Ini mesti dilakukan dengan usaha strategis, dalam rangka memperlihatkan bahwa, Pilkada Aceh 2022 ada dasar serta landasan hukum, aturan, logika berfikir dan pemikiran kebijakan tentang kekhususan Aceh. UUPA merupakan aturan undang-undang yang perlu dihargai. Ini merupakan turunan Memorandum of Understanding (MoU) Damai Aceh dengan Pemerintah Republik Indonesia (RI) Pusat, 15 Agustus 2005. UUPA sebagai turunannya dituangkan menjadi UU Nomor 11 Tahun 2006. Kemudian turunannya dalam bentuk qanun dalam mengurus, mengelola dan merupakan kebijakan publik untuk kepentingan rakyat Aceh yang sesungguhnya.
Jika hak kolektif dan kepemilikan dasar hukum UUPA yang merupakan hak dan milik rakyat Aceh Pasca Damai sejak 5 Agustus 2005, dan dituangkan sebagai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 ini tidak dihargai oleh pusat, diabaikan, diberangus karena kepentingan politik kebijakan politik oligarki pusat. Maka ini berpotensi menciptakan persoalan baru ke depan. Bahkan bisa menjadi konflik baru, gara-gara Pemerintah Pusat mengabaikan, mengangkangi dan membenturkan kekhususan Aceh yang merupakan modal politik, hak dan kepemilikan kolektif aturan khusus Aceh, hanya mengakomodir serta mementingkan kebijakan politik terpusat, dan mengorbankan kepentingan politik pusat yang tidak menghargai kearifan dan kebijakan politik khusus Aceh.
“Keputusan politik untuk kepentingan rakyat Aceh, ini lebih dipahami dan diketahui persis oleh rakyat dan elite politik dan pemimpin Aceh. Jika Pemerintah Pusat selalu saja memaksa atau mementingkan kepentingan politik pusat dan terpusat, dapat diprediksi serta dipahami ketidakpercayaan (distrusted) rakyat kepada pemimpin, elite dan pemerintah pusat, Jakarta semakin meningkat. Ini berpotensi secara nasional menjadi ketidakstabilan politik, sosial, budaya, ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat tidak terpenuhi. Hal ini akan semakin runyam dan kacau dan kondisi politik dan ekonomi yang sulit diprediksi ke depan terhadap perbaikan kehidupan rakyat yang sesungguhnya.” Tutup Taufiq (Agusnaidi B)

