• Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
Infomu
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
No Result
View All Result
Infomu
No Result
View All Result
Syahbana Daulay

Ketika Mata Para Penindas Terbelalak: Refleksi atas Surat Ibrahim Ayat 42

Syaiful Hadi by Syaiful Hadi
9 Desember 2025
in Opini
0

Ketika Mata Para Penindas Terbelalak: Refleksi atas Surat Ibrahim Ayat 42

Oleh: Syahbana Daulay

Ada satu ayat dalam Al-Qur’an yang berdiri seperti batu karang di tengah lautan zaman, tak terkikis oleh pergantian abad dan kekuasaan:

“Dan janganlah engkau mengira bahwa Allah lengah terhadap apa yang diperbuat oleh orang-orang zalim. Dia hanya menangguhkan mereka sampai hari ketika mata mereka terbelalak ketakutan.” (QS. Ibrahim: 42)

Ayat ini bukan sekadar kalimat sakral. Ia adalah cermin. Ia menunggu siapa saja yang berani bercermin, baik rakyat, pejabat publik, maupun mereka yang melangkah dengan sepatu kekuasaan yang berat dan sering menginjak rumput-rumput kecil bernama rakyat.

Ketika Kezaliman Tak Lagi Malu

Kezaliman hari ini tidak selalu berwajah garang. Kadang ia berdasi dan tersenyum di depan kamera. Kadang ia duduk di rapat-rapat ber-AC sambil memutuskan nasib mereka yang hidup dari upah harian. Kadang ia bersembunyi di balik istilah teknokratis: proyek strategis, percepatan pembangunan, atau penataan kawasan, yang di lapangan berubah menjadi penggusuran paksa, hilangnya ruang hidup, dan air mata para ibu yang terusir dari tanah yang telah mereka rawat turun-temurun.

Kezaliman hari ini juga bisa berbentuk laporan fiktif, persekongkolan anggaran, politik balas budi, atau hilangnya suara-suara kritis karena kriminalisasi.

Tidak ada cambuk di pasar, tidak ada tirani seperti Fir’aun, tetapi ada birokrasi yang mematikan harapan secara perlahan, kehalusan suatu kekerasan yang justru paling berbahaya.

Ayat ini datang menegur:

“Jangan kira Allah lengah. Jangan kira Dia tidak melihat“.

Penundaan Ilahi: Sunyi yang Menyimpan Gempa Akhirat

Allah tidak tergesa-gesa dalam membalas kezaliman. Bukan karena lalai, dan bukan karena lemah, melainkan karena hikmah yang tidak terjangkau nalar manusia. Al-Qur’an tidak menggambarkan para penindas langsung dijatuhkan di hadapan dunia, sebaliknya, mereka justru diberi penangguhan, sebuah jeda yang oleh banyak hati yang keras disalahpahami sebagai tanda restu dari langit.

“Mungkin aku benar,” gumam mereka.
“Buktinya aku masih di singgasana.”
“Buktinya tak ada yang bisa menyentuhku.”

Padahal itulah bentuk ujian yang paling berbahaya: keberhasilan yang menjadi istidraj, nikmat yang berubah menjadi perangkap, kekuasaan yang perlahan menjelma jadi tali gantung bagi kesombongan mereka sendiri.

Penundaan itu bukan ruang aman. Ia adalah ruang sunyi yang menumbuhkan dosa tanpa suara, tempat catatan malaikat terus berjalan saat dunia mengira semuanya baik-baik saja. Di situlah hati para zalim mengeras sedikit demi sedikit. Nurani mereka melemah. Ketakutan terhadap Allah memudar, digantikan rasa kebal dan merasa diri tak tersentuh hukum.

Namun Al-Qur’an memberi peringatan yang tak pernah usang: bahwa di ujung penundaan itu ada hari yang tidak bisa ditunda lagi. Hari ketika mata akan terbelalak, tatapan membeku, dan dunia yang dulu mereka kuasai tidak mampu lagi menyelamatkan mereka walau sedetik.

