Dibawah Target Muktamar, Sumatera Utara Perlu Lompatan Dakwah Struktural
Oleh: Partaonan Harahap, ST,.MT
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modernis di Indonesia telah lama menunjukkan komitmennya dalam membangun peradaban melalui amal usaha dan struktur organisasi yang sistematis. Salah satu wujud nyata dari komitmen tersebut adalah keputusan penting dalam Muktamar Muhammadiyah yang menargetkan berdirinya Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) di 70% kecamatan dan Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) di 40% desa atau kelurahan di seluruh Indonesia. Target ini bukan sekadar angka administratif, tetapi merupakan strategi dakwah yang diarahkan pada penguatan basis struktural agar mampu menjangkau umat secara langsung di lapisan masyarakat paling bawah.
Sayangnya, capaian aktual di Provinsi Sumatera Utara masih menunjukkan jarak yang lebar antara ideal dan kenyataan. Dengan total 455 kecamatan serta lebih dari 6.100 desa dan kelurahan, Sumatera Utara seharusnya telah memiliki sedikitnya 319 PCM dan 2.444 PRM sesuai amanah Muktamar. Namun, hingga saat ini, baru terbentuk 169 PCM dan 719 PRM. Artinya, masih terdapat kekurangan sebanyak 150 PCM dan 1.725 PRM. Kesenjangan ini menandakan bahwa kerja dakwah yang bersifat struktural di Sumatera Utara belum berjalan optimal dan perlu dilakukan lompatan besar agar gerak organisasi dapat menyentuh seluruh lini masyarakat secara lebih luas dan dalam.
Fakta ini seharusnya menjadi alarm kolektif bahwa pendekatan dakwah selama ini tidak cukup jika hanya mengandalkan kegiatan seremonial, amal usaha, atau aktivitas sporadis. Dibutuhkan keberanian organisasi untuk melakukan pembaruan strategi, optimalisasi sumber daya, dan penguatan kaderisasi agar dakwah Muhammadiyah semakin meluas dan mengakar. Struktur organisasi yang kuat merupakan fondasi dari keberhasilan dakwah yang berkelanjutan, karena di sanalah konsolidasi gerakan ideologis dan sosial dapat dikembangkan secara terencana dan berkesinambungan.
Dari 455 kecamatan di Sumatera Utara, baru 169 yang memiliki PCM, yang berarti realisasi baru mencapai sekitar 37,1% dari target 70%. Sementara itu, dari total 6.110 desa dan kelurahan, baru terbentuk 719 PRM atau sekitar 11,7%. Angka ini menunjukkan bahwa pembentukan PRM justru lebih tertinggal dibandingkan pembentukan PCM, padahal PRM merupakan ujung tombak dakwah Muhammadiyah di tingkat komunitas paling bawah.
Ketimpangan ini tidak hanya mencerminkan lemahnya ekspansi struktural, tetapi juga mengindikasikan kurangnya keseriusan dalam membangun basis dakwah yang tangguh dan menyatu dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.
Banyak Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) di Sumatera Utara belum secara serius memetakan potensi wilayah binaannya untuk dikembangkan menjadi PCM atau PRM. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti keterbatasan kader ideologis yang siap memimpin, minimnya perhatian terhadap pentingnya struktur organisasi, keterbatasan dana operasional dan logistik, serta lemahnya integrasi antara pengembangan struktur dengan program-program dakwah, pendidikan, sosial, dan ekonomi yang seharusnya saling menguatkan. Akibatnya, struktur organisasi di sejumlah wilayah tumbuh dalam kondisi minim gairah dan cenderung pasif, sementara kebutuhan masyarakat terhadap kehadiran dakwah Islam yang progresif justru
semakin meningkat.
Di tengah kenyataan tersebut, dakwah Muhammadiyah tidak boleh lagi bergantung hanya pada amal usaha dan kegiatan sesekali. Sebagai gerakan Islam berwatak tajdid dan pembaruan, Muhammadiyah harus hadir nyata di tengah masyarakat melalui struktur organisasi yang hidup, aktif, dan progresif. PCM dan PRM adalah simpul strategis yang menjadi wajah Muhammadiyah di tingkat lokal. Di sanalah umat merasakan kehadiran Muhammadiyah, bukan sekadar melalui sekolah dan rumah sakit, melainkan lewat pengajian, kegiatan sosial, pendidikan informal, pemberdayaan ekonomi, hingga pembinaan kader secara langsung dan berkelanjutan.
Organisasi sebesar Muhammadiyah yang telah berdiri lebih dari satu abad tidak akan mampu mempertahankan eksistensinya jika tidak didukung oleh struktur organisasi yang kuat, luas, dan adaptif. Sejarah menunjukkan bahwa struktur organisasi yang sehat adalah mesin utama dalam proses kaderisasi, penguatan ideologi, dan regenerasi kepemimpinan. Tanpa itu, amal usaha hanya akan menjadi lembaga administratif tanpa napas ideologis dan akan kehilangan arah gerak perjuangan yang sejatinya.
Lompatan dakwah struktural menjadi kebutuhan mendesak, terlebih dalam menghadapi tantangan zaman seperti digitalisasi, pluralisme sosial, hingga munculnya berbagai ideologi luar yang secara halus menggerus semangat keislaman dan kebangsaan umat. Dalam konteks ini, Sumatera Utara harus tampil lebih progresif dan responsif, tidak hanya mengejar kuantitas PCM dan PRM, tetapi juga membangun kualitas struktur yang mampu menjawab tantangan-tantangan kontemporer. Untuk itu, seluruh elemen Persyarikatan perlu bersinergi dan menyusun strategi besar dalam mempercepat pembentukan dan penguatan PCM serta PRM.
