Bila Pemimpin Berbohong
Oleh: Syahbana Daulay
(Bagian Terakhir dari Dua Tulisan)
Perspektif Islam tentang Kepemimpinan dan Kejujuran
Kepemimpinan dalam Islam bukanlah sekadar jabatan politik atau kedudukan sosial, tetapi amanah ilahiah yang sarat dengan tanggung jawab moral dan spiritual. Seorang pemimpin dipandang sebagai wakil Allah di bumi (khalīfatullāh fī al-arḍ) yang ditugaskan untuk menegakkan keadilan, menjaga kesejahteraan rakyat, dan menuntun mereka menuju kebaikan. Maka, nilai kejujuran dan amanah menjadi fondasi utama bagi keberlangsungan sebuah kepemimpinan yang diridai Allah.
1. Dasar Qur’ani: Amanah dan Keadilan sebagai Pilar Kepemimpinan
Allah SWT berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا، وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan menetapkan hukum dengan adil di antara manusia.” (QS. An-Nisā’ [4]: 58)
Ayat ini menjadi piagam moral bagi setiap pemimpin, baik dalam skala keluarga, masyarakat, maupun negara. Amanah berarti kepercayaan yang harus dijaga, sedangkan adil berarti menempatkan segala sesuatu pada tempatnya tanpa dipengaruhi hawa nafsu, kepentingan pribadi, atau tekanan politik.
Ibn Katsīr dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini mencakup seluruh bentuk amanah: dari urusan pribadi hingga kepemimpinan negara. Siapa yang diberi tanggung jawab memimpin, wajib menunaikannya dengan jujur dan adil. Bila kejujuran hilang dari pemimpin, maka hilanglah keberkahan kekuasaan dan timbullah kerusakan di bumi.
2. Kepemimpinan sebagai Ujian Amanah, Bukan Keistimewaan
Dalam pandangan Islam, kepemimpinan bukan kehormatan yang dikejar, melainkan ujian berat yang kelak dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّهَا أَمَانَةٌ، وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا.
“Kepemimpinan itu adalah amanah, dan pada hari kiamat akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi yang menunaikannya dengan haknya dan menjalankan kewajibannya.”
(HR. Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa kekuasaan tanpa kejujuran adalah kehinaan, sedangkan kekuasaan dengan keadilan adalah kemuliaan. Pemimpin yang berbohong berarti mengkhianati amanah Allah dan menodai kehormatan kepemimpinan yang suci.
3. Kejujuran: Ruh Kepemimpinan dalam Islam
Kejujuran (ṣidq) adalah ruh dalam setiap perilaku pemimpin. Tanpa kejujuran, kebijakan kehilangan makna, janji menjadi palsu, dan rakyat kehilangan arah. Dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai al-Amīn, sosok yang dipercaya oleh kawan maupun lawan karena integritasnya. Gelar ini bukan diperoleh karena kekuasaan, melainkan karena konsistensi beliau dalam berkata benar dan menepati janji.
Kejujuran bagi seorang pemimpin bukan hanya berkata benar dalam ucapan, tetapi juga konsistensi dalam tindakan, ketulusan dalam niat, dan transparansi dalam keputusan. Seorang pemimpin yang jujur akan menjadi sumber kepercayaan publik, dan kepercayaan adalah modal sosial yang tak ternilai dalam menggerakkan bangsa.
Allah SWT memuji hamba-hamba-Nya yang jujur dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ.
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan jadilah bersama orang-orang yang jujur.” (QS. At-Taubah [9]: 119)
Ayat ini menunjukkan bahwa kejujuran bukan hanya etika, tetapi manifestasi iman. Pemimpin yang jujur berarti ia memiliki iman yang hidup; sebaliknya, pemimpin yang berdusta berarti sedang mengkhianati imannya sendiri.
4. Pemimpin Penipu dan Pemimpin Jujur
Rasulullah SAW memberikan peringatan yang sangat keras bagi pemimpin yang menipu atau berdusta kepada rakyatnya:
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً، يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ، إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
“Tidaklah seorang pemimpin yang diberi amanah atas rakyat lalu mati dalam keadaan menipu rakyatnya, melainkan Allah haramkan surga baginya.” (HR. al-Bukhārī dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan betapa berat konsekuensi moral bagi pemimpin yang berbohong. Dusta dalam kepemimpinan bukan sekadar pelanggaran administratif atau kesalahan politik, tetapi dosa besar yang menutup pintu surga. Mengapa demikian? Karena kebohongan pemimpin tidak hanya merugikan individu, tetapi juga menzalimi masyarakat luas.
Ketika seorang pemimpin berbohong, maka kebijakan menjadi cacat, hak-hak rakyat terabaikan, dan keadilan tergantikan oleh kepura-puraan. Dalam konteks ini, kebohongan menjadi bentuk kezaliman (ẓulm), dan kezaliman adalah sebab utama kehancuran bangsa-bangsa, sebagaimana firman Allah:
وَتِلْكَ الْقُرَىٰ أَهْلَكْنَاهُمْ لَمَّا ظَلَمُوا…
“Dan negeri-negeri itu Kami binasakan ketika penduduknya berbuat zalim…” (QS. Al-Kahf [18]: 59)
Sebaliknya, pemimpin yang jujur akan membawa keberkahan dan ketenangan bagi rakyatnya. Nabi SAW bersabda:
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ، وَتَدْعُونَ لَهُمْ وَيَدْعُونَ لَكُمْ.
