Jakarta, InfoMu.co – Islam mengajarkan umatnya untuk hidup dengan kesederhanaan, menjauhkan diri dari keserakahan dan berorientasi pada kehidupan akhirat yang lebih kekal.
Konsep ini tidak hanya tercermin dalam ajaran, tetapi juga dalam kehidupan para sahabat Nabi, salah satunya adalah Abu Dzar al Ghifari yang terkenal dengan kesederhanaannya.
Abu Dzar al Ghifari adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang sangat setia dan taat kepada Allah SWT. Kisah hidupnya yang sederhana dan zuhud bisa menjadi teladan bagi umat Islam dalam mengedepankan kehidupan yang lebih rendah hati dan jauh dari materialisme.
Sahabat Nabi yang Terkenal dengan Kesederhanaan Adalah Abu Dzar Al Ghifari
Dalam buku The Great Sahaba yang ditulis oleh Rizem Aizid, disebutkan bahwa Abu Dzar al-Ghifari adalah seorang sahabat Rasulullah SAW yang sangat setia, jujur, dan terkenal dengan kesederhanaannya.
Abu Dzar berasal dari suku Ghifar, sebuah kelompok yang tinggal di Lembah Waddan, dekat Makkah. Hidup di lingkungan yang sederhana dan jauh dari kemewahan kota, Abu Dzar dibesarkan dalam lingkungan yang keras.
Bani Ghifar, tempat Abu Dzar berasal, dikenal sebagai kelompok perampok yang pemberani dan senang berperang. Mereka tahan terhadap penderitaan, kekurangan, dan kelaparan.
Dulu, Abu Dzar sendiri dikenal sebagai salah satu yang paling buruk tabiatnya di antara mereka. Nama lengkapnya adalah Abu Dzar Jundab bin Junadah bin Sufyan al Ghifari.
Sebelum memeluk Islam, ia adalah seorang perampok. Namun, segala sesuatu berubah saat ia mendapat hidayah dari Allah SWT. Setelah mengenal Islam, Abu Dzar menjadi seorang yang bertakwa dan setia kepada Rasulullah SAW, bahkan menjadi salah satu pengawal Nabi yang paling dekat.
Abu Dzar tidak gentar menghadapi tantangan, dan pernah berkata kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, demi Dzat yang nyawaku berada di tangan-Nya, aku akan melafalkan kalimat tauhid ini dengan lantang di tengah kerumunan orang-orang yang tidak beriman itu!”
Kisah Kesederhanaan Abu Dzar
Diceritakan dalam buku Sosok Para Sahabat Nabi karya Abdurrahman Raf’at al-Basya, setelah Rasulullah SAW wafat, Abu Dzar memutuskan untuk pergi ke Damaskus, sebuah kota besar yang saat itu sudah berkembang pesat.
Di sana ia terkejut melihat sebagian besar umat Islam terlarut dalam kemewahan dunia. Keadaan yang sangat berbeda dengan kehidupan sederhana yang ia jalani. Melihat hal itu, Abu Dzar merasa cemas, menyaksikan banyak orang lebih fokus pada kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat yang lebih kekal.
Tak lama setelah itu, Khalifah Utsman memanggil Abu Dzar untuk kembali ke Madinah. Abu Dzar pun segera memenuhi panggilan tersebut, tetapi ia kembali mendapati situasi yang sama di Madinah.
Orang-orang semakin terjerat dengan kemewahan dunia. Karena merasa tidak nyaman dengan keadaan itu, Abu Dzar memutuskan untuk pergi ke Rabadzah, sebuah desa kecil di pinggiran Madinah.
Di sana ia hidup dengan sangat sederhana, jauh dari hiruk pikuk kehidupan perkotaan, dan tetap berpegang teguh pada prinsip zuhud yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Suatu hari, seorang tamu berkunjung ke rumah Abu Dzar yang tampak sangat sederhana. Rumahnya hampir kosong tanpa perabotan dan tamu itu pun bertanya, “Wahai Abu Dzar, di mana perabot rumahmu?”
Abu Dzar tersenyum dan menjawab, “Kita punya rumah di kampung sana (akhirat), jadi perabot terbaik sudah saya kirimkan ke sana.”
Tamu itu melanjutkan, “Tapi engkau juga harus memiliki perabot selama berada di kampung ini.”
Abu Dzar dengan tenang menjawab, “Namun pemilik rumah ini tidak mengizinkan kita menetap lama di sini (di dunia).”
Suatu ketika, Gubernur Syam mengirimkan tiga ratus dinar kepada Abu Dzar dengan harapan ia dapat memanfaatkannya untuk kebutuhan hidup. Namun, Abu Dzar malah mengembalikan uang tersebut sambil bertanya, “Apakah Tuan Gubernur tidak menemukan seorang hamba yang lebih miskin dari saya?”
Sebuah sikap yang mencerminkan kesederhanaannya yang luar biasa yang jauh dari kecintaan pada harta dan dunia.
Abu Dzar dikenal sebagai pribadi yang sangat sederhana. Menurutnya, menyimpan harta yang melebihi kebutuhan adalah sesuatu yang diharamkan.
Rasulullah SAW juga pernah menegaskan tentang kesederhanaan Abu Dzar. Sebelum wafat, beliau bersabda, “Abu Dzar akan tetap sama sepanjang hidupnya.”
Perkataan Rasulullah SAW tersebut mengandung makna bahwa Abu Dzar akan tetap mempertahankan sifat-sifatnya yang sederhana, zuhud, dan setia kepada ajaran Islam sepanjang hidupnya. (dtk)