Ekosistem Global yang Berubah, Ujian Moral Gerakan
Oleh : Jufri
Dunia tidak sedang baik-baik saja. Ekosistem global berubah cepat, keras, dan sering kali brutal. Pergeseran geo-politik, geo-ekonomi, dan geo-budaya bukan sekadar istilah akademik, melainkan realitas yang memukul kehidupan umat manusia dari berbagai sisi. Ketika pusat kekuatan dunia bergeser dari Barat ke Asia Timur, khususnya Tiongkok, kita tidak hanya menyaksikan kompetisi ekonomi, tetapi juga pertarungan nilai, etika, dan arah peradaban.
Dalam pusaran itu, Muhammadiyah tidak boleh menjadi penonton yang terpukau oleh angka-angka pertumbuhan dan kekuatan pasar. Sejarah panjang persyarikatan ini justru menunjukkan bahwa Muhammadiyah lahir untuk menjadi penuntun moral di tengah perubahan zaman, bukan sekadar organisasi yang beradaptasi secara teknis tetapi kehilangan keberanian etik.
Ekspansi ekonomi Tiongkok dengan populasi raksasa dan jaringan “China Perantauan” telah mengubah wajah Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Di balik narasi investasi dan pembangunan, tersimpan pertanyaan mendasar: siapa yang diuntungkan, siapa yang terpinggirkan, dan nilai apa yang sedang dikorbankan? Ketika kekuatan ekonomi menjelma menjadi kekuatan dominan tanpa kendali moral, maka yang lahir bukan kesejahteraan, melainkan ketimpangan yang sistemik.
Di sinilah ekosistem global menjadi ujian serius bagi gerakan Islam modern seperti Muhammadiyah. Ekosistem bukan hanya soal lingkungan alam, tetapi juga ruang relasi manusia, antara negara dan rakyat, antara modal dan kemanusiaan, antara agama dan kekuasaan. Jika ekosistem ini dibiarkan dikuasai logika kapitalisme telanjang, maka agama hanya akan menjadi ornamen retoris, bukan kekuatan pembebas.
Muhammadiyah harus tampil lebih tegas dalam mencegah konsesi hutan, laju deforestasi, dan praktik pendayagunaan sumber daya alam yang rakus dan tak berkeadilan. Bumi tidak sedang meminta eksploitasi, melainkan perlindungan. Ketika hutan digunduli atas nama investasi, yang dipanen bukan kesejahteraan, melainkan bencana: banjir bandang, longsor, krisis air, dan konflik sosial yang berlapis. Negara mungkin memperoleh angka pertumbuhan, tetapi rakyat memanen derita dan ketidakpastian hidup.
Jika Muhammadiyah diam, maka kesenjangan ekologis akan beriringan dengan ketidakadilan sosial yang kian menganga. Kerusakan alam selalu berujung pada pemiskinan struktural, dan korban pertamanya adalah mereka yang paling lemah. Karena itu, keberpihakan pada lingkungan bukan isu pinggiran, melainkan mandat keimanan. Menjaga hutan adalah menjaga kehidupan; melawan keserakahan adalah menegakkan keadilan.
Pada titik inilah harus ditegaskan: kemanusiaan adalah tugas kita semua, tetapi kekuasaan melalui kebijakan memiliki kewajiban utama untuk menjaga hajat hidup orang banyak. Negara tidak boleh bersembunyi di balik dalih pasar dan investasi, sementara rakyat menanggung risiko ekologis dan sosial yang berkepanjangan. Kekuasaan tanpa keberpihakan pada kemanusiaan adalah bentuk pengkhianatan terhadap mandat konstitusional dan moral.
Di sinilah peran Muhammadiyah menjadi krusial. Muhammadiyah harus selalu peduli, hadir, dan konsisten mengoreksi serta mengingatkan pemerintah agar menjalankan perannya secara adil, beradab, dan berpihak pada kepentingan rakyat luas. Kritik bukan bentuk pembangkangan, melainkan wujud cinta pada bangsa dan tanggung jawab iman dalam ruang publik.
Muhammadiyah sejatinya memiliki modal besar: etos tajdid, keberpihakan pada kaum mustadh‘afin, dan keberanian intelektual untuk berkata tidak pada ketidakadilan, siapa pun pelakunya. Dalam konteks global hari ini, keberpihakan itu harus diterjemahkan secara nyata: membela kedaulatan ekologis dan ekonomi rakyat, mengkritik relasi kuasa yang timpang, dan menegaskan bahwa pembangunan tanpa keadilan lingkungan dan kemanusiaan adalah bentuk baru penjajahan.
Kita tidak sedang kekurangan teori, tetapi kekurangan keberanian. Banyak yang memilih aman, diam, dan nyaman di zona kompromi. Padahal, Muhammadiyah tidak dibangun dari sikap ragu dan setengah hati. Ia lahir dari kegelisahan moral dan keberanian melawan arus zaman yang menindas.
Perubahan ekosistem global adalah keniscayaan. Namun menyerah pada logika kekuatan tanpa nilai adalah pengkhianatan. Di tengah dunia yang semakin dikendalikan oleh modal, teknologi, dan ambisi adidaya, Muhammadiyah harus tetap berdiri sebagai gerakan pencerah, menjaga bumi, membela kemanusiaan, dan memastikan agama tidak tunduk pada kekuasaan, tetapi justru mengoreksinya.
Jika tidak, Muhammadiyah akan tetap besar secara nama, tetapi kehilangan ruhnya. Dan itu jauh lebih berbahaya daripada kalah dalam persaingan global. Tentu saja peran itu dilakukan dengan rasa cinta dan tanggung jawab kepada bangsa dan negara Indonesia. Muhammadiyah adalah bahagian penting dari sejarah berdirinya Republik ini yang sekaligus punya hak dan kewajiban menjaganya.

