Ketika Empati Menjadi Strategi: Menolong di Saat Genting, Dipercaya Sepanjang Masa
Oleh Agus Sani (Dosen FEB UMSU)
Dalam beberapa waktu terakhir, Indonesia kembali berhadapan dengan kenyataan pahit sebagai negeri yang rawan bencana. Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menjadi saksi bagaimana banjir bandang, longsor, serta rusaknya infrastruktur merenggut rasa aman ribuan warga. Rumah hilang, mata pencaharian terputus, dan harapan diuji. Namun di balik kepedihan itu, selalu ada pertanyaan yang muncul: siapa yang hadir ketika negara dan masyarakat paling membutuhkan?
Pada fase paling genting pascabencana, kehadiran berbagai aktor menjadi penentu arah pemulihan. Negara memegang peran utama, masyarakat sipil bergerak dengan solidaritas, dan dunia usaha pun turut mengambil posisi. Bantuan logistik, dana kemanusiaan, hingga dukungan perbaikan fasilitas publik mengalir dari perusahaan-perusahaan besar. Sekilas, ini adalah kisah empati dan gotong royong. Namun jika ditelisik lebih dalam, bantuan bencana juga menyimpan makna strategis yang jauh melampaui aksi kemanusiaan sesaat.
Bagi dunia usaha, bencana adalah momen krusial dalam relasi dengan publik. Di sinilah konsep legitimasi sosial menemukan relevansinya. Legitimasi bukanlah izin formal yang tertulis dalam regulasi, melainkan kepercayaan kolektif masyarakat yang memungkinkan perusahaan terus diterima, beroperasi, dan berkembang. Masyarakat Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukan entitas abstrak. Mereka adalah konsumen yang menggunakan produk perusahaan, tenaga kerja yang menggerakkan roda bisnis, mitra lokal yang menopang rantai pasok, serta komunitas yang hidup berdampingan dengan aktivitas korporasi sehari-hari.
Ketika perusahaan hadir di tengah krisis, membantu tanpa syarat, dan bergerak cepat merespons kebutuhan nyata masyarakat, yang dibangun bukan sekadar citra, melainkan hubungan emosional dan sosial yang mendalam. Di saat segala sesuatu terasa rapuh, kehadiran yang tulus memiliki daya ingat yang panjang. Kepercayaan yang lahir dari situasi krisis sering kali jauh lebih kuat dan lebih tahan lama dibandingkan kepercayaan yang dibangun melalui iklan mahal atau kampanye pemasaran yang dirancang dengan cermat.
Bantuan bencana, dengan demikian, adalah bentuk komunikasi nilai. Ia menyampaikan pesan yang lebih kuat daripada slogan: bahwa perusahaan memahami penderitaan masyarakat, bersedia berbagi risiko, dan tidak menarik diri ketika keadaan menjadi sulit. Di titik ini, empati menjelma menjadi bahasa universal yang dipahami semua orang, tanpa perlu dikemas secara berlebihan.
Namun, publik hari ini tidak lagi mudah terkesan. Masyarakat semakin kritis dan sadar bahwa empati tidak cukup ditunjukkan sekali lalu selesai. Yang dinilai bukan hanya besarnya bantuan atau cepatnya respon, tetapi konsistensi komitmen. Apakah perusahaan masih hadir ketika kamera media telah berpaling? Apakah bantuan disalurkan secara transparan dan tepat sasaran? Apakah ada upaya berkelanjutan untuk membantu pemulihan ekonomi dan sosial masyarakat terdampak?
Di sinilah legitimasi benar-benar diuji. Bukan pada angka yang diumumkan dalam siaran pers, melainkan pada sikap yang terus dijaga. Perusahaan yang hanya hadir di awal krisis berisiko kehilangan kepercayaan. Sebaliknya, perusahaan yang setia mendampingi proses pemulihan akan dikenang sebagai bagian dari solusi, bukan sekadar penonton yang memanfaatkan momentum.
Memahami bantuan bencana sebagai bagian dari strategi legitimasi tidak berarti mengosongkan nilai kemanusiaannya. Justru sebaliknya. Kesadaran bahwa menolong sesama juga berkontribusi pada keberlanjutan bisnis dapat mendorong dunia usaha untuk bertindak lebih serius, terencana, dan berjangka panjang. Ketika kepentingan kemanusiaan dan kepentingan bisnis bertemu, lahirlah relasi yang saling menguatkan dan lebih jujur.
Bencana mengingatkan kita bahwa perusahaan tidak berdiri di ruang hampa. Ia tumbuh dalam ekosistem sosial yang rapuh, saling bergantung, dan penuh ketidakpastian. Menolong masyarakat yang terdampak bencana berarti menolong ekosistem tempat perusahaan berakar. Ketika masyarakat pulih, daya beli kembali tumbuh, stabilitas sosial terjaga, dan kepercayaan menguat.
Pada akhirnya, membantu korban bencana bukan hanya tentang menyelamatkan kehidupan hari ini. Ia adalah investasi kepercayaan untuk masa depan. Di dunia yang semakin menuntut akuntabilitas, transparansi, dan kepedulian sosial, empati bukan lagi sekadar nilai moral yang idealis. Ia telah menjadi strategi bertahan hidup cara paling manusiawi bagi perusahaan untuk tetap relevan, dipercaya, dan memiliki tempat di hati masyarakat sepanjang masa.

