• Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
Infomu
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
No Result
View All Result
Infomu
No Result
View All Result
Drama Absurd & Pesimisme Akut Samuel Beckett

Drama Absurd & Pesimisme Akut Samuel Beckett

Syaiful Hadi by Syaiful Hadi
5 April 2021
in Seni dan Budaya
86

Drama Absurd & Pesimisme Akut Samuel Beckett.
(Ruang-ruang Hitam itu dijelajahi oleh Medan Teater)

Oleh : Hafiztaadi

” Bahwa manusia mampu menjadi lumpuh secara intelektual dan emosionalnya. Hingga hanya berjuang untuk memenuhi jalan hidup tanpa jelas apa tujuan akhir yang tak pasti. Manusia hanya bisa menunggu, dalam ketidak jelasan dan ketidak tahuan kemana hidupnya akan bermuara. Intinya,  bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak berdaya. Dari situlah, drama absurd tersebut dimulai. Kadang juga Harus memenggal kepala  sendiri. Membuangnya sementara atau Meletakannya dalam laci lemari di kamar yang gelap gulita tanpa cahaya. ”

Panggung untuk abad ini ‘halaman’ – nya begitu sangat Jembar (Bhs. JaDel; untuk menyatakan luas.) Bisa dilakukan dimanapun. Dan akan dilakukan dengan sangat plastis. Serta disesuaikan kebutuhan dan lebih mengedepankan konsepsi dari pertunjukan dari Sandiwara yang akan digelar.
Malam, 3 April 2021 di sebuah fosil lahan Kebudayaan Sumatera Utara. Eks lahan Taman Budaya Sumut. Ada geliat kreatifitas Kesenian yang hingga saat ini masih ber-denyut. Dan sering aku lontarkan kepermukaan, bahwa; Kesenian tidak boleh Mati. Menjadi sebuah pertanda dari integritas manusia. Dan sumber dari geliat ke-ber-daya-an itu menjadi cikal bakal dari Neo Kebudayaan manusia yang lahir di Zamannya.
Berangkat dari itu. Kesenian atau naluri Seni manusia sebagai sebuah Anugerah perlu tetap di ‘Ruwat’ dan di ‘Rawat’. Jelasnya bukan untuk kegagahan secara fisik. Lebih jauh diperuntukan sebagai daya hidup. Dan selalu ber-ulang, bahwa; Kesenian apapun itu digelar untuk niatnya yang luhur. Yaitu, tuntunan selain ilmu Agama yang dinyakini oleh manusia.

Sabtu malam Minggu kemarin. Disebuah ruang yang sangat sederhana (Sanggar Tari) eks Taman Budaya Sumut. Disulap menjadi gedung pertunjukan. Untuk memanjakan mata para penonton teater dari berbagai kalangan.

Pintu gedung dibuka. Sebahgian c r e w  membagikan m a s k e r. Dilakukan sebagai tindakan untuk safety protokol kesehatan. Standart penyelamatan manusia agar tak terbebani Virus yang sangat menakutkan itu.

Tentu ketika memasuki gedung yang terbilang sangat-sangat sederhana itu. Ya, kita masih menyaksikan k e m i s k i n a n  untuk sebuah fasilitas kesenian. Baling-baling kipas yang tergantung menjadi sebuah irama. Bahwa rumah,  tempat atau wadah kesenian itu semakin menggambarkan perjalanan yang cukup mengharukan disepanjang perjalanan kebudayaan yang berada di Sumatera Utara.

Tetapi persoalannya tidak untuk melebih-lebihkan menyinggung kemiskinan fasilitas kesenian di Sumut. Tidak. Ada persoalan yang lebih besar lagi, yakni; Daya kreativ itu masih besar  g e l o m b a n g n y a  dari kemiskinan yang masih menggores mata. Ada juga air mineral gelas yang dibagikan oleh mereka. Paling tidak untuk membantu para penonton agar tidak mengalami dehidrasi. Gerahnya cuaca dan gerahnya ruangan itu.
Batin aku hibur sendiri. Pikiranku aku ajak berjalan ke titik nol. Tanpa embel-embel lainnya. Tanpa kamus atau rumusan apapun. Tanpa pretensi apapun. Dihadapanku ada fremis panggung Teater. Sebagai bentuk penyelamatan rasa gundah dan kemarahan sebagai pelaku dan pencinta kesenian. Aku tutup pintu keinginan yang berlebih. Ku gembok. Dan aku buang kuncinya. Semua berjalan sesuai naluri dan fitrahku sebagai  s e o r a n g  p e n o n t o n  t e a- t e r  biasa.
Pikiran dan mataku tersedot dibingkai panggung itu ( Na Na Na ; Teater Temuga, Endgame; Samuel Beckett – Medan Teater, Sepatu Aira, Bunda Djibril – Teater Iqra Medan.)
Tiga kelompok telah menjamu para penonton yang hadir dan me-representasi-kan integritasnya itu  untuk perhelatan Hari Teater Se-Dunia 2021, di wilayah Sumatera Utara.

