Banjir di Bawah Tol Bandar Selamat, Warisan antar Gubernur
Oleh : Partaonan Harahap
Setiap kali hujan deras mengguyur kawasan Bandar Selamat, warga dilanda kecemasan. Bukan karena badai atau angin kencang, melainkan karena banjir yang seolah telah menjadi bagian dari rutinitas tahunan. Ironisnya, kawasan ini berada tepat di bawah tol layang Medan–Binjai, sebuah proyek megastruktur yang berdiri megah sebagai simbol kemajuan Sumatera Utara. Namun, tol yang seharusnya membawa harapan dan modernitas justru menjadi saksi bisu penderitaan warga.
Masalah banjir di kawasan ini bukan persoalan baru. Sudah bertahun-tahun terjadi dan berganti-ganti gubernur, namun tak pernah benar-benar tuntas. Warga pun bertanya-tanya, apakah banjir ini akan terus menjadi “warisan” dari satu pemimpin ke pemimpin berikutnya? Langganan banjir di Bandar Selamat bukan tanpa sebab. Akar permasalahan terletak pada buruknya sistem drainase serta aliran sungai yang mengalami penyempitan akibat sedimentasi, alih fungsi lahan, dan pembangunan yang tidak terkendali. Saat tol layang dibangun, banyak saluran air yang tertutup atau terputus. Bukannya memperbaiki, pembangunan justru memperparah. Air hujan yang seharusnya mengalir ke kanal utama malah tertahan dan meluap ke jalan serta pemukiman.
Pemerintah kota dan provinsi memang beberapa kali turun ke lapangan, melakukan tinjauan, dan menjanjikan perbaikan. Namun yang terjadi sebatas tambal sulam—parit dibersihkan di satu titik, namun dibiarkan tersumbat di titik lain. Tidak ada perencanaan terpadu dan berkelanjutan. Setiap musim hujan, skenario yang sama kembali
berulang: air setinggi lutut hingga pinggang, kendaraan mogok, rumah kebanjiran, warga mengungsi atau membersihkan lumpur keesokan harinya.
Janji Pemimpin, Banjir yang Tetap Mengalir
Dari waktu ke waktu, persoalan banjir di Medan tak kunjung usai. Di era gubernur sebelumnya, wacana revitalisasi sungai dan drainase sempat mencuat, namun tak pernah benar-benar diwujudkan. Kini, di masa pemerintahan baru, publik kembali berharap—namun yang terlihat lagi-lagi hanya reaksi sesaat: kunjungan ke lokasi saat banjir, komentar kepada media, dan janji-janji yang “masih dikaji”. Banjir seolah menjadi “pekerjaan rumah abadi” yang diwariskan dari satu pemimpin ke pemimpin berikutnya. Setiap gubernur tidak hanya mewarisi jabatan, tetapi juga ketidakberdayaan birokrasi dalam menyelesaikan persoalan mendasar. Lebih dari itu, banjir menjadi cerminan kegagalan tata kelola kota dan perencanaan wilayah yang tidak berpihak pada
rakyat.
Ketika Proyek Raksasa Menimbulkan Masalah Baru
Pembangunan tol layang Medan–Binjai sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) seharusnya membawa manfaat luas bagi masyarakat. Namun faktanya, proyek tersebut justru melahirkan persoalan sosial dan lingkungan baru. Saluran air yang dulu menjadi jalur utama kini terganggu. Banyak warga bahkan menganggap tol tersebut sebagai penyebab utama memburuknya banjir. Sayangnya, dalam perencanaan proyek besar seperti ini, konsultasi publik dan kajian lingkungan seringkali hanya formalitas. Fokus lebih banyak diarahkan pada pencapaian target pembangunan dan manfaat ekonomi jangka pendek, tanpa mempertimbangkan dampak ekologis jangka panjang. Akibatnya, ketika banjir datang, pemerintah seolah cuci
tangan. Yang tersisa hanyalah tumpukan masalah yang terus diwariskan.
Bagi warga Bandar Selamat, banjir bukan sekadar bencana alam. Ini adalah realitas sosial yang menghantui kehidupan sehari-hari. Setiap hujan datang, mereka harus bersiap menyelamatkan barang-barang, menjaga anak-anak dari risiko genangan, dan mengantisipasi dampak kesehatan. Rumah tak lagi menjadi tempat aman, sekolah dan aktivitas ekonomi terganggu. Yang lebih menyedihkan, sebagian besar warga di kawasan ini berasal dari kelompok ekonomi menengah ke bawah. Setiap kerugian yang mereka alami menjadi beban yang sangat berat. Dalam situasi seperti ini, pemerintah sering hadir hanya sebagai penyampai janji, bukan pelindung rakyat.
