• Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
Infomu
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
No Result
View All Result
Infomu
No Result
View All Result
Farid Wajdi

Farid Wajdi : Jangan Jadikan Anak Kelinci Percobaan MBG

Syaiful Hadi by Syaiful Hadi
3 Oktober 2025
in Kabar
0
Jangan Jadikan Anak Kelinci Percobaan MBG
“Kasus keracunan hanya 0,00017 persen dari total penerima.” Demikian Presiden berusaha meredam kegelisahan publik atas rentetan kasus keracunan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Secara matematis, pernyataan itu sahih. Dari puluhan juta porsi yang dibagikan, “hanya” ribuan yang bermasalah. Namun, bagi seorang anak yang tergeletak di IGD karena keracunan, angka itu sama sekali tidak menghibur. Statistik mungkin kecil di atas kertas, tetapi rasa sakit dan trauma tidak pernah sekecil itu di dunia nyata.
Pemerintah memilih cara mudah: menutupi tragedi dengan persentase. Angka dijadikan perisai, sementara wajah anak-anak korban luput dari sorotan. Padahal, psikolog sudah memberi peringatan keras. Trauma yang berulang membuat sebagian anak kini takut makan di sekolah, menolak makanan tertentu, bahkan stres hanya dengan mendengar kata “MBG.” Program yang semestinya menumbuhkan keceriaan justru menanamkan rasa waswas. Ironi yang telak.
Mengapa kasus ini terus berulang? Pertama, karena program dipaksakan terlalu cepat. Dalam hitungan bulan, MBG diperluas ke jutaan penerima. Namun, infrastruktur dapur, distribusi, hingga sistem uji kualitas jelas tidak siap. Akibatnya, standar kebersihan sering diabaikan dan kesalahan teknis mudah terjadi.
Kedua, soal anggaran. Misalnya biaya hanya Rp6.500 per porsi. Pertanyaan sederhana: makanan sehat dan aman apa yang bisa disajikan dengan dana semurah itu? Realitasnya, penyedia ditekan untuk berhemat. Bahan baku murahan dipilih, higienitas terabaikan, dan standar gizi dikompromikan. Anak-anak pun membayar harga dari logika “murah meriah” ini.
Ketiga, lemahnya pengawasan. Ada dapur yang sudah dinyatakan bermasalah, tetapi tetap beroperasi sebelum evaluasi tuntas. Ini menunjukkan keselamatan anak diperlakukan sebagai variabel yang bisa dinegosiasikan. Dalam logika proyek, yang penting target tercapai, sementara risiko dianggap bisa “dikelola.” Padahal, setiap sendok nasi yang masuk ke mulut anak mestinya diawasi ketat, bukan dibiarkan tergantung pada niat baik penyedia.
Keempat, tekanan politik. MBG adalah proyek mercusuar. Angka penerima menjadi trofi politik yang harus segera dipamerkan. Akibatnya, pencapaian kuantitas lebih diutamakan ketimbang kesiapan teknis. Publik pun menangkap kesan kuat: MBG lebih mirip proyek pencitraan ketimbang program sosial yang sungguh berpihak pada anak.
Dampak dari semua itu jauh melampaui keracunan fisik. Anak-anak yang menjadi korban kini tumbuh dengan rasa tidak aman. Mereka bisa kehilangan kepercayaan kepada sekolah, kepada guru, bahkan kepada negara. Pertanyaan sederhana yang bisa lahir dari mulut seorang bocah—“Kenapa makanan gratis bikin sakit?”—adalah pertanyaan moral yang menohok. Trauma psikologis yang tidak ditangani akan berimbas pada pola makan, gizi, kesehatan mental, bahkan prestasi akademik. Di sinilah letak uji moral negara. Apakah penderitaan ribuan anak hanya akan dipandang sebagai “biaya kecil” dari sebuah program besar? Apakah pemerintah rela mengorbankan rasa aman anak demi klaim keberhasilan statistik? Pertanyaan-pertanyaan ini menuntut jawaban yang lebih jujur ketimbang sekadar angka persentase.
Koreksi mendasar tak bisa ditunda. Pemerintah harus berani menghentikan dapur bermasalah, melakukan audit independen yang transparan, menaikkan standar biaya agar kualitas benar-benar layak, serta menyediakan pendampingan psikologis bagi anak-anak korban. Di atas itu semua, transparansi adalah syarat mutlak. Publik berhak tahu data korban, penyebab keracunan, dan langkah perbaikan nyata. Tanpa itu, kepercayaan yang sudah tergerus tak akan pulih.
Tujuan MBG sejatinya luhur: mengurangi kelaparan, memperbaiki gizi, menekan stunting. Tetapi tujuan mulia bisa berubah menjadi bumerang bila dieksekusi serampangan. Anak-anak bukanlah obyek proyek yang dipamerkan di panggung politik. Mereka adalah subjek yang harus dilindungi dengan segala daya. Negara yang benar-benar hadir bukan negara yang pandai menghitung persentase, melainkan negara yang tegas memastikan tidak ada satu pun anak yang perlu takut makan siang di sekolahnya.
*** Farid Wajdi
Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020

Bagikan ini:

  • Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
  • Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
  • Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
  • Klik untuk mengirimkan email tautan ke teman(Membuka di jendela yang baru) Surat elektronik
  • Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
  • Klik untuk mencetak(Membuka di jendela yang baru) Cetak
Tags: farid wajdimbg
Previous Post

Khutbah Jumat : Waspada Bahaya Judi Online dan Utang Konsuntif

Next Post

Makna Warna dalam Logo Milad Muhammadiyah ke-113

Next Post
Makna Warna dalam Logo Milad Muhammadiyah ke-113

Makna Warna dalam Logo Milad Muhammadiyah ke-113

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • Beranda
  • Kabar
  • Literasi
  • Kolom
  • Kesehatan
  • Muktamar
  • Pendidikan
  • Redaksi
Call us: +1 234 JEG THEME

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.