Abu Ma‘syar al-Balkhī (w. 272 H/885 M) dan Kritiknya atas Pengkritik Astrologi
Oleh : Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar – Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU
Abu Ma‘syar al-Balkhī, nama lengkapnya Ja‘far bin Muhammad bin ‘Umar al-Balkhī. Dia adalah pendukung astrologi paling terkenal pada masa awal perkembangan disiplin ilmu ini dan menjadi figur paling berpengaruh serta dianggap sebagai pendiri utama astrologi dalam dunia Islam. Abu Ma’syar al-Balkhī adalah cendekiawan yang paling memahami keterkaitan antara astrologi dan filsafat Yunani. Menariknya, bidang ilmu yang digeluti Abu Ma’syar al-Balkhī pada mulanya sebenarnya adalah bidang hadis, namun berikutnya ia mulai mempelajari astrologi yang kemudian menjadi pembela paling gigih ilmu ini. Abu Ma‘syar al-Balkhī sendiri hidup di Bagdad yang sezaman dengan filsuf terkenal Al-Kindi (w. 260 H/873 M). Abu Ma‘syar al-Balkhī pada awalnya menentang keras minat Al-Kindi dalam ilmu-ilmu filosofis dan kritiknya itu menimbulkan ketegangan di antara keduanya yang menggambarkan konflik lebih luas antara kelompok religius (ulama) dan pendukung pengetahuan asing (astrologi). Untuk meredakan ketegangan tersebut, Al-Kindi mengirim seseorang kepada Abu Ma‘syar al-Balkhī dengan pesan bahwa ilmu matematika sejatinya seperti aritmetika dan geometri yang bermanfaat dalam kajian agama. Abu Ma‘syar al-Balkhī menerima saran ini dan mulai mempelajari dua bidang tersebut (aritmetika dan geometri). Ia kemudian mendalami ilmu-ilmu asing terutama dari Yunani dan pada akhirnya memilih astrologi sebagai fokus utama. Ia ‘meninggalkan’ hadis dan bahkan dicap sebagai ‘ateis’ oleh sebagian kalangan.
Karya utama Abu Ma‘sar al-Balkhī dalam bidang astrologi adalah “al-Madkhal Ilā ‘Ilm Ahkām an-Nujūm” (Pengantar Ilmu Hukum Perbintangan). Buku ini terdiri dari delapan bagian (maqālah), masing-masing berisi sejumlah bab dengan panjang yang beragam. Bab kelima dari bagian pertama membahas tentang “bukti-bukti pembenaran astrologi dan bantahan terhadap mereka yang menyatakan bahwa pergerakan planet tidak memiliki kekuatan atau makna terhadap kejadian-kejadian di dunia”. Sementara itu bab keenam berisi pembahasan tentang pembelaan astrologi dengan fokus pada manfaat dan kegunaannya. Selebihnya, karya ini secara umum memberikan pemaparan teoretis yang cukup komprehensif tentang astrologi.

Lembar pertama dan salah satu halaman naskah “al-Madkhal Ilā ‘Ilm Ahkām an-Nujūm” karya Abu Ma‘syar al-Balkhī (w. 272 H/885 M)

Lembar pertama dan salah satu halaman buku “al-Madkhal Ilā ‘Ilm Ahkām an-Nujūm” karya Abu Ma‘syar al-Balkhī (w. 272 H/885 M) dalam bahasa Latin, diterjemahkan pada tahun 1506 M