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian.” (HR. Muslim)
Kepemimpinan yang dilandasi kejujuran menciptakan hubungan timbal balik antara pemimpin dan rakyat, hubungan yang penuh kasih, saling percaya, dan saling mendoakan. Inilah yang disebut rahmatan lil-‘ālamīn dalam konteks sosial-politik.
Solusi Islam dalam Menghadapi Pemimpin Pembohong
Kebohongan dan penipuan dari seorang pemimpin bukan sekadar kesalahan etika, melainkan dosa besar yang mengundang murka Allah. Oleh karena itu, Islam menawarkan seperangkat solusi yang komprehensif, bukan hanya untuk menghukum, tetapi juga untuk memperbaiki moral dan sistem kepemimpinan agar masyarakat tidak terjerumus dalam krisis kepercayaan dan keadilan.
1. Transparansi dan Akuntabilitas (Mas’ūliyyah)
Islam menekankan bahwa setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas amanah yang diembannya. Rasulullah SAW bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. al-Bukhārī dan Muslim)
Dalam konteks kenegaraan, prinsip ini berarti pemerintah harus transparan terhadap rakyatnya. Keputusan, kebijakan, dan penggunaan anggaran publik harus terbuka terhadap pengawasan lembaga independen maupun masyarakat. Transparansi bukan hanya soal administrasi, tetapi juga bentuk amanah moral agar rakyat dapat menilai kejujuran pemimpinnya.
2. Musyawarah (Shūrā) sebagai Kontrol Kekuasaan
Islam menolak bentuk kekuasaan absolut yang menutup ruang dialog. Al-Qur’an memerintahkan:
وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ
“Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka.” (QS. Asy-Syūrā [42]: 38)
Musyawarah adalah mekanisme sosial dan politik untuk mencegah kebohongan serta kesewenang-wenangan. Dengan adanya shūrā, setiap kebijakan penting diputuskan melalui pertimbangan bersama, menghindarkan pemimpin dari keputusan yang menyesatkan, serta memberi ruang bagi kebenaran untuk dikemukakan tanpa takut.
3. Amar Ma’ruf Nahi Munkar: Menasihati dengan Adab
Umat Islam tidak boleh pasif menghadapi kebohongan pemimpin. Allah SWT berfirman:
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ
“Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 104)
Namun Islam menekankan bahwa nasihat kepada pemimpin harus dilakukan dengan hikmah dan adab, bukan dengan caci maki atau fitnah. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ يَأْخُذُ بِيَدِهِ فَيَخْلُو بِهِ
“Barang siapa ingin menasihati pemimpin, janganlah ia lakukan di depan umum, tetapi hendaklah ia memegang tangannya dan berbicara kepadanya secara pribadi.” (HR. Ahmad)
Dengan cara yang santun namun tegas, nasihat menjadi bentuk kasih sayang dan tanggung jawab sosial terhadap keutuhan bangsa.
4. Taubat dan Pertanggungjawaban Moral
Pemimpin yang berbohong tidak cukup hanya dimintai klarifikasi administratif; ia harus bertaubat kepada Allah dan bertanggung jawab kepada rakyat atas akibat kebohongannya. Islam mengajarkan bahwa kesalahan tidak akan menghalangi seseorang untuk kembali kepada kebenaran selama ia jujur dalam taubatnya:
إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَـٰئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ
“Kecuali orang yang bertaubat, beriman, dan beramal saleh, maka Allah akan mengganti keburukan mereka dengan kebaikan.” (QS. Al-Furqān [25]: 70)
Keberanian seorang pemimpin untuk mengakui kesalahan dan memperbaikinya adalah tanda keimanan dan kematangan spiritual, bukan kelemahan.
5. Pendidikan Etika dan Akhlak Kepemimpinan
Pemimpin yang jujur tidak lahir secara instan. Ia dibentuk melalui pendidikan moral, spiritual, dan sosial yang kokoh. Rasulullah SAW adalah teladan utama kepemimpinan berakhlak:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah suri teladan yang baik bagimu.” (QS. Al-Aḥzāb [33]: 21)
Oleh karena itu, pembinaan calon pemimpin harus mencakup pendidikan iman, kejujuran, tanggung jawab, dan rasa takut kepada Allah. Tanpa fondasi akhlak, kekuasaan akan berubah menjadi alat kebohongan dan kezaliman.
Penutup
Kebohongan dalam kepemimpinan adalah awal dari kehancuran bangsa. Sekali kepercayaan publik hilang, maka seluruh sendi kehidupan sosial, ekonomi, dan spiritual akan rapuh. Islam mengajarkan bahwa kejujuran adalah cahaya, sedangkan kebohongan adalah kegelapan.
Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan jadilah bersama orang-orang yang jujur.” (QS. At-Taubah [9]: 119)
Negara yang dipimpin oleh orang jujur akan memperoleh keberkahan, keadilan, dan kepercayaan rakyat. Sebaliknya, bila kebohongan menjadi budaya kekuasaan, maka kehancuran hanyalah persoalan waktu. Karena itu, membangun bangsa yang bermartabat harus dimulai dari menegakkan kejujuran di puncak kepemimpinan. (selesai)
*** Penulis, Syahbana Daulay, Dosen Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

