Kader Tanpa Seragam
(Tulisan ke-14, dari Beberapa Tulisan Terkait Kaderisasi)
Oleh: Amrizal, S.Si., M.Pd. Wakil Ketua MPKSDI PWM Sumut / Dosen Unimed dan UMSU
Di banyak forum Muhammadiyah, seragam bukan sekadar kain dengan logo. Ia adalah simbol identitas, kebersamaan, bahkan semangat perjuangan. Namun, seragam tak selalu menjadi ukuran kesetiaan. Ada begitu banyak kader sejati yang memilih bekerja di balik layar, tanpa ingin dikenali, apalagi dipuji. Dalam pengalaman saya berorganisasi, saya menemukan banyak wajah yang tak tercatat dalam struktur resmi, namun semangatnya menghidupkan ranting dan cabang. Mereka tak muncul di baliho Muswil, Musda dan Muscab, tapi merekalah yang membelikan cat untuk mushala,
menyumbang konsumsi pengajian, atau mengantarkan anak-anaknya ngaji di ranting. Mereka tak menuntut disebut “aktifis”. Tapi jika Muhammadiyah ada dan tetap menyala di tempat terpencil, boleh jadi karena mereka. Mereka hadir tanpa seragam, tapi ruh pengabdiannya nyata. Inilah sosok-sosok kader tanpa seragam yang mungkin tak banyak disorot, tapi sangat berarti bagi keberlangsungan Persyarikatan.
Lebih dari Sekadar Atribut
Tentu, kita tidak sedang mempermasalahkan seragam. Ia punya fungsi kolektif: mengikat kebersamaan dan menumbuhkan semangat barisan. Tapi jangan sampai kita tergoda menilai orang dari apa yang tampak di luar. Seperti kata KH. Ahmad Dahlan: ” Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah”
Seragam bisa dibeli, kartu anggota bisa dicetak, tapi jiwa kader tak bisa dipalsukan. Kini, kita menyaksikan fenomena yang agak getir. Banyak anak muda Muhammadiyah, anggota dan Pimpinan IPM, IMM, Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul ‘Aisyiyah, Tapak Suci, Hizbul Wathan, gagah berseragam saat pelantikan, penuh semangat di media sosial, tapi ketika pengajian di ranting dan cabang digelar, mereka tak tampak batang hidungnya.
Banyak pula pimpinan dan karyawan AUM—guru, dosen, tenaga kesehatan—yang saban hari berseragam rapi, tapi tak pernah hadir menyapa jamaah di masjid ranting. Mereka menjadi bagian dari institusi Muhammadiyah secara administratif, namun tidak secara spiritual. Ada sekolah Muhammadiyah, tapi tak pernah menyapa ranting. Ada kampus Islam, tapi sepi dari gerakan jamaah. Ada rumah sakit, tapi tak mengenal masjid di sebelahnya.
Ini bukan soal menuduh, tapi ajakan untuk jujur pada diri sendiri. Kita mungkin sudah terlalu nyaman bersandar pada nama besar Muhammadiyah, hingga lupa bahwa yang membuat Muhammadiyah besar adalah kerja-kerja sunyi para kader di ranting dan cabang. Mereka yang istiqamah ngaji, membuka rumah untuk pengajian, mendampingi warga, walau tanpa disorot kamera.
Satu saat, kita perlu bertanya dengan tulus: “Aku ini kader Muhammadiyah di mana?” Apakah hanya di foto-foto pelantikan? Apakah hanya di kantor dan ruangan ber-AC? Atau sungguh sungguh hadir di tengah denyut nadi Persyarikatan: di ranting dan cabang yang menjadi rumah dakwah yang sesungguhnya. Rasulullah ﷺ bersabda: "Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya, yang
paling dekat tempat duduknya dariku di hari kiamat." (HR. Tirmidzi). Boleh jadi, mereka yang tak terlihat namun istiqamah itulah yang kelak paling dekat dengan surga.
Menjadi Kader: Antara Panggung dan Pengabdian
Dalam proses kaderisasi, kita mengenal Baitul Arqam, Darul Arqam, perkaderan fungsional, dan sebagainya. Tapi setelah itu, bagaimana? Banyak yang setelah dilantik tak terlihat lagi. Sementara yang tak pernah ikut pelatihan resmi justru istiqamah menjalankan amanah. Inilah saatnya kita meletakkan kembali makna kader dalam kerangka yang utuh. Bahwa menjadi kader bukan sekadar penobatan, tapi proses hidup yang terus berjalan. Seperti pohon, ia berakar kuat dalam nilai, bertumbuh dalam amal, dan berbuah dalam kebermanfaatan.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.” (HR. Ahmad) Maka ukuran kader bukan sekadar kehadiran di struktur, tapi seberapa besar manfaat yang ia tebarkan di lingkungannya.
Tanpa Nama, Tapi Menghidupkan
Saya mengenal seorang tukang servis HP di sebuah kota kecil. Ia tak pernah muncul di forum PWM atau PDM. Tapi tiap ada kegiatan Muhammadiyah, ia datang paling awal membawa alat pengeras suara miliknya. Tak pernah minta ganti bensin, apalagi honor. Ketika ditanya kenapa,
jawabannya sederhana: “Ini rumah kita, masak mau bantu saja harus ditunggu diminta?” Ada pula seorang ibu rumah tangga di desa. Ia rutin menyumbang nasi kotak untuk pengajian Aisyiyah, padahal keluarganya hidup pas-pasan. Ketika ditanya kenapa tetap memberi, ia bilang,
“Karena saya bukan pimpinan, ini satu-satunya cara saya bisa ikut berjuang.” Mereka tak pernah difoto, tak masuk laporan kegiatan, tapi jika Muhammadiyah masih menyala di tempat itu, boleh jadi karena mereka.
Refleksi: Kader yang Dirindukan Langit
Di tengah hiruk pikuk organisasi, kadang kita lupa melihat ke arah yang lebih dalam. Kita sibuk menata struktur, tapi lupa menumbuhkan jiwa. Kita berlomba memperbanyak kegiatan, tapi jarang mengevaluasi ruh pengabdian. Mari kita mulai melihat kader bukan dari bajunya, tapi dari amalnya. Bukan dari seberapa sering ia muncul di pelantikan, tapi seberapa istiqamah ia memberi manfaat di sekitarnya.
Allah berfirman: "Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, seakan-akan mereka seperti bangunan yang tersusun kokoh." (QS. Ash-Shaff: 4)
Barisan itu tidak selalu harus seragam warnanya, tapi harus kokoh dalam niat dan amalnya. Seragam Itu Tambahan, Bukan Inti Seragam adalah simbol, bukan substansi. Kader sejati tidak diukur dari seragam yang ia kenakan, tapi dari komitmen dan kontribusi yang ia berikan, bahkan saat tak ada yang melihat. Jadi, jika hari ini engkau tak lagi punya jabatan, tak sempat hadir di rapat, bahkan tak punya seragam resmi Muhammadiyah, jangan berkecil hati. Jika hatimu masih terpaut pada dakwah, dan tanganmu masih ingin terus memberi untuk umat, maka sesungguhnya engkau adalah kader. Kader tanpa seragam. Tapi doanya dirindukan langit.
Wallahu a’lam bish Shawab