Pesimisme Akut Samuel Beckett dan Teater Absurdnya

Terlepas dari kesuksesan Godot yang telah memenangkannya sebagai penulis sohor. Kerangka pikirannya itu berjalan di dua kutub yang berbeda. Antara rasional dan irasional. Samuel Beckett berhasil mewakili perlawanan tersebut dengan membentuk drama yang antiplot, tanpa konflik, tidak logis, melawan pakem teater namun menjadi sebuah tontonan yang menarik. Samuel Beckett muncul sebagai tokoh penting dalam drama dan sastra di masanya.

Godot adalah permainan di mana tidak ada yang terjadi. Dua kali. Endgame adalah permainan di mana tidak ada yang terjadi. Sekali. Namun, sekali saja sudah cukup. Jarang ada banyak basa-basi tentang apa-apa. Drama itu hampir tidak manusiawi seperti yang diyakini Beckett, dengan empat karakter yang menjadi tawanan tubuh yang rusak. Buta dan terkurung di kursi roda,  Hamm tidak bisa berdiri; terkurung pada tubuh dengan kaki kaku, Clov tidak bisa duduk.
Kepala Beckett (Drama Endgame) dipenui oleh sampah yakni;  sampah, dan secara fisik rusak dan hancur tanpa bisa dikenali, tema sampah dengan jelas diperlakukan baik dalam pengertian fisik maupun filosofis.

Sepanjang permainan, empat karakter Hamm dan Clov, guru buta dan pelayan bodoh, dan orang tua Hamm, Nagg dan Nell, seperti terpenjara oleh waktu. Berusaha untuk hidup dan mengatasi kekacauan yang mengelilingi dan membelit diri mereka, mempertanyakan nilai keberadaan mereka di dunia seperti itu.

Dua tong dan Kursi yang memiliki roda yang mampu berguling itu. Juga menjadi tanda atau mungkin simbolisasi kamacetan hidup yang terlindas. Juga penjara bagi ‘pesakitan’. Pesimisme yang terbilang sangat akut dalam diri manusia. Bentuk k e g e m b e l a n psikologis. Yang daya cengkramnya begitu kuat menggandoli pikiran, batin, seluruh indera dan syaraf-syaraf yang seharusnya mampu membentuk sikap yang lebih o p t i m i s. Ketimbang harus mati dijurang kesunyian. Sia-sia dengan praduga manusia tentang hidupnya.

Kutipan dunia yang terpenuhi kesuraman  itu sangat  sempurna diatur oleh Beckett dalam drama absurd Endgamenya. Dunia mimpi buruk apokaliptik.  Kata ( “apokaliptik” berasal dari bahasa Yunani yang artinya “menyingkapkan” atau “membukakan” dan merujuk pada sesuatu yang sebelumnya tersembunyi dan sekarang telah disingkapkan.)

Kata “apokaliptik” sebuah pemotretan Samuel Beckett terhadap gelombang frustasi manusia untuk menyatakan bahwa pencarian intelektual dan artistik dari dramanya adalah untuk “menemukan bentuk yang mengakomodasi kekacauan” dunia modern. Compang-camping. Begitu ruwet, dan  kusut. Kebohongan-kebohongan yang ada di muka bumi menimbulkan effect, bahwa manusia yang terkurung dalam pikirannya sendiri akan terlindas. Terkulai.  Tak berdaya.  Bahkan mungkin mati, terlindas diatas mimpi-mimpinya sendiri yang besar. Keganasan waktu dan situasilah yang  B e r k o l a b o r a s i  memadamkan fisik, pikiran-pikiran serta batin secara ber-tahap.
(Bahwa dunia yang lain diatas ubun-ubun manusia sebagai sebuah idiologi yang harusnya dinyakini. Ikut hilang, raib. Dirampas oleh gelombang yang lebih besar yang bernama kerakusan.)
Panggung c e r d a s, Medan Teater mengusung E N D G A M E karya; Samuel Beckett itu sesekali juga mampu memberikan nutrisi untuk mata penonton teater Kota Medan. Menyentuh syaraf geli para penonton; Menggelar derai tawa. Dari awalnya mampu memberikan nilai lainnya terhadap kedalaman esensi sebuah pertunjukan.

Tentu ini bukan sebuah pujian untuk fremis panggung yang ditata sangat minimalis itu. kecerdasan adalah sebuah kemampuan yang mampu menerobos ruang-ruang gelap yang disodorkan Endgame. Penonton diajak ke sebuah meja makan untuk ikut mengunyah daging yang segar dan bermutu. Tawa penonton yang tak terasa vulgar itu, terdengar dengan rasionya sendiri.

