Farid Wajdi : Setop dan Audit MBG Secara Total!
Negara ini tampaknya masih gemar belajar dengan cara paling mahal: menunggu anak-anak sakit dulu, baru sadar ada yang salah. Program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang semestinya menjadi simbol kepedulian terhadap generasi muda, kini justru menjelma jadi rangkaian kabar muram. Dari Kupang hingga Lampung, dari Sleman sampai Laguboti, berita keracunan massal terus berulang—meninggalkan jejak ironi: program bergizi yang berujung ke IGD.
Puluhan perempuan dan para ibu turun ke jalan, menyerukan penghentian MBG di depan kantor BGN. Mereka bukan anti-gizi, bukan pula anti-program pemerintah. Mereka hanya jenuh menyaksikan anak-anak mereka dijadikan kelinci percobaan dari proyek populis yang tergesa, tanpa pengawasan yang layak, tanpa jaminan keselamatan. Aksi emak-emak dan koalisi warga itu adalah jerit akal sehat: hentikan sejenak, perbaiki, baru lanjutkan.
Namun pemerintah masih sibuk dengan angka. Pejabat menenangkan publik bahwa jumlah korban “tidak signifikan”—hanya sebagian kecil dari jutaan penerima manfaat. Padahal, dalam urusan nyawa manusia, logika persentase adalah bentuk kelalaian yang berbungkus statistik. Satu anak yang keracunan adalah tragedi, bukan margin error.
Faktor keselamatan jelas diabaikan. Di lapangan, dapur penyedia MBG beroperasi seperti pabrik darurat. Ibu-ibu yang terbiasa memasak untuk sepuluh orang disuruh menyiapkan tiga ribu porsi. Tidak ada sistem Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP), tidak ada rantai dingin, tidak ada jaminan higienitas. Anggaran per porsi—sekitar Rp15 ribu—bahkan tidak cukup untuk membeli lauk layak, apalagi memastikan kualitas dan penyimpanan yang benar. Negara menuntut gizi tinggi dengan biaya rendah; hasilnya, risiko tinggi dan anak yang jadi korban.
Lebih parah lagi, muncul indikasi sekolah diminta merahasiakan kasus keracunan, agar citra program tetap mulus. Jika benar, ini bukan sekadar maladministrasi, melainkan pelanggaran moral: negara menutupi luka rakyatnya demi menjaga wajah kekuasaan. Di titik inilah, protes publik menjadi bukan hanya wajar, melainkan perlu. Ketika negara mengabaikan nyawa, maka suara rakyat adalah bentuk perlawanan terhadap kelalaian.
Kegagalan MBG bukan hanya soal dapur, tapi soal desain kebijakan yang salah urus. Pemerintah membangun program nasional tanpa memastikan fondasi keamanan pangan, tanpa pengawasan memadai, dan tanpa keterlibatan publik dalam evaluasi. Kita menyaksikan negara yang lebih cepat mencetak spanduk “sukses menyalurkan gizi” daripada membangun sistem yang mencegah anak keracunan.
Apakah MBG harus dihentikan total? Tidak harus begitu ekstrem—tetapi moratorium selektif dan audit independen nasional adalah keharusan. Program ini perlu dibongkar dari akarnya: perbaiki standar keamanan pangan, naikkan alokasi biaya per porsi agar realistis, wajibkan sertifikasi dapur penyedia, dan buka seluruh laporan audit ke publik. Tanpa langkah ini, MBG hanya akan menjadi singkatan baru: Makan, Berisiko, Gawat.
Negara tidak boleh bermain statistik atas nyawa anak-anaknya. Jika pemerintah sungguh ingin menyehatkan bangsa, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah menyehatkan niat: menempatkan keselamatan di atas citra, kejujuran di atas propaganda, dan akuntabilitas di atas ambisi politik. Karena dalam hal gizi anak, kegagalan sekecil apa pun bukan sekadar kesalahan teknis—itu adalah dosa kebijakan.
***Farid Wajdi
Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020

