Banda Aceh, InfoMu.co – Aceh daerah termiskin se Sumatera hasil laporan Badan Pusat Statistik (BPS) dengan nilai 15,43% menjadi atau sebesar 833.910 atau mengalami kenaikan sekitar 19.000 orang dibandingkan dengan data pada bulan Maret 2020. Bagaimana ceritanya, Aceh menjadi pemuncak kemiskinan di Sumatera ?
Saluran dana refocusing sarat manipulasi dan tidak jelas penggunaan dan pelaporannya, tidak transparans, menjadi salah satu sebab ‘musibah kemiskinan’itu menempel bagi provinsi paling barat tanah air itu.
Dr. Taufiq Abdul Rahim, SE. MSi Pengamat Ekonomi dan Pembangunan dari Universitas Muhammadiyah Aceh mengtakan “Penelitian menunjukkan bahwa tidak efektif dan tepat sasarannya pengelolaan anggaran belanja publik, yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2020, yang sekitar Rp 17,7 triliun. Demikian juga dengan penggunaan dana refocusing Aceh sekitar Rp 2,7 triliun untuk mengatasi pandemi Covid-19 yang merupakan kebijakan bersama Kementrian Keuangan (Kenenkeu) RI dan Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) RI. “
“Hal ini membuktikan bahwa, adanya indilasi penyalahgunaan anggaran atau tidak dimanfaatkan belanja publik yang benar, juga berimplikasi kepada bukti nyata kepada kehidupan ril masyarakat. Indikator perhitungan yang digunakan Badan Pusat Statistik (BPS) terhadap perumahan, bensin dan listrik, ini merupakan kebutuhan dasar (basic needs) dalam kehidupan masyarakat modern sehari-hari dalam kehiduoan masyarakat modern. Juga tingkat pertumbuhan ekonomi Aceh -0,39%, uang yang beredar rendah, daya beli (purchasing power parity) juga lemah.” Kata Taufiq
Indikator ini dinamis, maka bisa terjadi perubahan indikator mengukur kemiskinan dalam kondisi tertentu ditengah masyarakat. Juga terhadap indikator perhitungan ini terkait dengan pendapatan masyarakat, tingkat inflasi, harga barang dan jasa, serta berbagai variabel pendukung menghitung serta mengukur keniskinan.
Ini ril kondisi yang berkembang ditengah krisis ekonomi dan pandemi Covid-19. Yang menunjukkan bahwa, jika ada kesalahan kebijakan alokasi keuangan publik berdampak nyata. Dimana program Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai media serta sarana mengatasinya, program jaring pengaman sosial, membantu usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), juga berbagai program antar sektor dan wilayah terhadap kehidupan rakyat kecil, rumah tangga, tertinggal, terpinggirkan, masyarakat miskin kota dan perdesaan.
Semestinya ini mampu mengatasi masalah ril masyarakat, jika dilakukan dengan benar, efektif dan tepat sasaran. Rumah dhu’afa yang gagal dibangun sesuai rencana 6000 rumah setiap tahunnya.
“Hal ini tidak dilakukan oleh Pemerintah Aceh sesuai dengan aturan, kaidah, ketentuan dan mekanisme yang terstruktur secara benar. Sehingga dampak langsung terhadap tidak teratasinya masalah yang mendasar serta kebutuhan pokok serta kepentingan yang sesungguhnya dari rakyat, maka kemiskinan di Aceh meningkat, juga biasanya diikuti dengan pengangguran dan kondisi sosial, budaya, politik yang tidak stabil.” Tutur Taufiq.
Kebijakan Publik yang Salah
Kesalahan mendasar tidak tepatnya kebijakan publik yang diambil, cenderung mencari popularitas, kemungkinan besar indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang berpotensi terhadap konsekwensi hukum. Ini juga bukti bahwa Pemerintah Aceh tidak serius memikirkan rakyat atau masyarakatnya untuk hidup berubah menjadi lebih baik. Jabatan sebagai elite Aceh dipergunakan untuk memperkaya diri, kelompoknya dan pengusaha tertentu yang digunakan untuk melakukan kolusi dan praktik mafia anggaran belanja publik.
Masyarakat dan rakyat Aceh dewasa ini tidak lagi percaya kepada Pemerintah Aceh, banyak bukti yang mengecewakan rakyat, hanya saja menunggu waktu batas masa jabatan, kitidakpercayaan (distrusted) sudah membuncah, hanya saja rakyat tidak berdaya dan sering sekali menjadi sasaran diskriminasi, blokir dan ditangkap dengan berbagai tuduhan yang berpotensi jelek bagi kehidupannya, keluarga dan sosial-kemasyarakatan.
“Jadi jelas Aceh menjadi daerah termiskin di Sumatera karena perhitungan dan analisis akademik, dengan indikator efektif statistika dari BPS yang dapat dipertanggungjawabkan, apalagi hasilnya sudah diekspose dengan berbagai pertimbanga, kajian dan risiko yang sudah diperhitungkan secara matang dan memiliki standar kualifikasi.” Tutup Taufiq A. (Agusnaidi B)

