Edy Rahmayadi dan PDIP
Oleh Shohibul Anshor Siregar

Boleh dikata bahwa pada last minutes Edy Rahmayadi “ditinggal” Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Banyak media memberitakan, termasuk yang menyatakan bahwa kepergian PKS ini sebuah kepiluan bagi figur yang akhirnya diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Partai berlambang Moncong Putih berhasil menolak semua bujukan berkoalisi membangun sebuah lawan kontestasi enteng bernama Kotak Kosong, untuk memuluskan agenda dinasti Joko Widodo melalui Pilkada Sumatera Utara 2024.
Di Jakarta mungkin Anies sedang akan merasakan hal yang sama, juga akan ditinggal oleh PKS. Anies tak berhasil membangun koalisi, itulah narasi PKS ke publik.
Tetapi sikap dan Tindakan PDI-P adalah peristiwa demokrasi penting di tengah pergulatan keras melawan backsliding democracy (kemunduran demokrasi) di tangan Joko Widodo.
Tentulah PDI-P telah melakukan telisik kritis yang menyeluruh, tak hanya sebatas dimensi popularitas dan elaktabilitas, terhadap semua figur yang mendaftar dan pada akhirnya mengetahui plus-minus masing-masing.
Tak begitu penting menelisik secara mendalam instrumen utama yang dipergunakan dalam bujukan politik itu, yang ternyata ampuh untuk partai-partai lain, hingga terbentuklah koalisi besar untuk Bobby Nasution, yang belakangan bertambah dengan bergabungnya PKS.
Kini rakyat Sumatera Utara (Sumut) dapat dengan lega beseru: Kotak Kosong bukan bagian demokrasi, mestinya ditolak di Indonesia.
Rakyat daerah ini pun dapat dengan bangga menebar pengaruh penting demokrasi melalui para pemilik kedaulatan partai di Jakarta. Agar sadar dampak buruk untuk pertumbuhan demokrasi, menelantarkan nasib para kader terbaik yang terpaksa menabung hak demokratis masing-masing untuk maju berkontestasi pada 2024 dan seluruh konstituennya.
Bagaimana peluang Edy Rahmayadi? Pertama, ia petahana yang, sebagaimana dikemukakan pada artikel “Edy Rahmayadi dan PKS” (Waspada 05/08/24) memiliki kemiripan dengan posisi politik Joko Widodo menjelang Pilpres 2019.
Waktu itu Joko Widodo menempati posisi tertinggi dalam popularitas dan elektabilitas. Meskipun demikian, persentase yang menginginkannya tidak kembali memimpin juga.
Edy Rahmayadi dikehendaki oleh rakyat untuk melanjutkan kepemimpinannya pada periode kedua, meski terdapat suara yang bertentangan. Tetapi persentase rakyat yang puas atas kinerjanya juga mirip dengan yang terjadi pada Joko Widodo tahun 2019.
Joko Widodo fokus pada infrastruktur dan konsolidasi menghadapi Covid-19, sedangkan pada tahun 2019-2023 Edy Rahmayadi, selain menghadapi masalah yang sama, yakni bencana non-alam Covid-19, juga sibuk merekonstruksi untuk new-normal.
Fokus program unggulan Edy Rahmayadi relatif sama, yakni pada infrastruktur dan pendidikan, dengan keharusan terlebih dahulu melakukan penanggulangan dampak besar Covid-19 terhadap ekonomi dan kehidupan sosial budaya masyarakat.
Kalau bukan fenomena universal dunia, faktor kepetahanaan selalu sangat penting dalam budaya rivalitas politik di Indonesia. Pada Pilkada serentak 2024, seluruh provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia akan potensil mengunggulkan petahana, karena jejak rekam dan catatan kebersamaan mereka dengan rakyat.
Memang akan selalu ada negative campaign untuk setiap petahana dan bahan untuk itu tidak sukar dicari termasuk untuk diframing. Hanya dengan mengetik petunjuk di layar digital, bahan yang tersedia lebih dari cukup.
Namun bahkan black campaign sekalipun tak akan selalu berhasil merontokkan petahana, karena umumnya arah narasi sangat mudah diketahui oleh pemilih.
Kedua, Indonesia telah menunjukkan keajegan peristiwa kesenjangan antara akumulasi suara parpol dan gabungan parpol dalam pemilu dengan perolehan suara pasangan dalam pilkada. Koalisi besar tidak selalu menjadi jaminan.
