• Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
Infomu
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
No Result
View All Result
Infomu
No Result
View All Result
Khutbah Jum’at: Mengisi Tahun Baru Islam dengan Dua Hal

Dr. Junaidi MSi

Bahaya Penyederhanaan Narasi : Refleksi Atas Tayangan yang Memicu Boikot Trans7

Syaiful Hadi by Syaiful Hadi
16 Oktober 2025
in Opini
0

BAHAYA PENYEDERHANAAN NARASI: REFLEKSI ATAS TAYANGAN YANG MEMICU BOIKOT TRANS7

Dr. Junaidi, M.Si – (Dosen Komunikasi Politik Islam UIN-SU, Medan dan Ketua MT PDM Medan)

 

Penyederhanaan narasi dalam media massa sering kali menjadi sorotan, terutama ketika tayangan tertentu memicu reaksi publik yang signifikan. Gelombang boikot terhadap stasiun televisi Trans7 menjadi salah satu isu paling hangat di pertengahan Oktober 2025. Pemicu utamanya adalah tayangan “Xpose Uncensored”, yang menyoroti kehidupan pesantren dan para santri dengan narasi yang dianggap melecehkan dan tidak berimbang. Tayangan itu memunculkan berbagai respons keras dari masyarakat, terutama kalangan pesantren, kiai, dan alumni lembaga pendidikan Islam tradisional.

Sejak potongan video tayangan tersebut beredar di media sosial, tagar #BoikotTrans7 langsung menduduki posisi trending di platform X dan Instagram. Reaksi netizen tak hanya berupa kemarahan, tetapi juga diskusi serius mengenai etika jurnalistik dan batas-batas kebebasan media. Banyak yang menilai, tayangan itu bukan sekadar kesalahan teknis, tetapi bentuk penyederhanaan yang keliru terhadap realitas pesantren.

Program Xpose Uncensored yang ditayangkan pada 13 Oktober 2025 menampilkan segmen yang menyebut “santri harus jongkok saat minum susu” dan menggambarkan kiai sebagai sosok kaya yang menerima amplop dari masyarakat. Narasi-narasi seperti ini memantik amarah karena dianggap mengolok tradisi penghormatan di pesantren yang sarat nilai spiritual, bukan simbol penindasan.

Pihak pesantren Lirboyo, salah satu yang disebut dalam tayangan itu, menyampaikan kekecewaan mendalam. Para alumni, santri, dan organisasi seperti Nahdlatul Ulama (NU), GP Ansor, serta Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut mengecam isi tayangan tersebut. Mereka menilai Trans7 telah gagal memahami konteks budaya pesantren dan melewati batas etika penyiaran publik.

Menanggapi kritik yang meluas, pihak Trans7 akhirnya mengeluarkan permintaan maaf resmi. Dalam pernyataannya, mereka mengakui bahwa telah terjadi kekeliruan dalam proses penyuntingan dan verifikasi konten. Meski demikian, bagi sebagian masyarakat, permintaan maaf tersebut dinilai belum cukup karena dampak sosial dan psikologis dari tayangan tersebut sudah terlanjur menyebar luas.

Fenomena ini memperlihatkan salah satu masalah besar dalam dunia penyiaran modern: penyederhanaan narasi. Dalam upaya menarik perhatian publik, banyak media memilih mereduksi realitas kompleks menjadi potongan-potongan singkat yang sensasional. Hasilnya, kedalaman makna hilang dan kebenaran kontekstual terdistorsi oleh logika rating.

Pesantren bukan hanya tempat belajar agama, melainkan ruang pembentukan karakter, pusat kebudayaan, dan komunitas sosial yang telah berabad-abad berkontribusi pada pendidikan bangsa. Namun, ketika pesantren digambarkan hanya lewat adegan “santri jongkok minum susu”, seluruh kompleksitas nilai, spiritualitas, dan tradisi yang hidup di dalamnya sirna dalam sekejap.

Salah satu bahaya terbesar dari penyederhanaan narasi adalah terbentuknya stereotip negatif. Tayangan seperti itu berpotensi membuat masyarakat yang tidak mengenal pesantren menjadi salah paham. Mereka bisa menganggap bahwa dunia pesantren identik dengan kekolotan, ketundukan berlebihan, atau praktik keagamaan yang ekstrem. Padahal kenyataannya jauh lebih beragam dan modern.

Sosiolog Pierre Bourdieu menjelaskan bahwa media dapat melakukan kekerasan simbolik, yakni proses dominasi melalui representasi. Ketika media memonopoli narasi, maka kelompok sosial lain kehilangan kesempatan untuk merepresentasikan dirinya secara autentik. Dalam konteks ini, pesantren menjadi korban framing media yang tidak sensitif terhadap simbol-simbol keagamaan.

