• Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
Infomu
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
No Result
View All Result
Infomu
No Result
View All Result
Amarizal MPd

Amrizal MPd

Antara Kehidupan 60 Tahun dan 60 Menit

Syaiful Hadi by Syaiful Hadi
9 Desember 2025
in Opini
0

ANTARA KEHIDUPAN 60 TAHUN DAN 60 MENIT
— Refleksi Perjalanan Hidup, Musibah, Dakwah, dan Ketangguhan Kader– 

(Tulisan ke-33 Dari Beberapa Tulisan Terkait Kaderisasi)

Oleh : Amrizal, S.Si., M.Pd – Wakil Ketua MPKSDI PWM Sumatera Utara/Dosen Unimed

Dalam perjalanan panjang enam puluh tahun, seorang manusia menapaki berbagai episode kehidupan: belajar, bekerja, merawat keluarga, mengumpulkan harta, serta mengejar cita-cita yang kadang terasa jauh. Usia enam puluh tahun adalah mozaik dari ribuan langkah yang diambil dengan penuh kesabaran. Namun ketika Allah berkehendak, seluruh bangunan kehidupan yang disusun selama puluhan tahun itu dapat runtuh hanya dalam enam puluh menit—atau bahkan kurang.

Banjir besar di Aceh, tanah longsor di Sumatera Barat, hingga Banjir Bandang yang melanda Sumatera Utara adalah contoh nyata betapa cepat dunia dapat berubah. Rumah yang dibangun dengan menabung selama puluhan tahun hanyut dalam satu malam. Dokumen penting, pakaian, lemari kenangan, hasil panen, bahkan kendaraan—semuanya lenyap tanpa sempat diselamatkan. Kehidupan yang kokoh dalam enam puluh tahun berubah menjadi kehampaan dalam enam puluh menit. Namun kehidupan selalu menyisakan satu hal yang tidak dapat dihancurkan oleh bencana apa pun: jiwa yang kuat.

Ketangguhan Kader: Antara Dakwah dan Realitas Hidup

Dalam situasi seperti ini, kader Muhammadiyah sering menjadi contoh nyata bagaimana manusia diuji dan ditempa. Mereka bukan hanya bagian dari masyarakat yang terdampak, tetapi juga bagian dari garda terdepan yang bergerak membantu sesama.

Meskipun ekonomi sedang terpuruk, meskipun sedang dilanda musibah, meskipun rumah sendiri mungkin ikut tergenang air atau terbakar api, kader Muhammadiyah hampir tidak pernah berhenti berdakwah. Dakwah bagi mereka bukan sekadar ceramah, tetapi kerja nyata: mengangkat karung beras untuk warga, mengelola dapur umum, menyelamatkan korban, mengantar logistik, membersihkan masjid, menenangkan warga yang panik, dan menghadirkan harapan di tengah kehancuran.

Itulah keniscayaan dakwah Muhammadiyah: bergerak, bekerja, dan memberi manfaat tanpa banyak kata. Kekuatan ini bukan muncul begitu saja. Persyarikatan telah menanamkan nilai ketangguhan itu sejak lama: lewat ranting yang hidup, cabang yang aktif membina, pengajian yang menguatkan iman, pelatihan kader yang menanamkan disiplin, hingga budaya organisasi yang menjadikan kerja sosial sebagai bagian dari ibadah.

Muhammadiyah membentuk kadernya agar memiliki daya tahan tinggi—resilience—yang membuat mereka mampu berdiri di tengah badai kehidupan. Mereka diajar untuk bersyukur dalam lapang, bersabar dalam sempit, serta bekerja dalam kondisi apa pun.

Ketabahan dalam Musibah: Pesan Al-Qur’an

Al-Qur’an sendiri mengingatkan bahwa ujian adalah bagian dari perjalanan manusia. Allah berfirman:

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155)

Ayat ini seakan menjadi pelita bagi setiap kader yang terkena musibah. Bahwa kehilangan harta bukan akhir dari segalanya. Bahwa ketakutan dan kegelisahan bukan tanda lemahnya iman, tetapi bagian dari proses menguatkan diri. Kesabaran bukan berarti pasrah, tetapi terus bergerak sambil percaya bahwa Allah tidak meninggalkan hamba-Nya.

Dalam ayat lain, Allah menegaskan:

“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Asy-Syarh: 6)

Ayat ini sering menjadi pegangan kader ketika mereka bekerja di lapangan: saat hujan tak kunjung reda, saat jalan terputus, saat logistik menipis, saat tubuh lelah tetapi panggilan kemanusiaan tidak pernah selesai. Mereka percaya bahwa kerja baik tidak pernah sia-sia, dan bahwa setiap kesulitan pasti akan dibalas dengan kemudahan yang telah dijanjikan.