Pada hari itu, semua yang mereka banggakan akan dicabut: gelar yang dulu diagungkan,
jabatan yang dahulu ditakuti, harta yang dulu disembah, dan pasukan yang dulu siap berkorban.

Semuanya runtuh. Yang tersisa hanya jiwa yang telanjang, berdiri sendiri, tanpa protokol, tanpa ajudan, tanpa media, tanpa skenario.

Inilah pengadilan yang tidak bisa mereka lobi. Hakimnya tidak bisa disuap. Waktunya tidak bisa dimanipulasi. Putusannya tidak bisa diajukan banding.

Setiap kezaliman yang dulu mereka anggap kecil akan menjelma menjadi gunung. Setiap air mata yang mereka remehkan akan menjelma menjadi tuntutan. Dan setiap detik penundaan yang dahulu mereka nikmati akan berubah menjadi penyesalan yang membatu di wajah.

Azab yang paling mengerikan bukan sekadar siksa. Melainkan saat mereka sadar:
ternyata penundaan itu bukan perlindungan, tapi jebakan paling halus dari keadilan Allah.

Maka ayat ini bukan sekadar menggetarkan para zalim. Ia juga menenangkan hati yang tertindas:
bahwa tidak ada kezaliman yang lolos. tidak ada air mata yang terbuang sia-sia. dan tidak ada doa yang terangkat tanpa dijawab, meski dengan cara yang tertunda.

Karena dalam sunyi yang panjang itu, Allah sedang menyempurnakan keadilan-Nya.

Negeriku: Negeri yang Sedang Mencatat

Rakyat punya ingatan. Mungkin tidak pada angka, tetapi pada rasa: rasa dikhianati, rasa ditinggalkan, rasa bahwa suara mereka hanya dianggap angka statistik setiap lima tahun.

Ketika bansos menjadi alat politik, ketika ruang publik dikepung oleh oligarki, ketika hukum tampak seperti jaring laba-laba -kuat menjerat yang kecil, robek bagi yang besar- rakyat merasakan ada yang tidak adil sedang berlangsung di tengah mereka.

Di sinilah ayat ini menjadi kompas moral: mengingatkan bahwa setiap kebijakan yang merugikan rakyat pada akhirnya akan diuji oleh dua pengadilan: pengadilan dunia dan pengadilan Allah.

Yang pertama mungkin bisa direkayasa, tapi yang kedua tidak punya pintu belakang untuk menyelinap.

Ketika Rakyat Terus Berdoa

Dalam sejarah bangsaku, doa-doa orang terzalimi selalu menjadi energi perubahan. Gerakan Reformasi yang lalu tidak lahir dari seminar; ia lahir dari tekanan, air mata, dan jeritan rakyat yang ditindas begitu lama.

Hari ini, doa-doa itu muncul lagi: dari petani yang lahannya diklaim, dari nelayan yang kehilangan pantai, dari aktivis yang dikriminalisasi, dari mahasiswa yang ditembaki gas air mata,

dari warga yang suaranya dipreteli oleh proyek-proyek besar yang tidak pernah mereka minta.

Ayat ini menenangkan mereka: Bahwa tidak ada tangisan yang sia-sia, dan tidak ada kekuasaan yang aman dari catatan langit.

Ayat Ini Adalah Alarm Langit

Bagi para pemimpin, ayat ini bukan sekadar teguran, tetapi alarm dari langit yang mengguncang nurani terdalam. Ia datang bukan untuk menghibur, melainkan menyadarkan. Ia memekik di tengah sunyi kekuasaan: “Tak satupun amanah yang luput dari hisab.” Kekuasaan bukanlah kehormatan, melainkan beban yang kelak dipikul di hadapan Allah. Jabatan bukan mahkota kebanggaan, tetapi tanggung jawab yang dipertanyakan satu per satu di Yaum al-Hisab.

