Farid Wajdi Founder Ethics of Care: MBG Berbenah, Hentikan Distribusi, Perbaiki Sistem
INFOMU.CO | Medan – Farid Wajdi Founder Ethics of Care, minta agar MBG (Makan Bergizi Gratis) untuk berbenah, Hentikan Distribusi, Perbaiki SistemProgram Makan Bergizi Gratis (MBG) yang sejak awal digagas untuk meningkatkan kualitas gizi anak bangsa kini menghadapi ujian berat. Alih-alih menjadi simbol kepedulian negara terhadap generasi muda, MBG justru berubah menjadi polemik nasional.
Kata Farid Wajdi, tuduhan penggunaan minyak babi pada ompreng impor dari Tiongkok, ditambah berulangnya kasus keracunan massal siswa di berbagai daerah, telah mengguncang sendi-sendi paling sensitif dalam masyarakat Indonesia: persoalan halal, kesehatan, serta legitimasi sosial kebijakan negara. Fakta ini menuntut keputusan tegas: program MBG harus dihentikan sementara hingga seluruh sistemnya benar-benar diperbaiki.
Mengapa penghentian sementara menjadi keharusan? Pertama, tata kelola rantai pasok program ini menunjukkan kegagalan yang sangat serius. Sebuah program berskala nasional mestinya dilindungi oleh sistem audit yang ketat sejak hulu. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: indikasi pemalsuan label asal barang, dugaan penggunaan pelumas berbasis lemak babi dalam proses produksi, hingga lemahnya verifikasi pemasok menyingkap celah fatal. Alih-alih menempatkan sertifikasi halal dan standar mutu sebagai syarat utama, pengadaan terjebak dalam logika efisiensi biaya dan percepatan distribusi. Konsekuensinya, negara dirugikan, masyarakat menjadi korban.
Kedua, koordinasi antar-lembaga berjalan tidak terpadu. BPOM, BPJPH, MUI, BGN, hingga pemerintah daerah tampak bekerja dalam orbit masing-masing tanpa satu komando jelas. Publik pun hanya menerima potongan informasi yang saling bertabrakan: laporan investigasi dari luar negeri, klarifikasi parsial di dalam negeri, hingga forum diskusi internal antar-lembaga agama. Kekacauan narasi ini menciptakan ruang luas bagi rumor, hoaks, dan pada akhirnya memperparah ketidakpercayaan publik.
Ketiga, aspek halal yang sangat fundamental diabaikan. Dalam standar industri global, dugaan kontaminasi pelumas berbahan hewani mungkin dianggap sepele. Tetapi dalam perspektif halal, hal itu bersifat mutlak: produk menjadi tidak sah dikonsumsi. Ketidakpekaan terhadap prinsip ini menunjukkan adanya perbedaan paradigma tajam antara logika industri dengan kebutuhan sosial-keagamaan mayoritas masyarakat Indonesia. Karena itu, sertifikasi halal seharusnya diwajibkan sejak pra-kontrak, bukan hanya sekadar formalitas di ujung proses pengadaan.
Keempat, lemahnya pengawasan kualitas pangan semakin menambah persoalan. Gelombang keracunan massal yang menimpa ribuan siswa memperlihatkan standar higienitas dan keamanan pangan tidak dibangun secara sistemik. Negara terlihat lebih sibuk menyalurkan makanan ketimbang memastikan mutu serta keamanannya.
Lebih buruk lagi, pola penanganan setiap insiden hanya bersifat insidental, bukan struktural. Setelah keracunan, dilakukan investigasi terbatas. Setelah isu halal, muncul klarifikasi singkat. Namun, tidak ada reformasi permanen dalam sistem pengadaan, audit rantai pasok, maupun pembangunan kapasitas industri domestik. Pola manajemen krisis yang reaktif ini menegaskan lemahnya keseriusan negara dalam melindungi warganya.
Karena itu, demikian Farid Wajdi, langkah paling rasional saat ini adalah menghentikan sementara distribusi MBG untuk memperbaiki sistem secara total. Penghentian ini harus diiringi penarikan seluruh produk bermasalah, penghentian distribusi batch berisiko, serta transparansi penuh melalui hasil uji laboratorium independen yang diumumkan kepada publik. Pemerintah juga perlu membentuk satuan tugas lintas lembaga dengan kewenangan penuh—BPOM untuk keamanan pangan, BPJPH-MUI untuk aspek halal, dan BGN untuk distribusi—sehingga koordinasi tidak lagi berjalan parsial. Lebih jauh, reformasi struktural mesti diwujudkan lewat penguatan industri domestik agar mampu memproduksi wadah makanan sesuai standar halal-SNI, serta penerapan sistem penelusuran digital (traceability) yang memungkinkan publik melacak asal-usul setiap batch pangan.
Halal di Indonesia bukan sekadar label, melainkan identitas, kepercayaan, dan legitimasi sosial. Begitu muncul tuduhan keterkaitan dengan minyak babi, program pemerintah yang sejatinya berniat mulia langsung kehilangan legitimasi moral. Karena itu, sebelum krisis kepercayaan semakin dalam, MBG memang harus dihentikan sementara agar dapat diperbaiki dari akar permasalahannya. Anak-anak Indonesia layak memperoleh makanan bergizi yang tidak hanya sehat, tetapi juga halal dan aman. Jika negara gagal menjamin hal ini, maka program yang diniatkan sebagai investasi masa depan bangsa justru akan berubah menjadi sumber kekecewaan kolektif. (***)
