Dakwah Transformatif: Dari Amal Usaha ke Amal Perubahan
Oleh: Nurhadi, Ph.D – Wakil Sekretaris Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah
Menjelang milad Muhammadiyah ke-113, momentum ini merupakan saat yang tepat untuk merefleksikan kembali arah dan makna dakwah yang telah diperjuangkan sejak 18 November 1912. KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah tidak semata-mata untuk memperluas pengajian, melainkan untuk menegakkan Islam sebagai kekuatan perubahan sosial. Penafsiran beliau terhadap Surat Al-Ma’un menekankan bahwa keimanan sejati harus diwujudkan melalui kerja sosial yang konkret. Kesadaran inilah yang membentuk karakter dakwah Muhammadiyah, yaitu membebaskan, memberdayakan, dan memajukan masyarakat.
Memasuki abad kedua, Muhammadiyah menghadapi dinamika perubahan yang pesat, seperti disrupsi digital, krisis ekologi, kesenjangan sosial, dan melemahnya etika publik. Dakwah tidak lagi memadai jika hanya dilakukan melalui mimbar atau retorika. Dakwah harus bertransformasi menjadi gerakan sosial yang mampu menjawab tantangan zaman. Dakwah transformatif kini menjadi kebutuhan dan panggilan baru, tidak hanya mengajak secara moral, tetapi juga mendorong perubahan sistemik menuju kehidupan yang adil, sejahtera, dan berkeadaban.
Islam Berkemajuan sebagai Paradigma Transformasi
Banyak orang memahami dakwah hanya sebagai aktivitas lisan seperti ceramah, khutbah, atau tabligh. Padahal, inti dakwah adalah menyampaikan kebenaran dan memperbaiki keadaan. Rahmadi (2021) dalam Jurnal Al-Qardh menegaskan pentingnya dakwah bil hal, yaitu dakwah melalui tindakan pemberdayaan, bertujuan mengubah kondisi sosial-ekonomi umat, dengan menempatkan mad’u (sasaran dakwah) sebagai subjek perubahan, bukan sekadar objek. Dakwah berperan sebagai proses pemberdayaan yang mampu mengubah individu maupun struktur sosial.
Dalam buku Gerakan Islam Berkemajuan, Haedar Nashir (2024) menegaskan bahwa Islam yang mencerahkan adalah Islam yang mencerminkan semangat untuk reformasi dan modernisasi dengan tetap memperhatikan nilai-nilai Islam yang memiliki akar kuat. Dalam pengertian ini, iman harus menjadi energi sosial, membentuk sistem yang adil dan berdaya. Sebagai gerakan tajdid, Muhammadiyah memandang dakwah tidak hanya sebagai pengajaran moral, melainkan sebagai proyek peradaban yang membangun sistem sosial, ekonomi, pendidikan, dan lingkungan yang berkeadilan.
Sejalan dengan itu, Syamsul Arifin dkk (2022) menyebut bahwa Islam Berkemajuan merupakan fondasi teologis dan intelektual yang menjelaskan daya tahan serta dinamika gerakan Muhammadiyah selama lebih dari satu abad. Gagasan ini berakar pada semangat progresif para intelektual Muslim awal abad ke-20 dan ajaran KH. Ahmad Dahlan tentang al-‘Ashr dan al-Ma’un, yang menuntun Muhammadiyah memadukan rasionalitas dan nilai keagamaan dalam pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan aksi kemanusiaan.
Dalam konteks tersebut, dakwah transformatif sangat diperlukan untuk menghubungkan iman dengan keadilan sosial, spiritualitas dengan keberlanjutan lingkungan, serta keislaman dengan kemanusiaan universal. Dalam ranah sosial-ekonomi, dakwah transformatif diwujudkan melalui koperasi umat, ekonomi solidaritas berbasis masjid, dan inkubasi wirausaha muda Muhammadiyah. Di bidang ekologi, dakwah transformatif melahirkan konsep green masjid dan fikih kebencanaan. Hal ini menegaskan bahwa menjaga lingkungan dan menyejahterakan manusia merupakan bentuk ibadah sosial yang esensial.
Model ini sebenarnya telah lama menjadi bagian integral dari Muhammadiyah. KH. Ahmad Dahlan memulai dengan mendirikan sekolah, rumah sakit dan panti asuhan sebagai simbol dakwah yang mengintegrasikan iman dan aksi sosial. Ketiga institusi tersebut menandai pergeseran dari ‘amal usaha’ menuju ‘amal perubahan’.
Pendekatan baru yang dikembangkan harus bersifat ilmiah, kolaboratif, dan berbasis data. Muhammadiyah dapat memanfaatkan riset sosial, teknologi digital, dan jaringan global agar setiap amal usaha tidak hanya menghasilkan layanan, tetapi juga memberikan dampak sosial yang terukur. Dakwah masa depan adalah dakwah yang mampu mengonversi nilai menjadi kebijakan.
Menengok Gerakan Faith-Based Transformation
Kajian Gerald Clarke (2007) menunjukkan bahwa organisasi keagamaan berpotensi menjadi agents of transformation ketika mampu menyeimbangkan identitas iman dan identitas pembangunan. Ia menggambarkan faith-based organisations (FBOs) sebagai kekuatan moral yang dapat memperkuat keadilan sosial bila memiliki tata kelola profesional, transparansi, dan kapasitas inovatif. Sementara itu, studi Ware dkk (2016) menemukan bahwa “dampak iman” tampak dalam empat ranah: tata kelola, program, persepsi publik, dan hasil sosial. Keberhasilan FBO bukan semata karena nilai spiritualnya, tetapi karena mampu memadukan spiritualitas dengan kompetensi sosial.
