Demokrasi dan Kentut Pak Dhe
Oleh, Arifulhaq Aceh
Demokrasi di Indonesia identik dengan sebuah perjuangan yang terbungkus dalam proses sejarah panjang, alamiah dan diterapkan dalam sistem politik. Pengaruhnya adalah sebuah perubahan mendasar yang menyokong keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengantarkan pada keberhasilan (Soetan Syahrir, dkk,1955).
Sejak reformasi digulirkan pada 1998, tercatat sistem pemilu dan perpolitikan di tanah air telah banyak berubah salah satunya adalah dari single majority menjadi multi party system. Secara umum, demokrasi di Indonesia, lembaga dan aturan main telah dihadirkan, tetapi secara kualitas, dan sistem yang berlangsung belum mencerminkan karakter demokrasi substantif, lantaran minim kapasitas. Pemilu hanya menjadi media para elite politik untuk mendapatkan suara masyarakat (Syarif Hidayat,LIPI-2020).
Ketika pemilu usai, sayup-sayup janji manis yang ditabur tinggal kenangan dan masyarakat pun hanya gigit jari. Suara yang dititipkan kepada para elite politik tidak berdampak pada perbaikan kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan periode pascapemilu. Lembaga perwakilan rakyat sebagai penyambung lidah rakyat “beku” tidak berperan efektif memenuhi tugasnya.
MEROKET
Jargon “ekonomi meroket” dan “topik keunggulan yang begitu pesat di berbagai bidang” menghiasi media massa berbulan-bulan seharusnya berbanding lurus dengan indeks demokrasi. Berita yang dirilis The Economist Intelligence Unit (EUI) tahun lalu (2021) menempatkan Indonesia pada peringkat ke-52. Sebagai warga NKRI tentu urutan “prihatin” ini mengimplikasikan bahwa kesejahteraan penduduk belumlah menunjukkan tingkat yang membahagiakan.
Kalangan pendukung penguasa khususnya para buzzer tentu tak pernah mengakui implikasi keprihatinan ini, namun berbagai bukti memang menunjukkan bahwa peringkat demokrasi Indonesia era pemerintahan yang sekarang berada jauh dibawah peringkat demokrasi Indonesia di era presiden sebelumnya. Hal ini terungkap dari temuan yang diungkapkan oleh berbagai lembaga internasional pengamat demokrasi yang menyiarkan masalah tersebut di berbagai media.
Freedom House, salah satu lembaga pemerhati dan pendukung demokrasi internasional, memasukkan Indonesia sebagai negara party free, dengan nilai yang berada di urutan bawah dalam beberapa tahun terakhir. Berbeda jauh di bawah era Presiden SBY yang berhasil membawa Indonesia cukup lama bertahan sebagai Negara yang sukses berdemokrasi.
Selanjutnya, perkembangan demokrasi dan implikasinya di NKRI dipertegas oleh catatan koalisi masyarakat sipil seperti Amnesty Internasional yang menyiarkan berbagai tragedi di tanah air yakni penangkapan pihak-pihak yang berbeda pendapat dengan penguasa meningkat setiap tahun. Hasil survei yang dilakukan menunjukkan bahwa warga semakin takut berbicara dan berekspresi di muka umum karena jerat UU ITE. Ditambah adanya intimidasi berupa peretasan akun sosial media hingga serangan buzzer kepada pihak yang kritis terhadap pemerintah.
EFEK DEMOKRASI
Di era demokrasi yang semakin memanas, sikap masyarakat yang apatis, “nrimo”, atau cuek bebek adalah fenomena baru yang menarik untuk dikaji secara akademik. Berbagai persoalan yang langsung berimbas pada masyarakat bawah seperti; BBM naik, harga barang selangit, inflasi tinggi, penegakan hukum yang diskriminatif, lahan-lahan rakyat yang diserobot oleh mafia maupun mengatasnamakan kepentingan umum, lapangan kerja yang sulit, kurikulum pendidikan yang cespleng, gizi buruk,KKN yang merajalela,narkoba,judi,
Carut marut keadaan ini pada satu sisi menjadi alasan munculnya sosok “Ratu Adil” yang memberikan solusi instan. Kapan ? Ya, saat genderang Pemilu mulai ditabuh. Semua pihak paham hal ini namun tetap tak berdaya menghadapinya. Berbagai model dan gaya kepemimpinan muncul. Duit, sembako,bansos, hibah atau pinjaman pribadi tiba-tiba saja ditabur baik mengatasnamakan pribadi maupun kelompok dan masyarakat pun sepertinya faham imbalan apa yang harus mereka berikan. Ya, apalagi kalau bukan “mencucuk” di bilik suara.
