Muhammadiyah Berwawasan Wasathiyah
Oleh Prof Dr H Haedar Nashir, M.Si.
Anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah yang paham ideologi khususnya Kepribadian Muhammadiyah semestinya mampu membedakan organisasinya dengan yang lain. Namun, apakah Kepribadian Muhammadiyah dan rumusan-rumusan ideologi lainnya dipahami secara mendalam dan menjadi kerangka berpikir dan bertindak dalam bermuhammadiyah? Masalah ini penting menjadi perhatian dan komitmen seluruh pihak di Persyarikatan.
Jangan sampai sudah lama di Muhammadiyah, bahkan memimpin Muhammadiyah di berbagai struktur, tetapi jiwa maupun alam pikiran dan orientasi tindakan hanya mengandalkan kecenderungan diri sendiri. Boleh jadi ada yang berorientasi dengan paham dan pemikiran gerakan lain, yang merasa sama tetapi sejatinya berbeda. Ada pula yang selalu mengklaim atas nama Muhammadiyah tetapi kerangka pemikirannya hanya berdasarkan pemikiran dirinya.
Konten dan Konteks
Kepribadian Muhammadiyah ialah rumusan ideologi yang dihasilkan tahun 1962 atas mandat Muktamar 1955 di Palembang. Penggagas utamanya KH Fakih Usman yang berasal dari ceramahnya berjudul, “Apakah Muhammadiyah itu?”. Adapun anggota tim ialah KH. Moh. Wardan Diponingrat Prof. KH. Faried Ma’ruf, M. Djarnawi Hadikusumo, Prof. Dr. Hamka, M. Djindar Tamimy, M. Saleh Ibrahim, dan Kasman Singodimedjo. Sebab lahirnya karena ada gejala lunturnya paham tentang Muhammadiyah di kalangan anggota, serta terputusnya pemikiran dari era Kyai Haji Ahmad Dahlan. Lebih khusus konteksnya setelah Partai Islam Masyumi bubar, tidak sedikit pimpinan Muhammadiyah yang berpaham, berpikiran, dan bertindak ala partai politik karena terpengaruh orientasi politik praktis.
Politik praktis merupakan istilah yang sudah baku dalam Muhammadiyah sejak Tanwir di Kaliurang Yogyakarta tahun 1956 ketika Muhammadiyah berusaha keluar dari Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia” yang waktu itu posisinya sebagai “Anggota Istimewa”. Sebelumnya Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII, SI) keluar dari Masyumi tahun 1948, sesudahnya Nahdlatul Ulama (NU) keluar tahun 1952 yang kemudian menjadi partai politik sendiri serta menjadi salah satu peserta Pemilu tahun 1956. Istilah “politik praktis” berkaitan dengan politik yang berorientasi pada tujuan meraih kedudukan atau jabatan politik dalam kekuasaan pemerintahan atau negara, setara dengan istilah dalam ilmu politik disebut “real politics”. Muhammadiyah saat itu masih belum berhasil keluar dari Masyumi, meskipun mulai berjarak dari politik praktis hingga partai politik Islam itu kemudian bubar atau dibubarkan tahun 1958.
Kepribadian Muhammadiyah yang paling utama mengandung Sepuluh sifat Muhammadiyah yaitu: (1) Beramal dan berjuang untuk perdamaian dan kesejahteraan; (2) Memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah Islamiyah; (3) Lapang dada, luas pandangan, dengan memegang teguh ajaran Islam; (4) Bersifat keagamaan dan kemasyarakatan; (5) Mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan falsafah negara yang sah; (6) Amar ma’ruf nahi munkar dalam segala lapangan serta menjadi contoh teladan yang baik; (7) Aktif dalam perkembangan masyarakat dengan maksud ishlah dan pembangunan, sesuai dengan ajaran Islam; (8) Kerjasama dengan golongan Islam manapun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan agama Islam serta membela kepentingannya; (9) Membantu pemerintah serta bekerjasama dengan golongan lain dalam memelihara dan membangun Negara untuk mencapai masyarakat adil dan makmur yang diridlai Allah SWT.; (10) Bersifat adil serta korektif ke dalam dan keluar dengan bijaksana.
