Hubungan antarindividu harusnya diatur oleh nilai-nilai moral dan agama untuk menjaga harmoni serta kehormatan. Namun, realitas pahit menunjukkan adanya kasus-kasus yang mencoreng nilai-nilai tersebut, salah satunya adalah inses, bahkan hingga tindakan keji berupa pelecehan seksual terhadap anak kandung sendiri.
Fenomena ini bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga bertentangan dengan ajaran agama, khususnya dalam Islam, yang dengan tegas mengatur hubungan mahram dan batasan-batasannya.
Dalam Islam, mahram didefinisikan sebagai seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, yang karena hubungan darah, susuan, atau perkawinan, dilarang untuk menikah satu sama lain. Al-Qur’an dengan jelas menyebutkan larangan ini dalam Surah an-Nisa ayat 23:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ…
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan…” [QS. an-Nisa: 23].
Selain karena keturunan, hubungan mahram juga dapat terjadi karena susuan, sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi Muhammad SAW:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بِنْتِ حَمْزَةَ لَا تَحِلُّ لِي يَحْرُمُ مِنْ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنْ النَّسَبِ…
“Dia (putri Hamzah) tidak halal bagiku, darah susuan mengharamkan seperti apa yang diharamkan oleh darah keturunan…” [HR. al-Bukhari].
Dengan demikian, susuan menciptakan hubungan mahram yang setara dengan keturunan, mencakup ibu susuan dan saudara sepersusuan. Ketentuan ini menunjukkan betapa Islam memuliakan ikatan yang terjalin melalui proses menyusui, yang dianggap membentuk hubungan keluarga yang sakral.
Mahram karena perkawinan juga memiliki aturan ketat. Misalnya, ibu mertua menjadi mahram hanya dengan akad nikah, tanpa memerlukan hubungan suami-istri yang telah terjalin. Demikian pula, anak tiri menjadi mahram jika ibunya telah dicampuri, sebagaimana dijelaskan dalam Surah an-Nisa ayat 23.
Selain itu, Islam melarang menghimpunkan dua wanita yang bersaudara dalam pernikahan serentak, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَلَا بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا
“Tidak boleh perempuan dihimpun dalam perkawinan antara saudara perempuan dari ayah atau ibunya.” [HR. Muslim].
Namun, ketika salah satu dari dua wanita tersebut meninggal, pernikahan dengan yang lain menjadi diperbolehkan, seperti yang terjadi pada Utsman bin Affan yang menikahi Ummu Kulsum setelah Ruqayyah wafat.
Tragedi inses, terutama pelecehan seksual terhadap anak sendiri, adalah pelanggaran berat terhadap batasan mahram ini. Anak perempuan, sebagai mahram abadi, tidak hanya dilarang untuk dinikahi, tetapi juga harus dilindungi kehormatannya.
Islam menegaskan pentingnya menjaga pandangan dan kemaluan, sebagaimana firman Allah dalam Surah an-Nur ayat 30-31:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ…
“Katakanlah kepada para lelaki mukmin, hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka…” [QS. an-Nur: 30-31].
Lebih lanjut, hadis Rasulullah SAW kepada Asma’ menegaskan batasan aurat:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَسْمَاء “يَا أَسْمَاء !إِنَّ المَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمََحِيْضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هذَا وَهذَا”
“Wahai Asma’! Sesungguhnya seorang perempuan yang sudah haid tidak boleh dilihat darinya kecuali ini dan ini (wajah dan kedua telapak tangan).” [HR. Abu Dawud]
Pelanggaran terhadap batasan ini, apalagi dalam bentuk pelecehan seksual, adalah dosa besar yang merusak tatanan keluarga dan masyarakat. Kasus inses tidak hanya melanggar syariat, tetapi juga menimbulkan trauma mendalam bagi korban, merusak ikatan keluarga, dan mencoreng martabat kemanusiaan.
Islam mengajarkan bahwa hubungan mahram harus menjadi benteng perlindungan, bukan celah untuk nafsu yang menyimpang.
Untuk mencegah fitnah, Islam menganjurkan agar seseorang menghindari berduaan dengan mahram mu’aqqat (sementara, seperti ipar) dalam situasi yang tidak perlu. Oleh karena itu, kasus inses dan pelecehan seksual bukan hanya pelanggaran hukum syariat, tetapi juga pengkhianatan terhadap amanah menjaga kehormatan keluarga.
Sebagai umat Islam, kita dituntut untuk kembali pada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah, menjaga batasan mahram, dan melindungi generasi. Hanya dengan menegakkan nilai-nilai syariat, kita dapat membangun keluarga yang harmonis dan masyarakat yang bermartabat, jauh dari bayang-bayang dosa dan kerusakan moral. (muhammadiyah.or.id)