Versi cetak buku “al-Madkhal Ilā ‘Ilm Ahkām an-Nujūm” karya Abu Ma‘syar al-Balkhī (w. 272 H/885 M)
Tentu yang menjadi perhatian penting dalam hal ini adalah pembelaan Abu Ma’syar al-Balkhī terhadap astrologi (bab kelima). Ia menangkal berbagai kelompok yang menolak astrologi beserta argumennya. Tanggapan dan pandangan Abu Ma’syar al-Balkhī ini memberi gambaran komprehensif tentang bagaimana astrologi kala itu di tengah masyarakat, sekaligus posisinya di kalangan intelektual (ulama/ilmuwan). Secara sistematis dalam karyanya ini Abu Ma’syar al-Balkhī mengelompokkan para penentang astrologi dalam sepuluh kelompok, dan untuk masing-masing ia memaparkan argumennya lalu memberikan bantahan masing-masing. Kelompok-kelompok tersebut digambarkan bukan dengan nama mazhab atau afiliasinya, namun lebih berdasarkan argumen yang dikemukakan. Adapun sepuluh kelompok dan argumennya itu yaitu: pertama, mereka yang meyakini bahwa planet sama sekali tidak memiliki pengaruh. Kedua, mereka yang meyakini planet hanya memiliki pengaruh umum, tetapi tidak pengaruh khusus. Ketiga, kelompok yang disebut ahl an-nazhar wa al-jadal (kelompok rasionalis dan dialektikus) yang kemungkinan besar adalah kalangan Mu‘tazilah. Keempat, mereka yang berpendapat bahwa planet hanya memberi tanda bagi perubahan siklus alam, bukan bagi manusia, hewan, dan tumbuhan. Kelima, mereka yang menerima astronomi tetapi menolak astrologi sebagai ilmu berbasis pengalaman. Keenam, mereka yang hanya menguasai matematika terapan. Ketujuh, mereka yang menolak karena dengki terhadap astrolog. Kedelapan, para tabib (dokter) yang tidak memahami astrologi. Kesembilan, kalangan awam yang hanya mengejar materi dan tidak peduli ilmu. Kesepuluh, kalangan awam yang kehilangan kepercayaan setelah melihat banyak kesalahan prediksi astrolog. Sepuluh kelompok ini beserta argumennya masing-masing sekali lagi dibantah oleh Abu Ma‘syar al-Balkhī dengan argumennya pula.
Adapun corak astrologi yang dibela dan diyakini Abu Ma‘syar al-Balkhī yaitu astrologi yang menempatkan pengaruh planet atau benda langit sebagai bagian dari kehendak Tuhan, bukan astrologi yang menganggap planet atau benda langit lainnya memiliki kekuatan absolut dan independen dari Tuhan. Di sini tampak Abu Ma‘syar al-Balkhī berhadapan dengan sesama cendekiawan rasionalis yang ia anggap seharusnya berada di pihak astrologi namun menolak karena berbagai alasan dan pertimbangan, diantaranya karena takut akan stigma sosial-religius dari masyarakat. Menurutnya, tekanan sosial dan religius membuat banyak ilmuwan kala itu menentang astrologi meskipun secara teoretis mereka memahami dasar filsafatnya. Namun belakangan justru tekanan sosial ini yang ‘memaksa’ Abu Ma‘syar al-Balkhī melunakkan argumennya dengan menyatakan bahwa segala pengaruh benda langit terjadi atas “izin Tuhan”, sementara para astronom harus menolak astrologi secara terbuka agar tidak dicurigai sebagai pendukung ilmu yang dipandang sesat ini.
Berikutnya dari sepuluh kelompok penentang astrologi ini setidaknya ada tiga kelompok yang sangat relevan untuk memahami lahirnya astronomi (‘ilm al-hai’ah) di dunia Islam, yaitu: pertama, kelompok yang mempelajari sifat dan gerak benda-benda langit, tetapi meyakini bahwa planet tidak memiliki pengaruh terhadap peristiwa di bumi seperti manusia, hewan, tanaman, atau air. Mereka hanya mengakui adanya pengaruh terhadap perubahan siklus besar dalam sejarah. Kelompok ini adalah para astronom generasi awal yang kemudian menciptakan disiplin ‘ilm al-hai’ah (ilmu astronomi). Kedua, kelompok yang menerima astronomi sebagai ilmu teoretis universal, tetapi menolak astrologi karena dianggap tidak dapat dibuktikan secara empirik-matematis dan hanya bertumpu pada pengalaman. Bagi kelompok ini sesuatu yang tidak punya dasar pembuktian matematis dan empiris tidak dapat disetarakan dengan astronomi. Ketiga, kelompok yang mampu menghitung posisi benda-benda langit berdasarkan tabel-tabel astronomis (zij). Tatkala hasil tabel berbeda-beda, mereka menjadi ragu terhadap kebenaran astrologi, bukan terhadap tabel atau metode perhitungannya.
Seperti telah dikemukakan, para astronom menjauhi astrologi adalah karena adanya tekanan masyarakat (umat Islam) dan yang paling utama karena motivasi mempertahankan aspek ilmiah telaah benda-benda langit itu sendiri. Karena itu agar tidak dikaitkan dengan astrologi dan pengetahuan asing yang sesat, para astronom berkepentingan menegaskan batas disiplin ilmu astrologi sehingga lahirlah ‘ilm al-hai’ah (ilmu astronomi). Abu Ma‘syar al-Balkhī sepenuhnya menyadari kritik para astronom bukan karena kelemahan logika astrologi, tetapi karena kekhawatiran dicela oleh masyarakat sebab mempraktikkan ilmu sesat, produk luar (Yunani), dan tidak ilmiah. Karena itu, tidak mengherankan astronom-astronom yang membangun ‘ilm al-hai’ah menjadi kelompok yang paling vokal dalam mengkritik astrologi meskipun secara historis astrologi dan astronomi dalam tradisi Yunani, yang menjadi cikal-bakal astronomi dalam Islam, hampir tidak dapat dipisahkan.
Selain itu, dalam sejarah diketahui kritik dan tekanan atas astrologi juga datang dari berbagai kelompok yaitu para ulama dan ahli al-Qur’an, para ahli fikih dan hadis, kelompok-kelompok intelektual, dan kalangan masyarakat awam secara umum yang memandang astrologi sebagai praktik gagal dan tidak akurat. Namun Abu Ma’syar al-Balkhī justru prihatin terhadap kalangan yang seharusnya mendukung astrologi ini. Kelompok-kelompok ini dikritisi Abu Ma’syar al-Balkhī secara tajam karena menolak astrologi bukan dengan alasan teologis namun seperti dikemukakan sebelumnya lebih karena sorotan sosial dan keengganan diasosiasikan dengan ilmu yang dipandang sesat dan kontroversial. Sementara itu terhadap para dokter Abu Ma‘syar al-Balkhī mengecam para dokter karena tidak mau memahami dasar filosofis astrologi yang pada dasarnya mereka gunakan sendiri. Abu Ma’syar al-Balkhī mengklaim para dokter hanya mengejar keuntungan praktis tanpa menelaah fondasi teoretis astrologi sama sekali.
Demikian sekilas tentang Abu Ma‘syar al-Balkhī dan kritiknya atas pengkritik astrologi. Apa yang telah diuraikan hanya gambaran dan analisis singkat, tentunya ada banyak konteks lain yang belum terungkap, karena itu diperlukan kajian komprehensif lebih lanjut. Wallahu a’lam[]

