom Dr. Abdul Hakim Siagian : Masih Impor Beras ?

Syaiful Hadi by Syaiful Hadi
11 April 2021
in Kolom
86

Masih Impor Beras?

Oleh : Dr. Abdul Hakim Siagian, SH., M.Hum

“Orang bilang tanah kita tanah surga; tongkat kayu dan batu bisa jadi tanaman” sepenggal lirik lagu milik Koes Plus memang sudah tidak asing di telinga kita. Begitu juga terhadap makna kata yang tidak bisa dipungkiri mengingat kondisi geografis Indonesia menjadikannya dikenal sebagai negara agraris sebab tanahnya yang subur dan hasil pertaniannya yang unik dan berlimpah sehingga ‘menggoda’ negeri-negeri lain untuk singgah disini. Sebutan negara agraris sudah umum dikenal masyarakat sejak pendidikan dasar di mata pelajaran sosial tingkat awal. Banyak kisah sejarah yang menuliskan sebutan itu. Mereka bilang dimulai sejak masa prasejarah, atau sejak awal zaman kerajaan Hindu Budha, atau sebagainya, sehingga membuat khalayak menerimanya. Tetapi, apakah sebutan negara agraris masih relevan hingga saat ini?.

Dalam catatan sejarah, Indonesia memang pernah mengalami masa swasembada pangan, khususnya komoditas beras, pada masa orde baru yakni dekade 1980-an. Namun saat ini, sebagai negara agraris, jumlah lahan pertanian tidak sebanding dengan jumlah petani. Lahan pertanian di Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2012 mencapai 464.827 ha, lalu menurun pada tahun 2013 menjadi 452.295 ha, kemudian pada tahun 2014 kembali berkurang menjadi 449.213 ha yang terdiri dari sawah irigasi 280.960 ha dan sawah non irigasi 168.253 ha (sumber: sumutprov.go.id). Sedangkan mata pencaharian penduduk Indonesia pada umumnya adalah petani. Pada Februari 2016, BPS mencatat terdapat 38,29 juta warga Indonesia (31,74% ) bekerja di sektor pertanian.

Indonesia termasuk negara penghasil beras ketiga terbesar di dunia setelah China dan India. China dan India merupakan negara produsen utama dunia karena kedua negara tersebut berkontribusi sebesar 54% dari pasokan beras dunia. Selain itu, kedua negara tersebut termasuk negara net eksportir beras. Berbeda dengan Indonesia, meskipun negara ketiga penghasil beras terbesar di dunia. Indonesia termasuk negara net importir hanya sebesar 8,5% atau setara 51 juta ton sejak tahun 1980an. Kemudian disusul oleh negara eksportir beras yang terkenal yaitu Vietnam dan Thailand. Namun kedua negara tersebut tidak memiliki kontribusi yang cukup besar pada pasokan beras dunia walaupun tergolong negara eksportir beras terbesar. Vietnam berkontribusi 5,4% dan Thailand hanya berkontribusi 3,9% pasokan beras dunia. Maka dari perbandingan tersebut, sebenarnya Indonesia termasuk negara penghasil beras terbesar di dunia.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya impor beras sebanyak 356.286 ton secara kumulatif sepanjang tahun 2020. Data impor beras tahun 2020 tercatat berasal dari berbagai negara dengan total nilai setara 195,4 juta dollar AS. Angka tersebut merupakan akumulasi nilai impor beras ke Indonesia dari Januari hingga Desember 2020. Sepanjang 2020 tersebut, Indonesia paling banyak mengimpor beras dari Pakistan yakni sebesar 110.516 ton atau senilai 41,51 juta dollar AS.
Wacana impor beras seakan menjadi kontradiksi dengan keadaan Indonesia sebagai negara penghasil beras terbesar di dunia, tak pelak wacana tersebut menjadi ‘bola panas’ bagi pemerintah. Bagaimana tidak, sekalipun pemerintah berinisiatif menunda pengadaan impor beras namun bukan berarti impor beras dihentikan atau dibatalkan.

Tak kalah ironis, mengingat di tengah panen raya, pemerintah justru berencana melakukan impor sebanyak 1 juta sampai 1,5 juta ton beras. Pemerintah berdalih keputusan impor untuk mengantisipasi persediaan beras sampai akhir tahun lantaran stok di Bulog semakin menipis. Berdasarkan data Bulog yang diolah Badan Ketahanan Pangan pada 7 Maret 2021, stok beras Bulog sebesar 869.151 ton, yang terdiri dari stok komersial sebesar 25.828 ton dan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang sebesar 843.647 ton.