Politik sebagai bagian dari demokrasi memungkinkan adanya kebebasan yang setara dan bebas menyatakan sikap maupun berorasi di tengah kerumunan. Para Caleg, Bupati, Gubernur, hingga Capres, memu-muji dirinya setinggi langit. Begitu juga para fansnya, entah karena apa yang membuat mereka tetap semangat dan mengelu-elukannya setengah hidup bahkan rela mati membela pujaannya.
Selanjutnya, oposan membalas dengan mencari-cari kelemahan pihak yang berseberangan mulai dari cara yang halus hingga licik mereka jadikan senjata ampuh demi menjatuhkan lawan-lawannya. Hari ini A, besok menjadi B dan seterusnya. Hari ini memuji-muji sang lawan sebagai sosok dermawan (dewa penolong), besoknya sudah menjadikannya sebagai musuh bebuyutan.
Magnet kekuasaan menjadikan para pesaing kekuasaan tidak berhenti sampai di situ saja.Peran media massa, cetak maupun digital semakin mempertajam perbedaan bahkan mengancam negeri.Setiap hari perbendaharaan kata berupa makian,hoax,fitnah, sampai umpatan berhamburan bak air mengalir. Politik selalu saja penuh dengan intrik, tipu-daya, dan kemunafikan adalah hal yang sudah tidak asing lagi memang.
Oleh karena itu tak bisa dipungkiri lagi jika politik pun sudah keluar dari nilai-nilai hakiki sebuah kebenaran, tercemar karena ambisi para pesaing. Segala cara dilakukan demi mengejar sebuah kekuasaan. Politik telah melangkah jauh dari makna yang sesungguhnya. Gelar akademik yang melekat seharusnya menjadi penangkal kebobrokan malah menjadi daya tawar untuk bersinergi dengan nafsu si angkara murka, ya apalagi kalau bukan untuk mendapatkan kursi kekuasaan.
Maka, jelas dan pasti, politik bagi para elit dan pemujanya telah beranalogi bak kentut belaka ketika dikeluarkan membuat situasi tak nyaman karena orang lain menciumnya. Orang normal pasti setuju bahwa kentut adalah proses metabolisme dalam perut yang dikeluarkan melalui dubur. Sebagai contoh, sudah tahu korupsi adalah perbuatan mealnggar hukum akan tetapi demi memenuhi ambisi pribadi mereka lakukan juga demi mendapatkan kekayaan dan julukan orang hebat.
Akan tetapi bila sang idola “Pak Dhe”yang kentut di tengah kerumunan,sang pemuja pura-pura tidak tahu dan bahkan wajahnya sumringah plus senyum kepuasan.Aneh bin ajaib…! Kentut yang sudah jelas-jelas bau dan tak sehat malah diterima dengan lapang dada. Meskipun orang di sekitar bertanya-tanya siapa yang kentut itu, yang bersangkutan malah ikut keheranan dan bertanya tanpa beban padahal orang lain sudah mabuk tak ketulungan.
Demikianlah,untuk memahami demokrasi yang sedang mengepakkan sayapnya di negeri ini,maka dunia politik yang diamalkan para elit dan “Pak Dhe”beserta pendukungnya yang berbuat “serba aneh”pun menjadi aneh dalam bertindak. Kentut yang sudah jelas bau malah tak berefek pada hidungnya.Gegara langkah-langkah licik yang dimainkan, politik pun jadi tercemar.
*Penulis adalah Guru SMK Negeri 1 Pancur Batu Deli Serdang/Dosen FKIP UMSU Medan, Doctor (Cand.) in Applied Linguistics Program of UNIMED Medan, Wakil Ketua PDM Deli Serdang, dan Aktivis Sosial

