Belajar Menjadi Tua di Muhammadiyah
(Tulisan ke-35 dari Serial Tulisan Terkait Kaderisasi Muhammadiyah)
Oleh: Amrizal – Wakil Ketua MPKSDI PWM Sumut/Dosen Unimed
Tidak semua orang siap menjadi tua di Muhammadiyah. Banyak yang bersemangat saat muda, militan ketika baru bergabung, tetapi perlahan menjauh ketika usia bertambah dan peran berubah. Padahal, menjadi tua di Muhammadiyah bukanlah soal bertambahnya umur biologis, melainkan tentang kedewasaan berpikir, kejernihan bersikap, dan kematangan dalam memaknai perjuangan. Muhammadiyah tidak hanya membutuhkan kader muda yang berani bergerak, tetapi juga kader senior yang mampu menjaga arah dan nilai.
Menjadi tua di Muhammadiyah adalah proses belajar yang tidak singkat. Ia menuntut kesediaan untuk berdamai dengan perubahan, menerima kenyataan bahwa tidak semua hal harus kita pimpin langsung, dan memahami bahwa estafet perjuangan harus terus berjalan. Dalam fase ini, kader diuji bukan lagi oleh seberapa keras ia bersuara, melainkan seberapa arif ia menyikapi dinamika. Tidak semua orang lulus dalam ujian ini.
Pada masa muda, kader sering kali diwarnai oleh semangat konfrontatif. Kritik disampaikan dengan lantang, perbedaan dipertajam, dan keberanian diukur dari seberapa keras sikap ditunjukkan. Fase ini penting dan wajar. Namun, ketika usia bertambah, Muhammadiyah mengajarkan bahwa perjuangan tidak selalu identik dengan perlawanan terbuka. Ada saatnya ketegasan disampaikan dengan ketenangan, dan keberanian ditunjukkan melalui kebijaksanaan.
Belajar menjadi tua di Muhammadiyah berarti belajar menahan diri. Tidak semua hal harus ditanggapi secara emosional. Tidak setiap perbedaan harus dimenangkan. Kader yang matang memahami bahwa organisasi besar seperti Muhammadiyah tumbuh melalui dialektika gagasan, bukan dominasi suara. Dalam kematangan itu, kader belajar mendengar lebih banyak daripada berbicara, serta menimbang lebih dalam sebelum mengambil sikap.
Salah satu tantangan terbesar kader senior adalah melepaskan romantisme masa lalu. Pengalaman memimpin, kisah militansi, dan sejarah perjuangan memang penting sebagai sumber pembelajaran. Namun, ketika masa lalu dijadikan standar tunggal untuk menilai masa kini, maka ia berpotensi menjadi beban. Muhammadiyah bergerak dalam konteks zaman yang terus berubah. Kader yang belajar menjadi tua memahami bahwa generasi baru memiliki tantangan dan cara berjuangnya sendiri.
Kematangan kader tercermin dari kemampuannya memberi ruang kepada generasi muda. Bukan sekadar memberi kesempatan, tetapi juga kepercayaan. Tidak mudah bagi mereka yang pernah berada di garis depan untuk mengambil peran di belakang layar. Namun, justru di situlah kebesaran jiwa diuji. Kader yang matang tidak merasa kehilangan makna ketika tidak lagi menjadi pusat perhatian. Ia menemukan kepuasan dalam melihat kader muda tumbuh dan melanjutkan perjuangan.
Belajar menjadi tua di Muhammadiyah juga berarti belajar mengelola perbedaan secara dewasa. Dalam organisasi yang besar dan majemuk, perbedaan pandangan adalah keniscayaan. Kader yang matang tidak mudah terjebak dalam konflik personal atau friksi struktural. Ia mampu memisahkan antara persoalan prinsip dan persoalan teknis. Sikap ini lahir dari pengalaman panjang dan refleksi yang jujur terhadap perjalanan organisasi.
Dalam konteks kaderisasi, peran kader senior sangat menentukan. Ia bukan lagi sekadar instruktur atau pengambil keputusan, tetapi teladan moral dan ideologis. Keteladanan tidak selalu diwujudkan dalam ceramah panjang, melainkan dalam sikap sehari-hari: keikhlasan bekerja, kesediaan menerima kritik, serta konsistensi menjaga nilai Persyarikatan. Dari keteladanan inilah kader muda belajar makna perjuangan yang sesungguhnya.
Namun, menjadi tua di Muhammadiyah tidak berarti menjadi pasif. Kader yang matang tetap memiliki tanggung jawab moral untuk bersuara ketika nilai-nilai Persyarikatan terancam. Bedanya, suara itu lahir dari kejernihan, bukan dari luapan emosi. Kritik disampaikan dengan argumentasi, bukan dengan amarah. Inilah bentuk keberanian yang lebih sulit, tetapi jauh lebih bermakna.
Belajar menjadi tua juga berarti menerima bahwa perjuangan tidak selalu berbuah sesuai harapan. Ada program yang gagal, kader yang menjauh, dan keputusan yang tidak sejalan dengan idealisme awal. Kader yang matang tidak larut dalam kekecewaan. Ia memahami bahwa gerakan besar selalu memiliki dinamika pasang surut. Dalam kesadaran itu, ia memilih tetap setia, meski tidak selalu berada di posisi strategis.
Pada akhirnya, menjadi tua di Muhammadiyah adalah tentang kesetiaan yang diuji oleh waktu. Kesetiaan yang tidak bergantung pada jabatan, pengaruh, atau pengakuan. Kesetiaan yang tumbuh dari keyakinan bahwa Muhammadiyah adalah jalan pengabdian, bukan sekadar ruang aktualisasi diri. Kader yang belajar menjadi tua akan tetap hadir, meski tidak selalu terlihat, tetap bekerja, meski tidak selalu disebut.
Muhammadiyah membutuhkan kader seperti ini. Kader yang matang secara ideologis, tenang dalam bersikap, dan kokoh dalam prinsip. Dari mereka, Persyarikatan belajar bahwa keberlanjutan gerakan tidak hanya ditentukan oleh semangat muda, tetapi juga oleh kebijaksanaan usia. Belajar menjadi tua di Muhammadiyah, pada akhirnya, adalah belajar mencintai Persyarikatan dengan cara yang lebih dewasa dan bertanggung jawab.
Wallahu a’lam bish shawab