Studi yang dilakukan Lambie-Mumford & Jarvis (2011) di Inggris juga memperkuat temuan ini. Dalam konteks Big Society, FBO menjadi mitra penting negara dalam pelayanan publik karena akar komunitas dan fleksibilitas mereka. Namun, model pendanaan berbasis payment-by-results justru berisiko mengikis karakter khas FBO seperti keikhlasan, solidaritas, dan keberpihakan pada kelompok rentan. Dengan demikian, kebijakan yang menstandarkan kinerja tanpa memahami nilai-nilai spiritual organisasi berpotensi mengurangi substansi dakwah itu sendiri.
Pelajaran ini sangat relevan bagi Muhammadiyah. Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) di bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi sering menjadi mitra negara dalam pelayanan publik. Tantangan utamanya adalah menjaga etos dakwah agar tidak terjebak dalam birokrasi dan logika proyek. Diperlukan mekanisme kemitraan yang mencakup indikator keberhasilan seperti kepercayaan, kohesi sosial, dan partisipasi warga, bukan sekadar angka layanan.
Dari Amal Usaha ke Amal Perubahan
Berbagai pelajaran tersebut menunjukkan bahwa dakwah transformatif dapat beroperasi melalui beberapa dimensi utama. Pertama, spiritualitas berkemajuan yang mengintegrasikan tauhid dan akhlak sosial sebagai sumber utama perubahan. Selain itu, pemberdayaan sosial-ekonomi juga menjadi kunci, melalui pemanfaatan zakat produktif, koperasi umat, BMT Muhammadiyah, dan ekonomi kreatif Islami. Di bidang kebijakan publik, konsep jihad konstitusi Muhammadiyah yang meliputi dakwah yang memengaruhi kebijakan melalui riset, partisipasi legislatif, dan judicial review menjadi sangat relevan.
Istilah Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) memiliki makna historis yang mendalam sebagai kerja nyata yang merepresentasikan Islam Berkemajuan. Namun, pada abad ke-21, AUM perlu ditafsirkan ulang sebagai Amal Perubahan Muhammadiyah, yaitu institusi yang tidak hanya memberikan layanan, tetapi juga menciptakan dampak sosial yang berkelanjutan. Sekolah Muhammadiyah tidak cukup hanya menghasilkan lulusan yang cerdas, tetapi juga harus mencetak agen perubahan sosial. Rumah Sakit Muhammadiyah tidak hanya berperan dalam pelayanan medis, tetapi juga memperjuangkan hak atas kesehatan publik. Perguruan Tinggi Muhammadiyah tidak sekadar mencetak lulusan sarjana, tetapi juga membentuk ilmuwan dan pemimpin sosial yang beretika. Inilah esensi dakwah transformatif: amal usaha yang mendorong perubahan sosial dan meningkatkan kualitas kehidupan.
Milad Muhammadiyah ke-113 merupakan momentum yang tepat untuk menegaskan kembali bahwa dakwah adalah kerja peradaban. Dunia saat ini membutuhkan model dakwah yang rasional, etis, dan progresif, yang mampu menjembatani iman dan ilmu, spiritualitas dan kemajuan, serta teks dan realitas. Dakwah transformatif menjawab kebutuhan tersebut, yaitu dakwah yang menuntun manusia kepada Allah melalui penegakan nilai-nilai kemanusiaan. Sejalan dengan gagasan Islam Berkemajuan, dakwah transformatif merupakan jalan pembebasan dari tiga bentuk kemiskinan utama: kemiskinan ilmu, ekonomi, dan moral. Dengan memperkuat sinergi antara iman dan pembangunan, Muhammadiyah dapat menjadi contoh gerakan berbasis iman yang memadukan spiritualitas dan tata kelola modern.
Penutup: Mencerahkan dan Mengubah
Dakwah transformatif memerlukan keberanian untuk beralih dari dakwah verbal menuju dakwah struktural. Paradigma dakwah berubah, dari pengajian menjadi pemberdayaan, dari tausiah menjadi kebijakan, dan dari moralitas menjadi keadilan sosial. Dakwah sejati tidak hanya membahas isu-isu eskatologis seperti surga dan neraka, tetapi juga mencakup aspek pangan, pendidikan, kesehatan, dan kelestarian lingkungan. Seluruh aspek tersebut merupakan bagian dari amanah kekhalifahan manusia.
Milad Muhammadiyah bukan sekadar peringatan sejarah, tetapi juga penegasan arah masa depan: dari Amal Usaha ke Amal Perubahan; dari dakwah bil lisan ke dakwah bil hal; dari pencerahan spiritual ke transformasi sosial. Inilah makna mendalam dari dakwah transformatif: dakwah yang mencerahkan akal, menggerakkan hati, dan mengubah realitas. Dakwah ini menjadikan Islam tidak hanya sebagai keyakinan, tetapi juga sebagai peradaban yang memajukan dan memanusiakan kehidupan. (muhammadiyah.or.id)
