“Hidup saya adalah menuntut ilmu…” (Siti Baroroh Baried)
Oleh : Widiyastuti*
Siti Baroroh Baried adalah seorang profesor perempuan pertama di Indonesia dan sebuah fenomena langka di Muhammadiyah. Perempuan yang lahir di Kauman tahun 1923 ini merupakan putri H. Tamim bin Dja’far. Dja’far adalah adik Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan, sehingga Siti Baroroh merupakan keponakan Nyai Ahmad Dahlan. Siti Baroroh menikah dengan dr. Baried Ishom, putri Ishom dan Siti Busyro yang merupakan putri KHA Dahlan dan Nyai Ahmad Dahlan. Pada masa itu perkawinan antar keluarga memang biasa terjadi di Kauman, termasuk dengan Siti Baroroh.
Profesor Perempuan Pertama dan Anggota Perempuan Pertama HB Muhammadiyah
Meskipun dia menempuh pendidikan yang cukup tinggi namun tradisi tetap dijalaninya dengan ikhlas. Bukan saja hanya tercatat sebagai profesor perempuan di Indonesia, Siti Baroroh Baried juga mencatatkan sejarah menjadi perempuan pertama yang menjadi anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah, meskipun masuknya dia dalam HB Muhammadiyah jaman KH Junus Anis (1956 – 1962) ini juga melalui penambahan.
Sejarah mencatat sejak tahun 1959 perjuangan untuk memasukkan perempuan dalam jajaran pimpinan Muhammadiyah telah dimulai dengan kesadaran bahwa perspektif perempuan sangat dibutuhkan dalam berbagai produk kebijakan pimpinan dan itu akan terpenuhi jika ada perempuan dalam jajaran tersebut. Apa yang terjadi pada era KH Junus Anies terjadi kembali pada era Prof. Dr. Haedar Nashir di periode 2015 – 2020 dengan masuknya Dra. Noordjannah Djohantini, M.Si. dalam jajaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Siti Baroroh telah mengawali pemikiran perlunya perempuan masuk dalam jajaran pimpinan Muhammadiyah. Dan tampaknya ini masih menjadi perjuangan yang tidak mudah bagi perempuan untuk masuk secara ‘normal’ dalam jajaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Siti Baroroh mewarisi tradisi keilmuan dari keluarga besar Kyai Fadhil. Dja’far, kakek Siti Baroroh yang merupakan adik Siti Walidah dan semua saudaranya sangat terbiasa untuk belajar. Semangat inilah yang menurun pada Siti Baroroh sehingga sebagai perempuan Kauman dengan busana khasnya tetap menuntut ilmu di sekolah formal. Pada suatu masa di Fakultas Sastra UGM ada beberapa perempuan Kauman yang tetap setia dengan jarik kebaya dan kerudungnya. Di antara mereka adalah Siti Baroroh dan Siti Hadiroh, keponakan beliau. Semangatnya menuntut ilmu inilah yang membuat Siti Baroroh menjadi perempuan yang memiliki wawasan yang sangat luas.
Membawa ‘Aisyiyah ke Kancah Internasional
Siti Baroroh Baried menjadi Ketua Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah selama 5 periode mulai tahun 1965 sampai dengan tahun 1985 atau selama 20 tahun menjadi nahkoda organisasi perempuan Muhammadiyah. Kemampuan serta keilmuannya ini membawa pengaruh yang sangat positif bagi ‘Aisyiyah. Dengan modal ilmu dan jaringan yang dimilikinya ini, Siti Baroroh sering diundang ke berbagai konferensi yang bersifat internasional. Di sinilah Siti Baroroh mengenalkan ‘Aisyiyah di dunia internasional melalui aktivitasnya. Beliau selalu membawa nama ‘Aisyiyah ke forum-forum global sekaligus menjalin relasi dengan badan-badan internasional.
Siti Baroroh yang pernah menjadi Ketua Biro Hubungan Luar Negeri di ‘Aisyiyah memulai langkah internasionalisasi ‘Aisyiyah bermodalkan kemampuan dan jaringan yang dimilikinya. Dalam seminar yang diselenggarakan di Havard University, Amerika Serikat, Siti Baroroh menyampaikan materi “Aisyiyah and The Social Change Woman of The Indonesian”. Hal ini membawa dampak positif bagi ‘Aisyiyah dimana ‘Aisyiyah dan pemikiran-pemikirannya mulai dikenal di dunia internasional. Di sinilah peran seorang Siti Baroroh sangat besar. Perpaduan intelektualitas dan leadership yang ditunjukkan menunjukkan bahwa perempuan kelahiran Kauman ini memang memiliki kemampuan yang kuat untuk membawa ‘Aisyiyah dalam pergaulan internasional.
Siti Baroroh Baried memutuskan kuliah di Universitas Al Azhar Mesir, setelah lulus dari Fakultas Sastra UGM dan Universitas Indonesia (UI) pada 1952 untuk membuktikan bahwa perempuan memeiliki kesempatan yang sama untuk menuntut ilmu di manapun. Pada saat itu perempuan yang sekolah di luar negeri sangatlah sedikit dan Siti Baroroh menjadi bagian dari yang sedikit itu karena kepandaiannya.
