Yogyakarta, InfoMu.co – Islam mengajari manusia untuk berpikir secara verbal, sampai berpikir secara substantif. Atau berpikir secara logis sampai berpikir secara sainstifik.
Demikian disampaikan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir. Pola pikir tersebut yang diinsyafi oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah , yang menjadikannya begitu maju. Karena Majelis Tarjih dan Muhammadiyah umumnya dalam memahami Islam dan fenomena kehidupan secara komprehensif.
“Di posisi teks saja harus mendalam dan meluas, serta multiperspektif. Karena memang ada ayat yang tidak cukup didekati dengan bayani,” ucap Hedar pada (8/2) di acara Pengembangan Sains dan Teknologi di Persyarikatan Muhammadiyah
Namun ia menyayangkan, dengan kekayaan Islam yang begitu rupa dalam metode pendekatan ilmu tapi mubaligh kekinian dalam mendekati ayat masih secara parsial. Pendekatan selanjutnya adalah dengan burhani yang secara luas bisa diartikan sebagai rasional dan keilmuan. Yang dilakukan secara mendalam-meluas dan multipersepektif.
Di era media sosial sekarang, pola pikir manusia dalam memahami agama sudah rusak, termasuk dalam memahami realitas kehidupan. Menurutnya, kerusakan tersebut akibat parsialisasi masyarakat Islam dalam memahami agama dan melihat realitas. Haedar mengistilahkan pola pikir tersebut sebagai pandangan yang “miopik”.
Aspek ketiga adalah pendekatan irfani-roso-batin, atau dalam istilah lain adalah aspek tasawuf atau ikhsan. Aspek ketiga ini dimaksudkan supaya manusia dalam menjalani kehidupan tidak sebagai ‘robot’. Mengutip Alvin Toffler, manusia tersebut masuk dalam jenis the module man (manusia modul).
“Begitu juga ketika ada masalah kita meluruskan masalah itu juga harus ada aspek irfaninya,” imbuh Haedar
Sejarah untuk Mengembangkan Sains dan Teknologi Islam
Jika tiga pendekatan tersebut difungsionalkan, maka Islam akan kaya dengan pemikiran, pemahaman kehidupan dan khazanah keilmuan. Aspek selanjutnya yang perlu dipahami untuk mengembangkan Sains dan Teknologi dalam Islam adalah aspek sejarah.
Islam di masa lalu sempat berjaya selama 7 abad, terkait dengan sains dan teknologi saat itu dunia berkiblat pada Islam. Pemikir-pemikir Islam waktu itu adalah representasi dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Menurut Haedar, di zaman itu masyarakat muslim mampu membumikan iqra’ dan seluruh perangkat sains yang ada dalam pondasi Islam dalam membangun peradaban.
“Islam mengintegrasikan ad din dan ‘ilm, termasuk teknologi di dalamnya sebagai satu kesatuan tidak ada sekularitas antara ilmu dan agama. Tapi keduanya harus terus bergulat dengan terus memperbaharui alam pemikirannya,” urai Haedar
Ia menjelaskan, tidak mungkin ada dialog dan negosiasi antara agama dan ilmu jika keduanya saling menyempit. Haedar menekankan, bahwa tidak akan ketemu jika agama menjadi ultra konservatif (sangat kolot) dan ilmu yang positivistik. Di situ yang menyebabkan seringnya keteganggan antara agama dengan ilmu. (muhammadiyah.or.id)