Dalam pilkada tingkat independensi pemilih tidak mudah diintervensi oleh partai-partai jika terdapat perbedaan aspirasi dan kepentingan.
Karena itu harus selalu dibedakan kedaulatan elit partai (Jakarta) dan kedaulatan rakyat (akar rumput). Tak jarang kedaulatan rakyat mempermalukan kedaulatan elit partai dalam kasus seperti ini.
Pada satu sisi partai lebih mementingkan kekuasaan dan reward awal berupa materi dengan berbagai hal yang diistilahkan macam-macam dan janji kekuasaan yang dipersembahkan, yang mirip praktik ijon, oleh figur yang diusung berikut jejaring kekuasaan di belakangnya.
Pada pihak lain pemilih lebih mementingkan hak-hak konstitusional mereka untuk beroleh pemimpin berintegritas. Memang kesempatan beroleh pemimpin berintegritas itu kerap terkendala karena praktik buruk pemilihan, termasuk oleh praktik pembelian suara yang di Indonesia dibiarkan saja untuk tak ada penangkalnya.
Sebetulnya partai dan gabungan partai sangat menyadari masalah ini. Mereka hanya terjebak perburuan kekuasaan dan materi yang tidak pernah terekspose luas.
Adalah kelaziman cara berfikir elit partai untuk berkuasa dan dalam kesempatan itu segenap sumberdaya yang diinginkan dapat digantang untuk diboyong ke kantor partai.
Relatif terdapat kondisi politik yang menjamin rasa aman bahwa seserembernono apapun melakukan abuse of power aparat hukum selalu lazim dapat dibungkam. Kurang canggih apa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari segi teknis, kurang profesional apa Kepolisian dan Kejaksaan berbuat sama untuk memerangi korupsi, tetapi mengapa indeks persepsi korupsi merosot?
Elit pemegang kedaulatan partai juga cenderung tega berbuat buruk atas kedaulatan rakyat, apalagi dengan menimbang memori pendek rakyat demokrasi muda.
Bertingkah buruk pasca pemilu seperti saat ini nyaris tanpa risiko. Masih ada kesempatan 5 tahun memperbaiki dan bertaubat yang kelak diharapkan dapat membujuk kembalinya konstituen membangkang.
Ketiga, dari pengalaman pendek politik di Sumut mungkin orang berusaha membandingkan mudahnya Bobby Nasution menjadi calon Walikota Medan dan menang pada tahun 2020 yang lalu.
Tetapi jangan lupa, bukan hanya suasananya jauh berbeda, melainkan respek dan loyalitas terhadap kekuasaan juga sudah sangat jauh berubah saat ini.
Zikir Kebangsaan di Istana Negara pada 1 Juni 2024 digunakan Presiden Joko Widodo meminta maaf kepada rakyat Indonesia dengan mengakui banyak kekurangan dan kesalahan menjalankan pemerintahan, terutama menangani berbagai masalah nasional (ekonomi, kesehatan, dan Pendidikan).
Oleh Majalah TEMPO, rezim Joko Widodo selama sepuluh tahun disebut mencatatkan 18 Dosa. Dicetak ulang beberapakali karena dikatakan diborong habis dari pasar, edisi berjudul ‘10 Tahun Jokowi: Satu Dasawarsa Memutar Balik Demokrasi’ ini akhirnya membuka akses digitalnya untuk rakyat.
Apa saja dosa itu? Dalam dua periode pemerintahannya, Joko Widodo menarik mundur demokrasi. Pada akhir kekuasaannya, Indonesia menjelma menjadi negara bercorak legalisme otokratis.
Sangat menarik diksi pilihan TEMPO untuk setiap topik investigasi. Perhatikan, ‘Menarik Mundur Demokrasi, Menjaga Istana untuk Keluarga, Simsalabim Jadi Undang-undang, Baju Loreng di Lembaga Sipil, Nyanyi Sunyi Pengungsi Papua, Panggung Komersialisasi Pendidikan, Pragmatisme Jokowi, Otokrasi Penopang Dinasti Jokowi, Bengkak Utang Menjelang Akhir Jabatan, Burden Sharing (Kebijakan ekonomi yang dianggap membebani Bank Indonesia), Ambisi Kereta Cepat, Perencanaan Mentah Proyek Infrastruktur, Ambisi Hampa di Kota Nusantara, Warisan Shortermism Jokowi, Anggaran Pengendali Periode Bergejolak, Geng Solo di Trunojoyo, Kejanggalan Revisi Undang-Undang Polri, dan Aroma Politis Korps Adhyaksa’.