Fokus pada Pendidikan untuk Perempuan
Ketika menjadi Ketua ‘Aisyiyah, hak bagi perempuan merupakan prioritas perjuangannya. Pendidikan adalah hak bagi perempuan guna meningkatkan harkat dan martabatnya. Karena itulah selama masa kepemimpinannya, ‘Aisyiyah, melakukan pengembangan terhadap pendidikan pra sekolah; yaitu Taman Kanak-Kanak ‘Aisyiyah Bustanul Athfal (TK ABA), sekolah menengah, sekolah-sekolah kejuruan kebidanan dan keperawatan, bahkan pendidikan tinggi. Tidak kurang dari 5000 amal usaha pendidikan yang dikelola oleh ‘Aisyiyah saat ini tidak bisa lepas dari pemikiran para tokoh awal ‘Aisyiyah termasuk di dalamnya Siti Baroroh.
Siti Baroroh sangat konsen terhadap pendidikan kaum perempuan. Bagi dia perempuan punya hak yang sama dengan laki-laki dalam hal kesempatan menuntut ilmu sebagaimana yang selama ini dibiasakan di keluarga besarnya. Namun jika menyangkut persoalan emansipasi, pemikiran seorang Siti Baroroh tidak jauh berbeda dengan Siti Walidah, Siti Hayinah, Siti Munjiyah di awal-awal didirikannya ‘Aisyiyah. Siti Baroroh berpendapat bahwa emansipasi yang benar adalah yang tetap mempertahankan kodrat perempuan sesuai apa yang ada dalam Al Qur’an. Pengaruh budaya juga menguatkan emansipasi yang terbatas. Emansipasi seharusnya tidak bertentangan dengan norma agama dan budaya, itulah yang dipegang.
Seimbang dalam urusan Keluarga dan Karir
Bagi Siti Baroroh, seorang perempuan bisa diterima untuk memiliki karier di luar rumah. Namun pada saat yang sama ia juga harus tetap memperhatikan kodrat dasarnya sebagai perempuan; khususnya sebagai istri yang memiliki tanggung jawab dalam urusan internal rumah tangga. Selain itu, lanjut Siti Baroroh, perempuan yang bekerja di luar rumah perlu batasan-batasan tertentu sehingga tidak keluar dari kodratnya sebagai perempuan dan posisinya sebagai istri. Seperti antara lain harus seizin suami, tidak sampai menelantarkan pendidikan dan perhatian untuk anak-anaknya, dan lain sebagainya.
Maka, setinggi dan sebesar apapun pencapaian yang diraih Siti Baroroh dalam karier, ia tetap menjalani peran sebagai istri dan ibu dengan sebaik-baiknya. Kelihatannya usang untuk pemikiran saat ini, namun di tahun 1980-an pemikiran seorang Siti Baroroh Baried dalam memaknai emansipasi sangat relevan dengan jamannya. Sebagai istri, setinggi apapun posisinya di ‘Aisyiyah dan dunia akademik namun jika suaminya memanggil maka semuanya bisa ditinggalkan. Dalam mengurus rumah tangganya, beliau dikenal sebagai sosok yang rapi dan teliti. Hal ini banyak disampaikan keponakannya yang kebetulah tinggal bersama beliau semasa sekolah. Ibaratnya dalam menata tempat tidur saja tidak ada bagian yang tidak rapi. Dalam lingkungan keluarga, dikenal sebagai sosok yang ramah kepada siapa saja dan sangat terbuka. Kehidupan rumah tangganya berjalan baik seiring karier kultural dan strukturalnya.
Siti Baroroh Baried tetap berteguh bersama ‘Aisyiyah hingga akhir hayat. Saat masih menjabat sebagai penasihat PP ‘Aisyiyah sekaligus Pemimpin Umum Majalah Suara ‘Aisyiyah, perempuan langka yang lahir dari rahim Muhammadiyah ini wafat pada 9 Mei 1999 dalam usia 74. Siti Baroroh Baried, perempuan yang mendapat gelar profesor pertama di Indonesia ini telah memberikan landasan yang kuat terhadap internasionlaisasi ‘Asiyiyah yang kemudian dikembangkan di masa-masa selanjutnya.
Ada sebuah keteguhan dan kesederhanaan yang dimiliki semasa hidupnya. Dengan kelebihan yang dimilikinya pernah beliau akan dicalonkan sebagai tokoh perempuan oleh organisasi perempuan, namun ditolaknya. Beliau berprinsip selama masih hidup seseorang tidak layak ditokohkan karena masih sangat dimungkinkan berubah sesuai dengan kepentingan. Beliau menyanggupi untuk ditokohkan apabila beliau sudah meninggal.
*) Widiyastuti, S.S., M.Hum adalah Cicit KHA Dahlan, Lembaga Kebudayaan PPA