Padahal seharusnya, CBP minimal 1,5 juta ton. Perdebatan yang terjadi hampir sebulan terakhir oleh presiden diperkirakan menjadi penyebab anjloknya harga gabah di tingkat petani. Presiden memastikan bahwa tidak ada impor beras, setidaknya hingga bulan Juni mendatang.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) akan terjadi peningkatan produksi beras pada tahun ini. Mengingat pada April mendatang pihak BPS memperkirakan produksi padi akan menyentuh angka produksi sebanyak 14 juta ton, sedangkan kebutuhan diperkirakan sebanyak 10 juta ton hingga 11 juta ton. Artinya terdapat surplus sekitar 4 juta ton. Selanjutnya pada Mei dinyatakan surplus berlanjut. Lalu Juni biasanya tercipta keseimbangan antara produksi dan konsumsi. Beragam pertanyaan bermunculan terkait impor beras yakni, bilamana produksi beras surplus mengapa terkesan pemerintah ‘ngotot’ untuk impor? Ataukah masih terjadi perbedaan data antara BPS dengan Kementerian Pertanian seperti waktu lalu? Lalu mengapa justru terkesan para pembantu presiden bersemangat mengagendakan impor beras tanpa mengikutsertakan pihak yang memiliki tupoksi dalam bidang pertanian? Apakah kebijakan impor beras hanya diputus oleh orang-orang tertentu saja tanpa adanya pertimbangan dari Bulog?.

Impor beras saat ini, tidak dapat diterima. Hal tersebut didasarkan pada alasan-alasan yakni, pertama, keputusan rencana impor pada momen yang tidak tepat. Keputusan rencana impor ini dirasa tidak tepat ketika disampaikan saat tejadi panen raya. Tanpa rencana tersebut pun biasanya harga gabah di tingkat petani saat panen raya akan mengalami penurunan. Hal ini terkait dengan suplay yang melimpah. Hukum ekonomi sederhana akan memungkinkan hal demikian.

Di samping itu, panen raya yang terjadi pada saat musim hujan seperti ini seringkali menjadi alasan bagi pedagang/penebas/tengkulak untuk menurunkan penawarannya. Ini dilakukan dengan alasan tingkat kebasahan atau kadar air gabah yang lebih tinggi dibanding saat panen di luar musim hujan. Sehingga akan menjadi beban lebih pada tiap satuan berat gabah. Alhasil persentase susutnya hingga menjadi beras akan lebih tinggi.

Kedua hal tersebut biasanya menjadi senjata bagi pembeli dan petanipun tidak berkutik, terlebih pastinya petani tidak memiliki alat pengukur kadar air. Apalagi ditambah dengan pernyataan pemerintah yang akan melakukan impor beras, yang membuat petani dan pedagang semakin khawatir akan terjadi semakin menurunnya harga beras ketika produk impor akhirnya jadi masuk ke pasar. Beberapa hal ini terbukti ketika berbagai sumber pemberitaan yang menyatakan terjadi penurunan harga gabah di tingkat petani yang hampir merata di berbagai wilayah sentra produksi padi, bahkan hingga dibawah Harga Patokan Pemerintah (HPP).

Kedua, rencana impor beras juga akhirnya menjadi polemik ketika dikaitkan dengan kondisi data yang ada saat ini dan beberapa waktu yang lalu. Data produksi dan data potensi tidak mendukung dilakukannya impor beras saat ini. Rencana impor beras justru disampaikan ketika beberapa hari sebelumnya BPS merilis produksi beras tahun 2020 dan potensi produksi beras subround satu 2021. Pada periode Januari sampai dengan April 2021 potensi produksi beras nasional sebanyak 14,54 juta ton. Jika dibandingkan dengan periode yang dua tahun sebelumnya, angka tersebut menunjukkan jumlah yang lebih tinggi. Di mana produksi pada tahun 2019 dan 2020 masing-masing sebanyak 13,63 juta ton dan 11,46 juta ton.

Sedangkan kebutuhan beras pada periode tersebut sebesar 9,72 juta ton. Dengan demikian potensi surplus 4,81 juta ton yang terjadi pada pada subround I/2021 juga lebih tinggi dibanding selama dua tahun sebelumnya. Jika hal tersebut yang didukung oleh perkiraan BMKG yang menyatakan tahun ini sebagian besar wilayah Indonesia lebih basah dibanding tahun 2020 yang lalu, maka sangat dimungkinkan produksi dan surplus yang terjadi selama tahun ini akan lebih tinggi dibanding tahun 2019 dan 2020. Padahal dengan surplus yang lebih rendah pada dua tahun sebelumnya saja sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan plus cadangan tanpa harus melakukan impor.

