Karimansyah, Ritual Haji dan Negeri Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghofur
Catatan : Syaiful Hadi JL, Jurnalis
Ritual Haji 2024 telah usai. Jutaan umat Islam telah menyelesaikan proses ibadah di Arafah, Musdalifah, Mina dan kemudian melaksanakan tawaf ifadah. Ritual Haji adalah ritual ibadah paling kolosal di muka bumi ini. Jutaan orang dengan pakaian yang sama – kain ihram – bergerak bersama di atas bumi Allah, malam hari (musdalifah) beratapkan langit, mengambil kerikil kecil, dan tengah malamnya berjalan menuju Mina untuk melaksanakan ritual pelemparan tiga jumrah sebagai simbolisasi pengusiran syaitan.
Prosesi ibadah haji tidak hanya menyentuh makna esoterik rukun demi rukun ibadah haji. Tapi juga bermakna tentang penderitaan, penindasan, dan kesyahidan. Makna lain adalah membangun gagasan tentang pembebasan, kemerdekaan, dan perjuangan.
Ensensi apakah yang dapat dipahami dari ritual haji? Esensi ritual haji adalah evolusi eksistensial manusia menuju Allah. Haji, adalah drama simbolik dari filsafat penciptaan anak-cucu Adam. Dengan kata lain, ia memuat kandungan objektif dari setiap sesuatu yang relevan dengan filsafat itu: Haji sama dengan penciptaan, sama dengan sejarah, dan sama dengan monoteisme.
Dalam drama simbolik itu, Allah sebagai sutradara, tema yang diproyeksikan adalah aksi (movement) dengan karakter pelaku: Adam, Ibrahim, Hajar, dan Iblis. Lokasi-lokasi pertunjukannyanya dilakukan di tempat suci: Mesjid Haram, Mas’a, Arafah, Masy’ar dan Mina. Simbol-simbolnya adalah Ka’bah, Shafa dan Marwa, siang dan malam, terbit dan tenggelamnya matahari, berhala-berhala dan pengorbanan. Pakaian dan ornamennya adalah Ihram, Halq dan Taqshir. Siapa aktornya? Yang paling luar biasa adalah, actor dari semua ibadah itu, adalah Anda sendiri.
Seorang aktor yang baru saja menjalani proses ritual hajji itu, Karimansyah, lelaki berusia 62 tahun asal Kebayakan Aceh Tengah yang telah malang-melintang sebagai aparatur pemerintahan. Ia menjalan ritual Haji itu dengan hati yang Ikhlas dan menyerahkannya semuanya kepada Allah Subhanawata’ala. Wukuf di Arafah menjadi momentum paling spesial yang dirasakan Karimansyah. Dari Makkah, ia menjelaskan kepada penulis, ada tiga hikmah yang dapat dipetik dari pengalaman spiritual wukuf di Arafah, mabit di Musdalifah dan melontar jumrah di Mina yakni mengenal diri, keinginan untuk berubah dan rasa syukur.
Bagi Karimansyah, megenal diri dengan membuka memori perjalanan hidup kita dan menyadari betapa banyak sekali hal buruk, tidak pantas bahkan melanggar ketentuan Allah swt yang sudah dilakukan. Kesadaran itu memicu rasa sesal dan mohon ampunan-Nya dan bertekad untuk berubah atau bertobat dari dosa dan salah tersebut. Kemudian, munculnya rasa syukur atas pemahaman akan nikmat yang luar biasa dari sang khalik kepada diri kita yang sering terlupakan.
Karimansyah juga bercerita, ibadah haji adalah wujud dari proses peneguhan iman dan taqwa kepadaNya?. Tidak semua mereka berhasil mengambil iktibar dari ibadah Haji itu. Mungkin karena kurang memahami hakikat dari perjalanan spirutual tersebut dan jurang kuatnya bangunan komitmen untuk berubah atau bertobat. Komitmen berubah itu diteguhkan saat di Musdalifah dengan keinginan kuat untuk membersihkan jiwa atau penyakit hati melalui persiapan sarana berjihad di Mina atau Jamarat yang dilambangkan dengan kerikil yang dilemparkan untuk mengusir syaitan.
Sesungguhnya itu, adalah sifat syaitan yang bersarang dalam diri manusia diantaranya sahwat yang buruk, serakah, iri, dengki, keangkuhan dan zalim. Haji membutuhkan tingkat keikhlasan dan kesabaran yg tinggi.
Karimansyah mendapatkan pengalaman terkait dua hal ini.Banyak ujian , tantangan atau cobaan yang dihadapi dalam perjalanan haji baik dari lingkungan sosial maupun alam. Benar, semua itu membutuhkan kesadaran dan kesabaran yang tinggi dengan cara tidak berkeluh kesah, respon yang penuh pertimbangan dan hindari perkataan yang tidak bermanfaat.
Haji juga adalah Qurban. Keduanya adalah perintah Allah yang menjadi ujian kualitas iman seseorang. Dari Haji dan Qurban, Karimansyah, merasakan Syukur karena keduanya dapat dilaksanakan dengan harapan Allah SWT yang selalu melimpahkan kasih sayang, ridho dan rahmatNya.
Ritual Haji telah selesai. Tawaf ifadah pun sudah dilakukan. Spirit Kembali kepada ALLAH adalah sebuah gerakan menuju kesempurnaan, kebaikan, keindahan, kekuatan dan harapan-harapan baru. Harapan membawa negeri tercinta – Gayo – menjadi negeri baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur, negeri yang mengumpulkan kebaikan alam dan kebaikan perilaku penduduknya. (***)