Kepribadian Muhammadiyah dengan sebab kelahirannya terkait Masyumi tersebut tentu objektif karena dirumuskan oleh para tokoh Muhammadiyah yang saat itu banyak terlibat dan merangkap di partai politik Islam tersebut, sehingga merasakan betul betapa terjadi konflik kepentingan akibat merangkap di dua posisi tersebut. Muhammadiyah selain menjadi bercitarasa parpol, pada saat sama usaha-usaha dakwah kemasyarakatan pun terbengkalai sehingga setelah itu lahir Khittah Muhammadiyah. Muhammadiyah bukan anti politik yang berorientasi pada kekuasaan, tetapi orientasi politik tersebut secara langsung merupakan fungsi utama dari kegiatan partai politik.
Muhammadiyah juga bukan kekuatan masyarakat sipil (civil society) ala Barat yang kehadirannya vis a vis negara sebagaimana menjadi ideologi kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau NGO (Non-Governmental Organization) yang karakternya berpaham demokrasi liberal dan orientasinya bersifat konfrontatif, selalu anti-rezim pemerintah atau status-quo lainnya. Seluruh anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah penting menghayati secara mendalam bagaimana menyesuaikan diri agar mampu dan tampil secara autentik dengan sepuluh sifat Kepribadian Muhammadiyah.
Pandangan Wasathiyah
Jika diperas sejatinya Kepribadian Muhammadiyah mengandung sifat “wasathiyah” dalam bermuhammadiyah. Bacalah setiap ciri dari nomor satu sampai sepuluh, selalu ada harmonisasi dalam orientasi berpikir dan bertindak. Kepribadian Muhammadiyah jauh dari sifat ekstrem baik dalam bersikap pro maupun kontra, ke kanan maupun ke kiri, dan sikap berlebihan lainnya. Sungguh jika merujuk pada Kepribadian Muhammadiyah lebih dari cukup sebagai patokan bersikap, berpandangan, dan bertindak dalam bermuhammadiyah yang memenuhi syarat “memegang prinsip dengan wasathiyyah”, artinya memegang prinsip sebagai dasar tetapi bersikap luwes dan luas dalam praktik membawa Muhammadiyah dalam kehidupan internal, keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan global atau universal.
Cobalah setiap anggota lebih-lebih kader dan pimpinan di seluruh tingkatan dan lingkungan mencermati dengan seksama dan menghayati dengan mendalam bagaimana kesepuluh sifat Muhammadiyah tersebut. Jadikan sepuluh sifat itu menjadi sifat seluruh anggota, kader, dan pimpinan dalam bermuhammadiyah ke dalam dan keluar. Sebutlah bagi yang selalu mengusung “amar makruf mahi munkar”, bacalah sifat keenam “Amar ma’ruf nahi munkar dalam segala lapangan serta menjadi contoh teladan yang baik”, di situ dikaitkan dengan pentingnya “teladan yang baik”, bukan amar makruf nahi munkar yang sembarangan. Amar makruf nahi munkar itu dua aspek saling terkait, jangan dirediksi dan menjelma hanya menjadi “nahyu munkar” semata.
Bagi mereka yang suka mengkritik keadaan di luar dengan garang dan tidak jarang vulgar, simaklah sifat kesepuluh, “Bersifat adil serta korektif ke dalam dan keluar dengan bijaksana.”. Kritik bagus, tapi pekerjaan hanya mengeritik tanpa imbangan positif, sama dengan nahyu munkar tanpa amar makruf, bisa juga sebaliknya. Mestinya balance, yakni seimbang dan proporsional. Ada tiga sifat yang harus diperhatikan dari Kepribadian yaitu adil dan korektif disertai bijaksana. Adil itu proporsional, menempatkan sesuatu pada tempatnya. Kritik jangan karena tidak suka, apalagi terus menerus mencari celah dan kesalahan pihak lain. Bersikaplah adil hatta terhadap orang atau pihak yang tidak disukai, itulah ajaran Al-Quran. Adil itu mudah diucapkan dan dijadikan pemikiran tetapi tidak gampang dipraktekkan karena manusianya sering memiliki sifat, orientasi, dan kepentingan subjektif.