Ayat ini menanamkan satu kebenaran yang tak bisa ditawar: bahwa memimpin bukan tentang seberapa banyak yang tunduk kepada manusia, melainkan seberapa takut hati ini kepada Rabb-nya. Bukan tentang membangun loyalitas duniawi, tetapi menjaga amanat Ilahi. Karena setiap keputusan yang zalim, setiap hak yang dirampas, dan setiap tangisan yang diabaikan, akan berdiri sebagai saksi pada hari yang tak lagi menerima alasan.

Dan bagi rakyat, ayat ini adalah penguat hati bagi yang tertindas. Ia mengajarkan bahwa ketidakadilan bukan akhir dari segalanya. Bahwa diamnya manusia bukan berarti diamnya langit. Bahwa lambatnya keadilan dunia bukan berarti tidak adanya keadilan akhirat. Allah tidak lalai, tidak tidur, dan tidak pernah alpa dari air mata yang jatuh di sajadah atau di sudut gelap rumah-rumah yang sunyi.

Ayat ini meneguhkan iman bahwa tidak ada kezaliman yang kekal, karena setiap kezaliman sedang menuju waktu pertanggungjawabannya. Tidak ada penguasa yang terlalu kuat untuk dihisab. Tidak ada tirani yang terlalu besar untuk diadili. Sebab di atas seluruh mahkota, ada Kerajaan Allah. Di atas seluruh hukum dunia, ada Hukum Rabbul ‘Alamin.

Ia mengingatkan bahwa kemenangan sejati bukan di panggung dunia, melainkan saat amal ditimbang dan dosa dibuka tanpa bisa disangkal. Saat mulut terkunci, dan anggota tubuh menjadi saksi. Saat jabatan tak lagi bermakna, dan yang tersisa hanyalah iman dan keikhlasan.

Ayat ini bukan hanya peringatan, tetapi kasih sayang Allah dalam bentuk teguran. Agar sebelum kekuasaan dicabut, kesempatan taubat masih terbuka. Agar sebelum pintu amal ditutup, istighfar masih bisa dinaikkan.

Maka berbahagialah pemimpin yang gentar sebelum digentarkan oleh hisab.
Dan dimuliakanlah rakyat yang bersabar dan tetap menggantungkan harap hanya kepada Allah. Karena mata langit tidak pernah buta, dan timbangan Allah tidak pernah salah.

Penutup: Satu Kalimat yang Menggetarkan

Jika ada satu kalimat yang perlu kita ulang di tengah suasana sosial-politik yang sering gelap ini, mungkin kalimat itu adalah: “Allah tidak lengah.”

Bukan ancaman semata, tetapi pengingat bahwa dunia ini masih punya poros moral. Masih ada batas. Masih ada keadilan yang tidak bisa dibeli. Dan masih ada Hari ketika semua mata -termasuk mata para penindas- akan terbelalak menatap kebenaran yang selama ini mereka abaikan. Wallahu a’lam

*** Syahbana Daulay, Dosen UMSU, Anggota Majelis Tabligh PWM Sumut

Bagikan ini:

  • Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
  • Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
  • Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
  • Klik untuk mengirimkan email tautan ke teman(Membuka di jendela yang baru) Surat elektronik
  • Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
  • Klik untuk mencetak(Membuka di jendela yang baru) Cetak
Tags: opinipenyintas bencanasyahbana daulay
Previous Post

Antara Kehidupan 60 Tahun dan 60 Menit

Next Post

Muhammadiyah Pematangsiantar Tancap Gas Tertib Data Lewat Notulenmu, SICARA, dan SimasMuh

Next Post
Muhammadiyah Pematangsiantar Tancap Gas Tertib Data Lewat Notulenmu, SICARA, dan SimasMuh

Muhammadiyah Pematangsiantar Tancap Gas Tertib Data Lewat Notulenmu, SICARA, dan SimasMuh

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • Beranda
  • Kabar
  • Literasi
  • Kolom
  • Kesehatan
  • Muktamar
  • Pendidikan
  • Redaksi
Call us: +1 234 JEG THEME

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.