Kholid Nelayan: “Hanya Ada Dua Konsekuensi, Dipenjara atau Mati”*
Jakarta, InfoMu.co – Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menggelar Diskusi Publik dengan tema “Pagar Laut, Nasib Nelayan, Rakyat Pesisir, dan Ironi Negara Bahari” pada Jumat (31/1/2025) siang. Acara yang digelar di Aula Kantor PP Muhammadiyah Jakarta ini bertujuan untuk mengangkat isu-isu terkini yang menyangkut nasib nelayan dan masyarakat pesisir yang terancam hak-haknya akibat aksi korporasi besar yang merambah kawasan laut dan pesisir.
Salah satu pembicara dalam diskusi tersebut adalah Kholid, seorang aktivis nelayan yang kini sedang viral lantaran dikenal gencar memerjuangkan hak masyarakat pesisir, khususnya di wilayah Banten. Ia tampil bersama Gufroni (Ketua Bidang Riset dan Advokasi Kebijakan Publik LBH-AP PP Muhammadiyah); Prof. Suaidi (Koordinator Bidang Pemberdayaan Nelayan dan Masyarakat Pesisir MPM PP Muhammadiyah); dan Riky Ferdianto (Redaktur Desk Hukum dan Kriminalitas Majalah Tempo). Kholid sendiri telah lama berjuang melawan korporasi yang mendirikan pagar laut untuk mengambil alih sumber daya alam pesisir tanpa memperhatikan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat setempat.
Di kesempatan itu, Kholid dengan tegas menyampaikan pandangannya, bahwa tindakan memasang pagar di laut itu merupakan contoh dari kekuatan oligarki yang tidak pernah merasa cukup. “Mereka itu adalah oligarki. Kami menyebutnya ‘buta encong’ (apa saja dicaplok). Tidak kenyang, semuanya dicaplok, bahkan laut dan bumi seisinya pun mereka caplok. Tidak pernah kenyang. Dari situlah saya harus melawan,” kata Kholid.
Masalah pagar laut yang dipasang oleh sejumlah perusahaan di perairan Tangerang, Banten, kini menjadi salah satu topik hangat yang memicu polemik dan kontroversi. Bagi nelayan dan masyarakat pesisir, pemasangan pagar laut dianggap sebagai bentuk perampasan hak atas wilayah perairan yang selama ini menjadi sumber mata pencaharian mereka.
Seperti diberitakan sebelumnya, Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, telah mengakui bahwa wilayah pagar laut Tangerang diketahui memiliki sertifikat hak guna bangunan (SHGB) dan sertifikat hak milik (SHM). Sertifikat HGB di kawasan pagar laut Tangerang berjumlah 263 bidang. Terdiri dari 234 bidang Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) atas nama PT Intan Agung Makmur, 20 bidang SHGB atas nama PT Cahaya Inti Sentosa, dan 9 bidang atas nama perseorangan. Sedangkan SHM yang ditemukan di kawasan tersebut sebanyak 17 bidang yang diketahui dimiliki oleh Surhat Haq. Menurut informasi, PT Intan Agung Makmur adalah perusahaan yang terafiliasi dengan PIK-2 (Agung Sedayu Group), sebagaimana PT Mutiara Intan yang mendapatkan fasilitas Proyek Strategis Nasional (PSN) untuk mengelola kawasan PIK-2. Sedangkan PT Cahaya Inti Sentosa merupakan anak usaha dari PT PANI (PT Pantai Indah Kapuk 2/PIK-2).
Menurut Kholid, ini bukan kali pertama ia menghadapi PIK dalam hidupnya. Tahun 2005 ia pun melawan karena proyek PIK 1 pengerukan tambang pasir. Lalu di tahun 2010, yang lagi-lagi penyebabnya adalah reklamasi dari PIK 1.
“Ketika saya melihat puluhan kilometer pagar laut, saya langsung yakin bahwa ini pelakunya adalah musuh lama saya (Aguan). Dan benar saja, Aguan adalah sosok di balik ‘proyek biadab’ ini. Di persoalan inilah saya terus berpikir, mengapa hal ini terjadi kepada kami para nelayan? Para penjajah sudah mencongok hidung aparat pemerintah. Dan saya hanya bisa melakukan satu hal, yaitu melawan” tegasnya.
Kholid meneruskan, ia sadar ada konsekuensi berat atas perlawanan yang ia lakukan. “Saya melihat persoalan ini sebagai rakyat biasa, yang ingin kembali hidup bebas dan keluar dari penjajahan. Dan saya berani mengatakan, konsekuensinya hanya ada dua: Saya akan dipenjara, atau saya akan mati,” tuturnya.
Tetapi ia tak ingin mundur. Sebab, menurut Kholid, tindakan korporasi yang mengambil alih wilayah laut untuk kepentingan ekonomi mereka itu telah mengancam kelangsungan hidup ribuan nelayan dan masyarakat pesisir.
“Mungkin beginilah cara Allah menguatkan saya. Allah punya kehendak kepada makhluknya, dan kehendak Allah adalah mendorong makhluknya untuk berbuat baik dan mencegah kemungkaran. Saya tidak merasakan takut sama sekali karena Allah bersama saya,” ucapnya.
Disebabkan keberaniannya, Kholid menyebut, ia mendapatkan ancaman teror dari orang-orang yang tidak dikenal. Banyak sekali telepon dan sms (short message service) yang masuk melalui ponselnya.
“Ya, banyak sekali orang iseng (mengirim pesan) masuk buat nakut-nakutin saya. Tetapi sejauh ini saya belum mendapatkan kekerasan fisik. Semoga tidak ada. Tetapi, orang-orang di sekeliling saya dihabisi mentalnya agar tidak berteman dengan saya. Dan agar mereka takut serta berhenti berjuang melawan oligarki bersama saya,” tuturnya.
Diskusi publik tersebut dihadiri oleh berbagai kalangan. Di antaranya termasuk aktivis lingkungan, tokoh masyarakat, dan sejumlah akademisi yang mendalami masalah sosial dan ekonomi di kawasan pesisir. Acara diskusi ini juga menjadi ajang penting untuk mendorong kesadaran bersama tentang pentingnya melindungi hak-hak nelayan serta memastikan keberlanjutan ekosistem laut yang semakin terancam.
Kehadiran Kholid memang membuat diskusi itu menjadi semarak. Diskusi tersebut diharapkan dapat membuka mata publik tentang pentingnya perlindungan terhadap hak-hak masyarakat pesisir yang sering kali terpinggirkan dalam kebijakan pembangunan yang kerap kali hanya berfokus pada kepentingan korporasi. (tmp)