Bagi seorang kader, ujian seperti ini adalah medan tempur kehidupan yang mendidik. Ketangguhan kader bukan hanya soal kemampuan berpidato, berdiskusi, atau memimpin organisasi. Ketangguhan sejati adalah kemampuannya untuk tetap berdiri meski dunia seakan runtuh. Seorang kader yang ditempa oleh musibah belajar tiga hal penting:

Pertama, bahwa semua yang kita miliki hanyalah titipan. Harta yang dikumpulkan, rumah yang dibangun, jabatan yang dibanggakan—semuanya dapat kembali kepada Allah dalam sekejap. Kesadaran ini melahirkan sifat rendah hati dan menata kembali prioritas hidup: bahwa yang abadi bukanlah apa yang ada di tangan, tetapi apa yang ada di hati dan amal.

Kedua, bahwa kekuatan terbesar manusia bukan terletak pada apa yang ia punya, tetapi pada daya bertahan—resilience—yang ia bangun. Ketika banjir merendam rumah, ketika tanah longsor menelan harapan, ketika api membakar semua yang berharga, manusia dipaksa untuk kembali ke titik nol. Namun, justru dari titik nol itulah banyak orang menemukan kekuatan barunya.

Ketiga, bahwa hidup selalu memberi ruang bagi harapan. Selama nafas masih berada di dada, seseorang bisa bangkit lagi. Banyak keluarga yang hilang harta tetapi tetap memeluk satu sama lain. Banyak kader yang kehilangan rumah tetapi tetap memimpin tim relawan membantu warga lain. Musibah memang menghancurkan, tetapi ia juga melahirkan solidaritas, kepedulian, dan kebaikan yang mungkin tidak muncul pada hari-hari biasa.

Dari Enam Puluh Tahun ke Enam Puluh Menit: Makna yang Tersingkap

Musibah menghapus harta, tetapi tidak dapat menghapus nilai. Ia meruntuhkan bangunan, tetapi tidak meruntuhkan keteguhan jiwa. Ia menghapus kenangan fisik, tetapi tidak dapat menghapus semangat untuk bangkit kembali.

Dalam rentang enam puluh tahun hidup, manusia membangun banyak hal: rumah, keluarga, karier, dan reputasi. Namun dalam enam puluh menit kehilangan, manusia mendapatkan sesuatu yang lebih besar: pemahaman tentang arti hidup, arti sabar, arti ikhlas, dan arti perjuangan.

Bagi seorang kader Muhammadiyah, hidup bukan tentang berapa banyak yang berhasil ia kumpulkan, tetapi seberapa kuat ia bertahan saat semuanya hilang. Hidup bukan tentang lamanya usia, tetapi tentang keberkahan langkah. Dan keberkahan itu terlihat jelas ketika mereka tetap bergerak, tetap membantu, tetap berdakwah, meski diri sendiri sedang terluka.

Kader yang Tak Pernah Padam

Kader Muhammadiyah adalah potret manusia yang ditempa oleh takdir, dibentuk oleh nilai, dan dikuatkan oleh iman. Mereka tidak kebal terhadap musibah, tetapi mereka tidak menyerah. Mereka mungkin kehilangan rumah, tetapi tidak kehilangan harapan. Mereka mungkin kehilangan harta, tetapi tidak kehilangan semangat dakwah.

Mereka adalah wujud nyata dari seruan Al-Qur’an:

“Maka bersabarlah; sesungguhnya janji Allah itu benar.” (QS. Ar-Rum: 60)

Antara kehidupan enam puluh tahun dan enam puluh menit, seorang kader diajari untuk tetap tegak. Karena hidup bukan tentang apa yang kita miliki, tetapi tentang siapa kita saat semuanya hilang. Dan dari sanalah ketangguhan, keikhlasan, serta makna dakwah menemukan bentuknya yang paling indah.

Wallahu a’lam bish shawab

Bagikan ini:

  • Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
  • Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
  • Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
  • Klik untuk mengirimkan email tautan ke teman(Membuka di jendela yang baru) Surat elektronik
  • Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
  • Klik untuk mencetak(Membuka di jendela yang baru) Cetak
Tags: amrizalopini
Previous Post

MUI Sumut Galang Bantuan untuk Korban Bencana di Sumut, Aceh, dan Sumbar

Next Post

Ketika Mata Para Penindas Terbelalak: Refleksi atas Surat Ibrahim Ayat 42

Next Post
Syahbana Daulay

Ketika Mata Para Penindas Terbelalak: Refleksi atas Surat Ibrahim Ayat 42

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • Beranda
  • Kabar
  • Literasi
  • Kolom
  • Kesehatan
  • Muktamar
  • Pendidikan
  • Redaksi
Call us: +1 234 JEG THEME

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.