Dampak dari tayangan seperti ini tidak sekadar di dunia maya. Banyak santri dan alumni pesantren mengaku terluka secara moral karena merasa nilai-nilai luhur yang mereka junjung diremehkan. Beberapa pesantren bahkan menolak kunjungan media dalam waktu dekat karena takut kembali disalahpahami. Ini menandakan krisis kepercayaan yang cukup serius antara lembaga pendidikan Islam dan media nasional.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) segera memanggil pihak Trans7 untuk memberikan klarifikasi. Beberapa anggota DPR dari Fraksi PKB turut mendesak agar KPI menjatuhkan sanksi tegas. Mereka menilai tayangan tersebut bukan hanya melanggar kode etik, tetapi juga berpotensi memperlemah toleransi antar kelompok masyarakat. Negara pun diminta memastikan agar etika penyiaran ditegakkan dengan tegas.

Meski demikian, tidak sedikit pula yang mengingatkan agar polemik ini tidak berubah menjadi pembungkaman terhadap kebebasan pers. Media memiliki hak untuk mengkritik institusi sosial, termasuk pesantren, selama dilakukan dengan data, konteks, dan etika. Yang dipersoalkan bukan kritiknya, melainkan cara penyajiannya yang sembrono dan mereduksi nilai-nilai luhur menjadi bahan sensasi.

Kasus ini menunjukkan pentingnya literasi media, baik bagi masyarakat umum maupun kalangan pesantren. Santri dan kiai perlu memahami cara kerja media modern agar mampu berinteraksi secara kritis, bukan reaktif. Dengan literasi media yang baik, komunitas pesantren dapat mengontrol narasi tentang dirinya dan bahkan memproduksi konten alternatif yang lebih autentik.

Gerakan boikot yang muncul bisa dipahami sebagai bentuk kontrol sosial masyarakat terhadap media. Ketika publik merasa nilai-nilainya diserang, mereka menggunakan ruang digital sebagai arena resistensi. Boikot dalam konteks ini bukan sekadar kemarahan spontan, melainkan cara masyarakat menegaskan batas moral yang seharusnya dihormati oleh lembaga penyiaran.

Media harus menyadari bahwa kekuatan mereka bukan hanya pada penyebaran informasi, tetapi juga pada pembentukan persepsi. Maka, tanggung jawab sosial media seharusnya sebanding dengan pengaruh yang mereka miliki. Dalam konteks ini, Trans7 dan media lainnya perlu memperkuat mekanisme editorial yang memastikan setiap narasi melewati proses verifikasi dan sensivitas budaya.

KPI sebagai lembaga pengawas penyiaran memiliki peran penting untuk menegakkan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS). Sanksi tegas terhadap pelanggaran etik bukan sekadar bentuk hukuman, melainkan upaya menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga penyiaran. Tanpa penegakan aturan, media bisa terus jatuh pada pola sensasional yang merugikan. Ke depan, perlu ada ruang dialog antara media dan komunitas pesantren. Forum diskusi, pelatihan bersama, atau program edukasi lintas sektor bisa menjadi jembatan untuk saling memahami. Dengan begitu, media tidak lagi melihat pesantren sebagai objek berita eksotik, tetapi sebagai mitra dalam pembangunan literasi dan moral bangsa.

Selain kritik, langkah solutif yang bisa diambil adalah memproduksi konten positif tentang pesantren. Banyak kisah inspiratif dari dunia santri — inovasi pendidikan, kontribusi sosial, hingga kegiatan kewirausahaan — yang layak diangkat. Narasi-narasi ini dapat menjadi penyeimbang dari stigma negatif yang selama ini beredar di media arus utama.

Kasus boikot Trans7 hendaknya menjadi cermin bagi dunia jurnalistik Indonesia. Dalam masyarakat multikultural dan religius seperti Indonesia, sensitivitas budaya bukan sekadar etika tambahan, tetapi fondasi keberlanjutan media itu sendiri. Kebebasan pers tidak boleh dipisahkan dari tanggung jawab moral terhadap keberagaman yang ada.

Kasus ini menegaskan bahwa penyederhanaan narasi adalah bentuk bahaya baru di era media cepat saji. Ketika kompleksitas sosial dan budaya dipangkas demi klik dan rating, maka yang lahir bukan pemahaman, melainkan perpecahan. Trans7 perlu menjadikan insiden ini sebagai titik balik untuk memperbaiki sistem editorialnya. Sementara itu, masyarakat pesantren disarankan untuk memperkuat kapasitas komunikasi publiknya agar dapat mengontrol narasi tentang dirinya secara lebih aktif dan cerdas. (***)

Bagikan ini:

  • Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
  • Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
  • Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
  • Klik untuk mengirimkan email tautan ke teman(Membuka di jendela yang baru) Surat elektronik
  • Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
  • Klik untuk mencetak(Membuka di jendela yang baru) Cetak
Tags: boikot trans7junaidiopini
Previous Post

Suhu Panas hingga 37°C di Indonesia, Ini Penyebabnya Menurut BMKG

Next Post

Wamen Fajar Ajak Wisudawan UMTAS Jadi Pembelajar Cepat dan Pencipta Nilai

Next Post
Wamen Fajar Ajak Wisudawan UMTAS Jadi Pembelajar Cepat dan Pencipta Nilai

Wamen Fajar Ajak Wisudawan UMTAS Jadi Pembelajar Cepat dan Pencipta Nilai

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • Beranda
  • Kabar
  • Literasi
  • Kolom
  • Kesehatan
  • Muktamar
  • Pendidikan
  • Redaksi
Call us: +1 234 JEG THEME

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.