Investigasi komprehensif itu masih bisa dikonfirmasi kepada rakyat apakah ada yang belum disorot, sambil menegaskan bahwa jika media arus utama sejak awal memerankan diri sesuai keharusan seperti ini, keadaan Indonesia sekarang tidak seburuk yang dirasakan rakyat.
Pada 25 Juni 2024, Mahkamah Rakyat Luar Biasa bersidang di Universitas Indonesia, untuk menggugat Nawadosa Presiden Joko Widodo yang diinisiasi masyarakat sipil untuk menuntut keadilan atas berbagai kebijakan yang merugikan rakyat, di antaranya perampasan ruang hidup, kekerasan dan diskriminasi, politik impunitas, dan ketidakseriusan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat.
Dirty Vote telah menjadi milik publik. Dirilis 11 Februari 2024 di YouTube oleh rumah produksi WatchDoc, filem ini mengungkap dugaan kecurangan dalam Pemilu 2024, termasuk penunjukan penjabat gubernur dan kepala daerah, tekanan terhadap kepala desa, anomali penyaluran bantuan sosial, serta kejanggalan hasil sidang Mahkamah Konstitusi.
Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari memaparkan data dan analisis pelanggaran hukum dalam Pemilu 2024. Tidak ada reaksi pemerintah, misalnya melaporkan ketiga akademisi ke ranah hukum.
Meski belakangan baru disuarakan para gurubesar, namun hal yang dipermasalahkan sejak lama oleh mahasiswa dan para Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), akhirnya terkonfirmasi. Kritik terutama muncul dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Andalas (Unand), dan Universitas Padjadjaran (Unpad). Disorot tajam kemunduran dengan tudingan pemerintahan menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi dan moralitas.
Perihal pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi, ada kekhawatiran serius, terutama terkait pencalonan Gibran Rakabuming Raka dalam pilpres. Kritik tajam juga ditujukan atas penggunaan kekuasaan untuk kepentingan politik praktis dan kelompok tertentu.
Netralitas dalam Pemilu disorot keras. Pemilu 2024 diminta terlaksana demokratis dan Presiden Joko Widodo tidak ikut campur. Para Ketua BEM sejak lama melayangkan kritik tajam untuk beberapa isu utama Janji yang Tidak Terealisasi. BEM UI menyebut Jokowi sebagai “The King of Lip Service,” menyoroti janji-janji yang tidak dipenuhi, seperti revisi UU ITE dan penguatan KPK.
Kemunduran demokrasi disuarakan keras oleh BEM UGM dan menyebut Joko Widodo sebagai alumnus paling memalukan yang mencerminkan keprihatinan kampus terhadap arah pemerintahan dan masa depan demokrasi.
Semua kritik saling mengkonfirmasi dan kesimpulan terbaik mungkin ialah bahwa apa yang disuarakan mahasiswa sejak dini, belakangan terbukti.
Tetapi Edy Rahmayadi harus segera bergerak cepat. Seperti dalam tugas militer, Edy Rahmayadi dapat menganggap ini sebagai mission impossible, atau dengan ungkapan lain, extremely dangerous or difficult mission yang harus disukseskannya.
Bina jaringan insan demokrasi ulet yang mampu menjaga setiap suara di TPS dan arus perjalanannya hingga ke perhitungan akhir di KPU. Perkarakan pelaku praktik pembelian suara. Sisir DPT agar tak ada peluang bermain curang. Counter narasi hitam dan negatif, dan bangun chemistry dengan media.
Bahkan sebagai antisipasi, persiapkan sebaik-baiknya data akurat untuk menghadapi potensi kecurangan yang mungkin urusannya harus diselesaikan melalui PHPU pada Mahkamah Konstitusi.
Untuk kasus ini mantan Walikota Medan Akhyar Nasution dan calon wakilnya pada Pilkada 2020, Al-Ustaz Salman Alfarisi, diajaklah diskusi.
*** Penulis dosen FISIP UMSU. Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