Kepribadian Muhammadiyah juga mengajarkan keseimbangan hatta dalam mengkritik pihak lain atau keadaan. Mengkoreksi atau mengeritik mesti disertai sikap bijaksana. Bijaksana itu secara sederhana selalu menggunakan akal budi (pengalaman dan pengetahuannya); arif; tajam pikiran; pandai dan hati-hati (cermat, teliti, dan sebagainya) termasuk apabila menghadapi kesulitan dan sebagainya. Pilihlah kata atau bahasa yang paling baik dalam mengkritik disertai argumentasi yang adil dan objektif, wa jadilhum billaty hiya ahsan (QS An-Nahl: 125). Kalimat atau kata yang tajam atau tegas itu tidak mesti gegabah disertai diksi-diksi yang vulgar dan dapat menyakiti pihak yang dikritik. Kritik tidak identik dengan menyerang, mendiskreditkan, dan memvonis pihak yang dikritik sebagai objek penderita. Bijaksana itu mengandung adil dan ihsan. Bersikap tengahan dan tidak ekstrem atau berlebihan. Takaran kearifan atau kebijaksanaan itu ada pada keluhuran pilihan kata atau bahasa, sikap, dan tindakan yang membawa nilai kebaikan, keutamaan, dan kemaslahatan disertai kedalaman perasaan dan hati yang bersih tanpa amarah dan kegeraman terhadap pihak lain. Kepada pihak yang tidak disukai pun hendaknya berbuat adil dan ihsan, itulah perintah Allah dalam Al-Quran.
Muhammadiyah itu organisasi besar yang harus dijaga marwah dan keberadaannya secara seksama dan arif bijaksana. Menjaga marwah Muhammadiyah jangan menggunakan ukuran personal yang seringkali subjektif, tetapi pakailah nilai dan koridor organisasi yang telah berlaku dan dipedomani bersama secara tersistem. Posisikan, perankan, dan bawa Muhammadiyah sebagai organisasi besar sebagaimana mestinya dengan pandangan moderat antara lain bersikap adil dan ihsan. Kuat dalam prinsip tetap luwes dan luas dalam cara, serta tidak menjadikan semua hal lebih-lebih urusan muamalah sebagai prinsip dengan pola pikir sendiri.
Muhammadiyah itu organisasi keagamaan dan kemasyarakatan atau Ormas, maka jangan ditampilkan laksana partai politik maupun LSM dan organisasi sejenis yang berbeda dengan karakte4 Muhammadiyah. Pendekatan gerakannya “lil-muwajahah” (konstruktif-positif) dan bukan “lil-mua’aradlah” (konfrontatif-negatif) dalam misi besar dakwah dan tajdid yang mencerahkan sebagaimana terkandung dalam Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua tahun 2010. Pendekatan tersebut bukan berarti Muhammadiyah lembek atau lemah serta mengikuti arus politik dan keadaan, sebab Muhammadiyah tetap memiliki prinsip dalam gerakannya sehingga memahami bagaimana harus bersikap dalam menghadapi keadaan.
Muhammadiyah mengetahui dan dapat bersikap dalam membedakan dan memilih mana yang benar dan salah, baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, serta hal-hal lain yang sejalan atau tidak sejalan dengan ajaran Islam dan prinsip gerakannya. Dengan Berkepribadian Muhammadiyah maka Muhammadiyah sebagai Ormas Islam yang besar bermisi dakwah dan tajdid di tengah berbagai tarik menarik kepentingan niscaya dapat dijaga keberadaan dan fungsinya dalam lintasan gerak yang luas, dinamis, tersistem, dan terlembaga untuk memajukan kehidupan dan peradaban utama yang rahmatan lil-‘alamin!
sumber: suara muhammadiyah