Warga dibiarkan menyelesaikan sendiri masalah yang lahir dari kebijakan yang abai. Salah satu akar utama persoalan banjir adalah buruknya tata ruang kota. Perizinan pembangunan yang longgar, alih fungsi lahan tanpa kajian menyeluruh, dan lemahnya pengawasan terhadap proyek besar menjadikan kawasan seperti Medan Timur dan Bandar Selamat sangat rentan.
Pertumbuhan kota yang tidak terencana secara matang menjadikan sistem drainase dan aliran air tak mampu menyesuaikan perubahan. Pembangunan tol seharusnya disertai dengan revitalisasi saluran air yang memadai. Namun hal ini diabaikan. Aliran air yang dulu bebas kini terperangkap di antara beton, tiang penyangga, dan bangunan permanen. Banjir pun menjadi keniscayaan.
Di Mana Peran Pemerintah Kota, Provinsi, dan Pusat?
Masalah banjir tidak bisa diselesaikan oleh satu institusi saja. Pemerintah kota, provinsi, dan pusat harus duduk bersama untuk merumuskan solusi jangka panjang. Namun yang sering terjadi justru saling lempar tanggung jawab. Pemerintah kota berdalih kekurangan anggaran, provinsi menunggu dukungan pusat, dan pusat mengklaim bahwa semua proyek sudah sesuai prosedur.
Koordinasi yang tidak jelas membuat masalah berlarut-larut. Warga merasa ditinggalkan dan akhirnya kehilangan kepercayaan. Padahal, dengan kemauan politik yang kuat, masalah ini bisa diurai. Diperlukan keberanian untuk mengevaluasi ulang proyek, memperbaiki drainase, dan melibatkan warga dalam proses perencanaan.
Gubernur baru Sumatera Utara membawa harapan. Namun harapan saja tidak cukup jika hanya hadir dalam pidato dan slogan. Dibutuhkan langkah konkret: audit sistem drainase secara menyeluruh, evaluasi proyek-proyek yang berdampak pada lingkungan, dan pelibatan masyarakat serta pakar dalam pengambilan keputusan. Warga Bandar Selamat tidak butuh belas kasih atau kunjungan seremonial. Mereka hanya ingin jaminan bahwa rumah mereka tak lagi kebanjiran, anak-anak bisa bermain dengan aman, dan pemimpin mereka benar-benar bekerja untuk rakyat.
Masalah banjir bukan hanya dialami Medan. Jakarta, Semarang, dan Surabaya pernah menghadapi tantangan serupa. Namun beberapa kota berhasil keluar dari krisis dengan terobosan seperti naturalisasi sungai, pembangunan kolam retensi, sumur resapan, hingga sistem drainase cerdas. Kawasan Bandar Selamat pun bisa meniru langkah ini, dengan syarat adanya kemauan politik dan kerja sama lintas sektor. Pelibatan akademisi, praktisi tata kota, dan masyarakat lokal adalah kunci. Karena solusi banjir bukan hanya soal teknis, tapi juga soal keadilan ruang dan keberpihakan pada mereka yang paling terdampak.
Banjir di Bandar Selamat bukan sekadar fenomena alam. Ia adalah cermin dari tata kelola yang gagal, pengabaian terhadap hak warga, dan warisan buruk yang diwariskan antar pemimpin. Rantai kegagalan ini harus diputus. Warga berhak atas lingkungan yang aman dan layak. Pembangunan tidak boleh mengorbankan kehidupan. Jika hari ini banjir terus diwariskan dari satu pemimpin ke pemimpin lain, maka yang diwariskan bukan sekadar genangan air—melainkan luka kolektif, trauma sosial, dan ketidakpercayaan terhadap negara. Dan itu jauh
lebih berbahaya dari sekadar luapan air hujan.
*** Penulis, Paertaonan Harahap, Dosen Fakultas Teknik UMSU, Sekretaris LPCR-PM PWM Sumut,
Wakil Ketua Lembaga Pelatihan Kerja Teknik Indonesia (LPKTI) dan Ketua Umum Assosiasi Alumni Teknologi Teladan Medan