Filsafat Sosial Haji: Perjalanan Spiritual Menuju Kesatuan dan Kemanusiaan
Oleh: Syahbana Daulay
Setiap tahun, jutaan umat Islam dari berbagai belahan dunia memenuhi panggilan suci untuk berhaji dan berumrah. Dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala berfirman:
وَأَذِّن فِى ٱلنَّاسِ بِٱلْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ (27) لِّيَشْهَدُوا۟
مَنَٰفِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا۟ ٱسْمَ ٱللَّهِ فِىٓ أَيَّامٍ مَّعْلُومَٰتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّنۢ بَهِيمَةِ ٱلْأَنْعَٰمِ فَكُلُوا۟ مِنْهَا
وَأَطْعِمُوا۟ ٱلْبَآئِسَ ٱلْفَقِيرَ (28)
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan dengan mengendarai unta yang kurus, yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. (QS. Al-Hajj: 27-28).
Ayat ini tidak hanya menggambarkan perintah syariat, tetapi juga mencerminkan makna filosofis yang dalam: haji sebagai ajang transformasi spiritual dan sosial. Haji bukan sekadar ritual keagamaan, melainkan proses pembangunan manusia dalam dimensi iman, solidaritas, dan perdamaian.
Idul Adha dan Momentum Persatuan Umat
Hari Raya Idul Adha, puncak dari rangkaian ibadah haji, bisa dianggap sebagai "konferensi akbar umat Islam" yang merayakan persatuan lintas bangsa, bahasa, dan budaya. Menurut Dr. Hamka, seorang ulama dan filsuf Muslim Indonesia, haji adalah ajang “tazkiyatun nafs” atau penyucian jiwa yang terjadi dalam kerangka sosial. Dalam pandangannya, haji bukan hanya urusan pribadi antara hamba dan Tuhannya, tetapi juga interaksi horizontal antar sesama manusia. Rasulullah SAW bersabda: “Perumpamaan orang-orang beriman dalam saling
mencintai, menyayangi, dan mengasihi di antara mereka adalah seperti satu tubuh. Jika satu anggota tubuh merasa sakit, maka seluruh tubuh turut merasakannya.” (HR. al-Bukhari Muslim)
Haji secara praktis menyatukan umat dalam ibadah kolektif yang menghapus sekat sosial dan budaya. Pakaian ihram yang seragam menjadi simbol kesetaraan, meniadakan perbedaan status sosial di hadapan Allah.
Filsafat Haji: Menapaki Jalan Menuju Allah. Filsafat haji menekankan bahwa perjalanan ini adalah bentuk pengorbanan dan ketulusan yang total. Seorang haji meninggalkan zona nyamannya untuk menghadapi berbagai tantangan fisik dan spiritual, dengan satu tujuan: mendekatkan diri kepada Allah.
Seperti diungkapkan oleh Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Qur’an, haji adalah “perjalanan simbolik menuju Allah” yang memadukan antara zikir, amal, dan pengendalian diri. Slogannya adalah kalimat talbiyah:
“Labbaik Allahumma labbaik…” (Aku datang memenuhi panggilan-Mu, ya Allah…) Dr. Ali Shariati, seorang pemikir Muslim dari Iran, menyebut haji sebagai “revolusi spiritual” yang membangkitkan kesadaran umat terhadap ketundukan kepada Tuhan dan kepedulian terhadap sesama.
Ziarah ke Ka’bah harus dilakukan dengan hati, lisan, dan perilaku yang bersih. Jangan datang ke rumah Allah dengan membawa kezaliman atau keburukan, tentu bukan rahmat yang didapat tapi murka dari Allah swt.
Al-Qur’an menegaskan kesucian Ka’bah sebagai tempat aman dan kembali bagi manusia: “Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah (Ka'bah) sebagai tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman.” (QS. Al-Baqarah: 125). Kesucian ini mencerminkan pentingnya etika dan integritas dalam menjalankan ibadah. Dalam
konteks ini, haji juga menjadi mekanisme koreksi diri dan introspeksi sosial. Manifestasi Perdamaian dan Dimensi Sosial Haji Salah satu nilai penting dalam haji adalah terwujudnya suasana aman dan damai. Di Mekkah, bahkan hewan-hewan pun dilindungi; suasana penuh ketenteraman ini menggambarkan pesan universal Islam: keselamatan dan rahmat bagi seluruh alam. Nabi SAW bersabda:
إِنَّ هَذَا الْبَلَدَ حَرَّمَهُ اللَّهُ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya kota ini (Mekkah) telah Allah jadikan suci sejak Dia menciptakan langit dan bumi. Ia tetap suci hingga Hari Kiamat.” (HR Bukhari Muslim).
Haji mengajarkan bahwa perdamaian bukan hanya slogan, tetapi praktik nyata yang dijalankan dalam tindakan dan niat, baik terhadap manusia maupun makhluk lain.
Secara sosial, ibadah haji memiliki dampak yang sangat luas, yaitu menguatkan solidaritas umat. Haji mempertemukan umat dari berbagai latar belakang dalam satu tujuan yang sama. Haji menumbuhkan semangat gotong royong. Ini terlihat sejak sebelum berangkat, dalam perjalanan, di tenda-tenda di Mina, hingga berbagi daging kurban. Haji juga memupuk kepekaan sosial melalui interaksi langsung dengan sesama, kesenjangan sosial dapat dilihat dan diatasi. Prosesi haji Mendorong refleksi historis dan spiritual dengan ziarah ke tempat-tempat bersejarah Islam. Filsafat haji mengajarkan bahwa umat Islam harus menjadi agen perubahan sosial.
Menurut Prof. M. Quraish Shihab, haji melatih jiwa untuk menjadi pribadi yang sadar diri dan tanggap terhadap
kondisi masyarakat.
Haji sebagai Cermin Peradaban Islam
Filsafat haji bukan hanya soal perjalanan fisik, melainkan perjalanan maknawi menuju pembentukan kepribadian yang paripurna: rendah hati, sabar, dermawan, dan bersatu dalam iman. Haji mengajak setiap Muslim untuk memperbaiki dirinya dan memberikan kontribusi bagi dunia yang lebih damai. “Haji yang mabrur, tidak ada balasan baginya kecuali surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika umat Islam mampu meresapi makna terdalam dari haji, maka ibadah ini tak hanya menjadi ritual tahunan, tetapi juga tonggak perubahan menuju masyarakat madani yang berlandaskan tauhid, persaudaraan, dan keadilan. Wallahu a’lam.
*** Penulis, Syahbana Daulay, Dosen UMSU, Anggota Majelis Tabligh PW Muhammadiyah Sumut