KESABARAN DALAM KEBENARAN
( Sabar Menghadapi Ujian dalam Perjuangan dan Kehidupan )
Oleh : Faisal Amri Al Azhari, S.Th.I., M.Ag – Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Sumut, Dosen AIK UMSU
Demikian diksi judul dan sub-tema dalam _Tafsir At-Tanwir_ untuk munasabah ayat tentang kesabaran dalam QS al-Baqarah [2] ayat 153-157.
Antara sabar dan shalat tidak dipisahkan:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِۗ اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ
_”Wahai orang-orang yang beriman, mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”_(QS 2: 153).
Dalam _Tafsir At-Tanwir_ ayat itu di jelaskan bahwa orang-orang yang beriman diseru oleh Allah untuk *meminta pertolongan kepada-Nya dengan sabar dan shalat.*
Segala cobaan dan rintangan dalam perjuangan dan dalam kehidupan harus diterima dengan lapang dada, rida, tanpa keluh kesah.
Harus selalu _husnuzh-zhan_ (berbaik sangka) kepada Allah. Dengan demikian jiwa menjadi tenang. Setelah itu semakin mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha menentukan segala-galanya dengan mendirikan shalat.
*Shalat adalah mikraj*-nya orang-orang yang beriman. *Dengan shalat dia akan mendapatkan kekuatan batin sehingga teguh dalam menghadapi segala cobaan.*

Allah berjanji akan menyertai dalam arti mendukung dan menolong orang-orang yang bersabar. Hal ini diungkapkan dalam firman-Nya _innallaha ma’ash-shabirin_: “sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. _[ selesai nukilan ]_
Gus Baha juga sering menyampaikan bahwa *”ditakdirkan kita bisa sujud kepada Allah itu keren”*.https://www.instagram. com/reel/DQOmQjCAcE9/?igsh= MWN6amNjd2drYzVoYg==
Tetap menegakkan shalat dalam kondisi bencana adalah bukti kesabaran dan kebenaran iman-nya.
Semakin beriman seorang hamba, semakin bertambah cobaan datang. Tapi inilah pesan mendalam _Fikih Kebencanaan_ bahwa *jangan sampai cobaan datang Agama pun hilang*. Tidak lagi shalat adalah hilangnya sendi-bangunan Agama. Puncaknya adalah bukan tidak mungkin pindah agama karena ada misi non-Islam yang memberi bantuan.
Betapa bencana di atas bencana bagi umat Islam ketika korban dan relawan bersusah payah, mempertaruhkan nyawa dan tenaga, serta kehilangan harta tapi meninggalkan shalat. _Fikih Kebencanaan_ tidak hanya menuntut kita sebagai “relawan kemanusiaan” menjadi yang *pertama hadir dan terakhir meninggalkannya* tetapi juga sekaligus perannya sebagai teladan dalam “relawan keagamaan”. Tidak hanya untuk bencana alam tapi juga bencana non-alam.
_Fikih Kebencanaan_ juga melarang —tanpa timing yang tepat— bicara bencana datang akibat kemaksiatan dan rusaknya akidah penduduk setempat. Dengan cara berpikir demikian, pihak yang paling kasihan adalah korban bencana karena mereka harus menanggung derita ganda. Mereka kehilangan segalanya, sekaligus juga menjadi sasaran kutukan berbagai kalangan.
Bencana hadir terlihat tabiat dan watak semua pihak, mulai dari pejabat, relawan, korban, dermawan, dan masyarakat yang tidak terdampak, semua teruji keimanan dan agamanya sesuai kapasitas dan menyikapinya.
Dan, terlebih lagi, jika “tidak lagi amanah” dalam tanggap bencana —baik sebelum, saat, dan sesudahnya— bagi pejabat yang berwenang bahkan terkadang bantuan logistik pun diserahkan kepada yang dianggap percaya tidak sampai kepada korban adalah juga tanda hilangnya agama.
Inilah, bersandingnya sabar dan tegaknya shalat saat bencana adalah untuk memastikan kesabarannya bernilai dan tetap amanah dirinya sebagai hamba karena buat dari shalatnya.
Jangan sampai bencana datang agama pun hilang.
Ampuni dosa kami ya Allāh.
رَبَّنَا لَا تَجْعَلْنَا مَعَ ٱلْقَوْمِ ٱلظَّٰلِمِينَ
_”Ya Tuhan kami, janganlah Engkau tempatkan kami bersama-sama orang-orang yang zalim”_(QS 7: 47).
*Referensi: _Tafsir At-Tanwir,_ cet. 2022, Jil. 2, hlm. 24.
*Foto: tampak jamaah Ranting Muhammadiyah Pematang Cengal, Tanjungpura —menegakkan salat berjamaah di posko pengungsian—. Dokumentasi diambil zuhur tanggal 2 Desember dan Isya tanggal 4 Desember