Langkah awal yang perlu dilakukan adalah pemetaan wilayah dakwah secara menyeluruh dan berbasis data. PWM dan PDM di Sumatera Utara harus mengidentifikasi potensi wilayah berdasarkan jumlah kader, tingkat partisipasi masyarakat, dan keberadaan amal usaha. Hasil pemetaan tersebut kemudian dijadikan dasar dalam menentukan prioritas wilayah pengembangan struktur organisasi, agar upaya ekspansi dakwah menjadi lebih terarah dan efektif. Amal usaha Muhammadiyah yang sudah ada, seperti sekolah, panti asuhan, dan klinik, dapat dijadikan sebagai pusat pengembangan PRM. Dengan menjadikan AUM sebagai simpul gerakan dakwah, akan terjadi sinergi antara struktur dan program yang memperkuat ketahanan organisasi di tingkat akar rumput.
Lembaga kaderisasi seperti Majelis Pendidikan Kader (MPK), Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), dan Pemuda Muhammadiyah harus dilibatkan secara aktif dalam pembentukan PRM dan PCM. Gerakan “Kader Pulang Kampung” bisa menjadi solusi strategis untuk memperluas ranting di daerah-daerah yang selama ini belum tergarap. Para kader yang sudah terlatih di perkotaan dan perguruan tinggi dapat kembali membina dan memimpin struktur Muhammadiyah di kampung halamannya masing-masing.
Selain itu, PWM dan PDM juga perlu mengalokasikan dana khusus untuk mendukung pendirian struktur baru. Dana ini bisa digunakan untuk pelatihan kader, operasional sekretariat, serta fasilitasi kegiatan awal yang memperkenalkan eksistensi PRM dan PCM kepada masyarakat. Pemberian penghargaan atau apresiasi kepada daerah atau penggerak yang berhasil membentuk struktur juga akan menjadi motivasi tersendiri yang mempercepat pencapaian target Muktamar.
Dalam era digital saat ini, platform monitoring berbasis data real-time dapat digunakan untuk melihat perkembangan pembentukan PCM dan PRM secara berkala. Dashboard digital yang memperlihatkan daerah-daerah yang progresif maupun stagnan dalam pengembangan struktur akan mendorong terciptanya kompetisi sehat dan transparan antardaerah. Hal ini sekaligus menjadi alat kontrol dan evaluasi yang obyektif bagi PWM dalam menetapkan kebijakan pembinaan dan dukungan struktural.
Beberapa PDM di luar Sumatera Utara telah memberikan contoh praktik baik dalam pembentukan struktur yang sukses, seperti PDM Gresik, PDM Lamongan, dan PDM Wonosobo yang telah menembus 100% target struktur dengan pendekatan sinergi antar-AUM, kaderisasi berjenjang, dan manajemen organisasi yang modern. Sumatera Utara bisa belajar dari model ini dan mengadaptasinya sesuai dengan karakteristik lokal. Bahkan di Sumatera Utara sendiri, PDM Deli Serdang dan Labuhan Batu telah menunjukkan kemajuan signifikan melalui pengembangan PRM berbasis komunitas dan pengajian, yang dapat direplikasi di daerah lain dengan pendampingan yang lebih sistematis.
Keberhasilan mewujudkan amanah Muktamar tidak bisa dibebankan hanya kepada
PWM, melainkan merupakan tanggung jawab kolektif seluruh lapisan Persyarikatan, mulai ortom, majelis, hingga simpatisan. Visi besar harus dibarengi dengan kerja teknokratis,dari konsistensi gerakan, dan semangat berjamaah. Muhammadiyah harus hadir di seluruh pelosok negeri, bukan hanya di pusat kota atau wilayah strategis, tetapi juga di desa-desa terpencil yang selama ini belum tersentuh dakwah yang terorganisasi dengan baik.
Dalam konteks ini, perlu ada perubahan cara pandang bahwa dakwah struktural bukanlah beban organisasi, melainkan jalan kemuliaan dan strategi keberlanjutan. PRM bukan sekadar kepengurusan formal, tetapi harus menjadi pusat kegiatan dakwah, pendidikan, sosial, dan pemberdayaan umat. Semakin hidup dan aktif PRM dan PCM, semakin kuat posisi Muhammadiyah dalam membangun masyarakat berkemajuan. Ketertinggalan pencapaian PCM dan PRM di Sumatera Utara jika dibandingkan dengan target Muktamar seharusnya menjadi bahan renungan sekaligus pemicu bagi seluruh elemen untuk melakukan lompatan dakwah yang bersifat struktural. Tanpa struktur yang kuat dan menyebar, dakwah Muhammadiyah akan terancam stagnasi dan kehilangan daya jangkau terhadap umat. Kini saatnya Sumatera Utara tidak hanya mengejar target secara kuantitatif, tetapi
juga memperkuat kualitas struktur yang terbentuk agar benar-benar menjadi pusat gerakan Islam yang mencerahkan. Dengan semangat tajdid, kerja kolektif, dan keberanian untuk melompat lebih jauh, Sumatera Utara dapat menjadi contoh sukses dakwah struktural di kawasan Barat Indonesia.
*** Penulis, Penulis, adalah Sekretaris LPCR-PM Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara, Dosen Fakultas Teknik UMSU dan Ketua Asosiasi Alumni Teknologi Teladan Medan