Pernyataan presiden untuk mengakhiri polemik terkait rencana impor beras sepertinya tidak serta merta berkelindan terhadap beras saja melainkan bersenggolan dengan gabah. Wacana impor beras terbukti ‘mengacaukan’ harga gabah petani. Alhasil kesejahteraan petani menjadi menurun, ketika harapan panen raya akan menghasilkan keuntungan yang lebih justru mengalami kerugian. Penurunan harga gabah ini telah dimulai sejak bulan Februari yang lalu sebesar 3,31 persen dibanding bulan Januari dan nilai tukar usaha pertanian tanaman pangan menurun 0,99 persen menjadi 99,78 persen (kurang dari 100).

Menipisnya stok Bulog setelah adanya program bantuan sosial (bansos) beras selama kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), antisipasi dampak banjir dan meruyaknya pandemi Covid-19 menjadi alasan mengapa impor beras perlu dilakukan. Akan tetapi faktanya, cadangan beras Bulog memang menipis. Tapi apakah iya, impor menjadi satu-satunya solusi menambah persediaan beras?

Padahal, bila melihat potensi produksi panen raya tahun 2021, seharusnya pemenuhan stok beras cukup dengan menyerap produksi dalam negeri. Sebab, menengok data Badan Pusat Statistik (BPS), potensi produksi periode Januari-April Tahun 2021 diperkirakan akan mencapai 14,54 juta ton beras. Angka itu mengalami kenaikan 3,08 juta ton (26,84%) dibandingkan dengan produksi beras pada periode yang sama tahun 2020 sebesar 11,46 juta ton. Meningkatnya potensi panen raya itu sejalan dengan penambahan areal luas panen padi JanuariApril 2021 yang mencapai 4,86 juta hektar, atau mengalami kenaikan sekitar 1,02 juta hektar dibandingkan Januari-April 2020 yang sebesar 3,84 juta hektar.

Dengan besarnya potensi tersebut, pemerintah harusnya prioritas menyerap beras dan gabah dari petani Indonesia, bukan malah mendatangkannya dari luar negeri. Tapi ini belum apa-apa pemerintah sudah mengumumkan akan mengimpor beras dalam waktu dekat. Celakanya, kebijakan itu diumumkan jelang panen raya. Sudah pasti rencana itu berpotensi menekan harga gabah dan merugikan petani lokal. Terbukti di sejumlah daerah sudah berdampak langsung pada turunnya harga gabah petani secara signifikan. Bahkan, banyak daerah melaporkan harga gabah petani sudah di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) di tingkat petani yang sebesar Rp 4.200 per kg.

Informasi impor beras yang saat ini menyeruak berasal dari Menteri Perdagangan atas pernyataannya dikarenakan membantu petani dalam rangka menjaga stabilitas harga, hal itu pantas diapresiasi namun nyatanya ini membuat masalah bagi petani, hal lain yang tentu harus dicermati apakah aktivitas bisnis impor ini tanpa rente? Oleh karena itu KPK harusnya bisa memberikan penjelasan dan atau menentukan sikap mengenai ‘jor-jorannya’ impor bertali temali dengan rente atau tidak.

Kampanye ‘stop berbagai impor’ diperkuat pernyataan tegas Presiden untuk mencintai produk dalam negeri dan membenci produk luar realisasinya barangkali untuk periode yang akan datang, namun pun demikian kita masih optimis menunggu berbagai janji yang sudah disampaikan sebab janji itu adalah hutang bukan menambah hutang. Pantas diapresiasi Presiden sudah menyatakan tidak akan mengimpor beras sampai bulan juni 2021, pertanyaannya apakah setelah bulan juni bisa kemungkinan kita sudah mengekspor beras atau mungkin juga akan mengimpornya, sementara di lapangan harga gabah petani sudah menjadi objek ‘permainan’ para tengkulak atas nama harga pasar. Mungkin kampanye ‘stop berbagai impor’ itu realisasinya barangkali untuk periode selanjutnya.

Penulis, Dr. Abdul Hakim Siagian, Pakar Hukum UMSU, Wakil Ketua PW Muhammadiyah Sumatera Utara. Tinggal di Medan

Bagikan ini:

  • Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
  • Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
  • Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
  • Klik untuk mengirimkan email tautan ke teman(Membuka di jendela yang baru) Surat elektronik
  • Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
  • Klik untuk mencetak(Membuka di jendela yang baru) Cetak
Tags: impor beraskolom abdul hakim siagian
Previous Post

Menunggu Perombakan Kabinet Jilid II, Siapa Menteri yang Akan Dicopot

Next Post

Bukan Hanya Pesantren, Pendirian Rumah Sakit Juga Bagian dari Amal Saleh

Next Post
Jakarta Tarik Rem Darurat, Kondisi Hari ini Lebih Berbahaya

Bukan Hanya Pesantren, Pendirian Rumah Sakit Juga Bagian dari Amal Saleh

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • Beranda
  • Kabar
  • Literasi
  • Kolom
  • Kesehatan
  • Muktamar
  • Pendidikan
  • Redaksi
Call us: +1 234 JEG THEME

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.