Dengan sangat ironisnya  mampu mentertawakan kondisi carut marut sosial masyarakat yang semakin kronis itu. Medan teater yang disutradarai Ahmad Munawar lubis. Memberikan nyawa bagi keempat aktor-aktornya yang terbilang juga sangat relatif muda. Hal tersebut tentu memberi rasa gembira, pesona yang lebih besar bagi kualitas bagi teater Sumatera Utara. Agusto Syahputra, Ari Handoko, Fakhrul malik dan Lailan Azmi Nasution. mampu memberikan irama yang sebenar-benarnya dari irama (pengganti musik) menjadi pertimbangan untuk diceburkan kedalam pertunjukan itu. Tanpa musik pun, Endgame malam itu sudah menyimpan irama yang lebih lagi.
Tentu penonton juga memiliki interpretasi sendiri. Memiliki integritasnya sendiri. Dengan bingkai imajinasi untuk menyatukan ‘ d i r i ‘, larut dan masuk kedalamnya.

Dua panggung Medan Teater sempat kutonton. Petang di Taman ; Iwan Simatupang dan Endgame ; Samuel Beckett ini masing-masing memiliki gaya dan gizinya masing-masing. Dilatar Petang di Taman, Sutradara dan penata artistiknya membungkus sentuhan puitik didekorasi pertunjukan itu.
Sudah pasti setiap cerita tetap akan melahirkan kebutuhan-kebutuhan yang beda tentunya. Situasi atau tuntutan tersendiri pula. Tetapi tatanan Endgame sangat berbeda jauh. ‘Kenakalan” Munawar sebagai seorang pen-derek lebih kental. Ya, itu kuanggap kenakalan lahiriah, kenakalan ‘ kanak-kanak’ yang murni tanpa dibebani oleh muatan tendensius untuk ‘melucu’. Dan itu sebuah kekuatan lain dipanggung yang mutlak minimalis dari beban scenography. Aku punya harapan besar, bahwa hal tersebut tetap dijadikan sebagai kekuatan yang harus disadari. Untuk ‘ m e r e m a s ‘ naskah-naskah berikutnya bagi Medan Teater.

Tetap jadilah  s e d e r h a n a sebagai embrio teater masa depan Sumatera Utara. Dengan sebuah motif yang terus bercinta dengan proses yang benar. Meski proses yang panjang juga tak mampu menjawab dan menghadirkan kualitas. Tapi aku percaya kesungguhan dan keutuhan kalian akan memberikan sebuah jawaban untuk kerja yang memiliki tanggung jawab secara moral itu.

Ungkapan awal sebelum pertunjukan dimulai: Hasan Al Banna, pegiat seni dan juga Sastrawan Sumatera Utara yang  bertindak sebagai Pimpinan Produksi. Ujarannya ” Baiknya Bermainlah Sandiwara yang benar. Artinya tidak ber-sandiwara dalam kehidupan yang nyata.” Bahasa yang halus itu tentu  m e n j e w e r i sebuah perilaku yang sangat sungsang diperadaban hidup yang real. Dan mengembalikan fitrah  s a n d i w a r a  yang sebenar-benarnya sandiwara diatas panggung penuh kemisteriusan itu.

Dan kita telah melihat banyak kekacauan di sekitar kita, terkadang ada yang mencoba melarikan diri dari kenyataan yang telah rusak, dan bahkan ada juga yang terus berjuang tanpa gentar. Menerobos,  mengingat masa lalu, itu diperbolehkan oleh hidup sebagai sebuah cermin. Bukan bayangan yang menakutkan. Sandiwara tetap memilki energi yang harus dimaknai dalam bingkai untuk dimaknai kembali  serta memakan rasa takut itu.

Penulis, Hafiz Ta’adi, Sutradara Teater pernah tinggal di Pendepokan WS. Rendra. Tinggal di Medan.

Bagikan ini:

  • Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
  • Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
  • Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
  • Klik untuk mengirimkan email tautan ke teman(Membuka di jendela yang baru) Surat elektronik
  • Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
  • Klik untuk mencetak(Membuka di jendela yang baru) Cetak
Tags: teater
Previous Post

UMSU Segera Bangun Gedung OIF dan Pusat Peradaban Islam di Barus

Next Post

Setelah Di Langsa, Ombudsman Aceh Buka Gerai Di Aceh Jaya

Next Post
Setelah Di Langsa, Ombudsman Aceh Buka Gerai Di Aceh Jaya

Setelah Di Langsa, Ombudsman Aceh Buka Gerai Di Aceh Jaya

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • Beranda
  • Kabar
  • Literasi
  • Kolom
  • Kesehatan
  • Muktamar
  • Pendidikan
  • Redaksi
Call us: +1 234 JEG THEME

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.