Syamsul Anwar Jelaskan Makna Fikih dalam Muhammadiyah dan Tradisi Mazhab
INFOMU.CO | Yogyakarta – Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Syamsul Anwar memaparkan secara mendalam makna fikih dalam Muhammadiyah serta perbedaannya dengan tradisi fikih di kalangan fuqaha pada umumnya, dalam Pengajian Tarjih yang digelar Rabu (24/12).
Pemaparan ini menyoroti cara Muhammadiyah memahami fikih bukan semata sebagai kumpulan hukum halal dan haram, melainkan sebagai sistem norma yang berjenjang dan responsif terhadap perkembangan zaman.
Syamsul Anwar menjelaskan bahwa dalam tradisi para fuqaha, fikih umumnya dipahami dalam dua pengertian.
Pertama, fikih sebagai himpunan norma syariah yang mengatur tingkah laku manusia, baik yang bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah Nabi, maupun hasil ijtihad. Dalam pengertian ini, fikih berisi aturan tentang apa yang wajib, haram, makruh, mubah, serta ketentuan sebab, syarat, dan penghalang hukum.
Kedua, fikih dipahami sebagai cabang ilmu, yakni disiplin keilmuan yang mengkaji norma-norma syariah yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam sekitar.
Menurutnya, pembagian ajaran Islam di kalangan fuqaha lazimnya hanya terdiri atas dua bidang besar, yakni akidah dan syariah, dengan akhlak sering dimasukkan ke dalam fikih.
Berbeda dengan itu, Muhammadiyah merumuskan pembidangan ajaran Islam secara lebih rinci menjadi empat bidang, yaitu akidah, akhlak, ibadah, dan muamalat. Dalam kerangka ini, fikih mencakup dua bidang terakhir, yakni ibadah dan muamalat, sementara akhlak ditempatkan sebagai bidang tersendiri yang memiliki posisi sangat penting dalam ajaran Islam.
Lebih lanjut, Syamsul menjelaskan bahwa perbedaan antara Muhammadiyah dan tradisi fikih pada umumnya tidak bersifat prinsipil, melainkan terletak pada tingkat perincian. Dalam Muhammadiyah, fikih tidak hanya dipahami sebagai kumpulan norma detail yang langsung mengatur kasus per kasus, tetapi juga mencakup nilai-nilai dasar dan prinsip-prinsip umum.
“Fikih dalam Muhammadiyah didefinisikan sebagai seperangkat ketentuan Islam yang terklasifikasi dalam tiga tingkatan, yakni nilai-nilai dasar, prinsip-prinsip umum, dan peraturan hukum konkret,” terang Syamsul.
Nilai-nilai dasar atau al-qiyam al-asasiyyah merupakan nilai universal ajaran Islam seperti kemaslahatan, persamaan, kebebasan, dan toleransi. Prinsip-prinsip umum, yang dalam istilah Arab disebut al-uṣūl al-kulliyyah, merupakan asas-asas yang lebih abstrak dan menjadi jembatan antara nilai dasar dan aturan konkret. Adapun peraturan hukum konkret atau al-aḥkām al-far‘iyyah adalah ketentuan detail seperti kewajiban salat, puasa, zakat, larangan korupsi, serta kewajiban memenuhi janji.
Ia menjelaskan bahwa prinsip-prinsip umum ini dapat berupa kaidah fikih yang telah dirumuskan secara yuridis, maupun teori-teori fikih yang berkembang dalam literatur para ulama meskipun tidak selalu diformulasikan dalam bentuk kaidah baku.
Seluruh jenjang norma tersebut tersusun dalam suatu hierarki, di mana nilai dasar menjadi payung bagi prinsip umum, dan prinsip umum menjadi dasar bagi lahirnya ketentuan-ketentuan konkret.
Sebagai contoh, Syamsul Anwar menguraikan nilai dasar kemaslahatan yang diturunkan menjadi kaidah fikih al-masyaqqatu tajlibu al-taysir, bahwa kesukaran mendatangkan kemudahan. Kaidah ini kemudian diwujudkan dalam ketentuan konkret seperti bolehnya musafir dan orang sakit tidak berpuasa Ramadan, atau kewajiban memberi keringanan kepada orang yang kesulitan membayar utang, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an.
Contoh lain adalah nilai dasar persamaan yang melahirkan asas kesetaraan dalam hak menduduki jabatan publik. Dari asas ini, Muhammadiyah sampai pada kesimpulan bahwa perempuan memiliki hak yang sama untuk memegang jabatan kepemimpinan, termasuk menjadi direktur rumah sakit atau kepala negara. Syamsul Anwar menyinggung salah satu fatwa Majelis Tarjih yang membolehkan perempuan menjadi direktur rumah sakit, dengan menempatkan hadis tentang kepemimpinan perempuan dalam kerangka hierarki norma dan konteks sosial yang tepat.
Menurutnya, penjenjangan norma fikih ini memiliki manfaat besar, terutama untuk merespons persoalan-persoalan baru yang tidak secara eksplisit disebutkan dalam nash.
Ia mencontohkan fatwa tentang kurban pada masa bencana dan pandemi. Dalam sejumlah fatwa, Majelis Tarjih menegaskan bahwa membantu korban bencana dapat diprioritaskan dibandingkan ibadah kurban apabila kemampuan seseorang terbatas, karena pertimbangan kemaslahatan sosial yang lebih besar.
Kebijakan ini, menurut Syamsul Anwar, merupakan hasil penerapan konsep fikih berjenjang yang menempatkan nilai dasar dan asas umum sebagai rujukan utama.
Melalui pemaparan tersebut, Syamsul Anwar menegaskan bahwa pemahaman fikih dalam Muhammadiyah pada dasarnya sejalan dengan tradisi fikih Islam secara umum. Perbedaannya terletak pada upaya pendetailan dan penegasan hierarki norma, sehingga fikih dapat berfungsi secara lebih dinamis, kontekstual, dan relevan dalam menjawab tantangan kehidupan modern. (muhammadiyah.or.id)

