Menjadi Ketua di Negeri Para Ketua: Sebuah Renungan tentang Marwah Kepemimpinan Muhammadiyah
Oleh: Amrizal, S.Si., M.Pd – Wakil Ketua MPKSDI Sumatera Utara / Dosen Unimed
Ada satu pelajaran besar yang diajarkan Muhammadiyah jauh sebelum kita mengenal istilah manajemen modern atau teori kepemimpinan populer: bahwa memimpin adalah kerja bersama. Kita tumbuh dalam tradisi kolektif kolegial, di mana setiap suara punya makna, setiap peran punya ruang, dan setiap keputusan lahir dari hati yang saling mendengarkan. Di rumah besar ini, seorang ketua tidak berdiri di puncak, melainkan berada di tengah; menyatukan, merangkul, dan menenangkan gelombang.
Tetapi zaman berubah cepat. Dan dalam perubahan itu, kita sering dihadapkan pada kenyataan yang tidak selalu nyaman. Di beberapa wilayah—termasuk Sumatera Utara dan Kota Medan yang sering disebut “Kota Para Ketua”—kita melihat gejala yang membuat hati kita menghela napas panjang. Ada sekretaris yang merasa lebih tinggi dari ketuanya. Ada anggota yang bertindak seolah pemegang komando. Ada wakil yang berjalan sendiri karena merasa paling paham semuanya. Seolah-olah setiap kursi ingin menjadi kursi ketua. Seolah-olah setiap tangan ingin memegang kemudi.
Saat melihat fenomena itu, ada rasa hangat yang tiba-tiba berubah menjadi resah. Karena kita tahu, itulah awal dari goyahnya tatanan organisasi yang selama ini kita bangun dengan doa, musyawarah, dan keikhlasan.
Tentang Menjadi Pemimpin, dan Tentang Menjadi Manusia
Dalam konsep kolektif kolegial, setiap posisi bukan soal tinggi atau rendah. Bukan soal siapa diperintah, siapa memerintah. Tetapi soal siapa menjaga apa. Ketua menjaga arah. Sekretaris menjaga ritme. Wakil menjaga detail. Anggota menjaga fondasi. Semuanya satu tubuh, satu gerak.
Namun, ego manusia sering kali tumbuh lebih cepat daripada kedewasaan jiwa. Ketika seseorang merasa lebih pantas, lebih tahu, atau lebih layak daripada yang lain, maka organisasi berubah menjadi gelanggang kompetisi. Padahal, jika semua ingin menjadi ketua, siapa yang akan menjadi pelaksana? Jika semua ingin didengar, siapa yang rela mendengar?
Kita lalu menyadari bahwa masalah kepemimpinan bukan sekadar persoalan struktur, melainkan persoalan hati.
Pemimpin yang Baik Tidak Selalu Di Depan
Ada kalanya menjadi pemimpin berarti mundur setapak agar orang lain bisa melangkah maju. Ada saatnya seorang ketua memilih diam agar suasana tetap terjaga. Ada waktunya seorang pimpinan menahan diri agar kebersamaan tidak retak. Di situlah keindahan kepemimpinan itu muncul: bukan dalam dominasi, tetapi dalam pengendalian diri.
Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian; kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian.” (HR. Muslim)
Hadis ini bukan sekadar pesan moral. Ia adalah cermin untuk kita bertanya kepada diri sendiri:
Apakah kita sedang memimpin dengan cinta atau dengan gengsi?
Apakah kita mendoakan anggota kita, atau justru mengeluh tentang mereka?
Apakah kita mengayomi, atau kita masih sibuk ingin terlihat sebagai yang paling berpengaruh?
Momentum Besar: Menyambut Muktamar Muhammadiyah ke-49 di Negeri Para Ketua
Di tengah dinamika “negeri para ketua” ini, kita sesungguhnya sedang dipanggil untuk membuktikan kedewasaan kolektif kita. Muktamar Muhammadiyah ke-49 yang akan digelar di tanah para Ketua ini bukan hanya agenda besar organisasi, tetapi juga cermin bagi jiwa-jiwa yang berada di dalamnya. Di sini, setiap ketua diuji bukan pada kemampuan tampil dan memimpin, melainkan pada kemampuan melapangkan hati, merendahkan ego, dan menyatukan langkah. Muktamar ini hanyalah panggung singkat, namun cara kita menyiapkan dan menyambutnya akan dikenang sebagai ukuran seberapa dewasa kita merawat persyarikatan. Kini bukan saatnya mempertahankan garis pembatas posisi atau memperbesarkan perbedaan pendekatan; ini saatnya membuktikan bahwa ketika umat memanggil, kita mampu hadir sebagai satu tubuh yang utuh.
Karena itu, marilah kita membuka ruang seluas-luasnya untuk kebersamaan, memperhalus tutur, dan memperindah niat. Biarlah Muktamar di negeri para ketua ini menjadi momentum di mana setiap hati kembali seirama, setiap langkah kembali sejalan, dan setiap tangan kembali saling menguatkan. Jika kita mampu bekerja bahu membahu, melampaui sekat struktural dan ego personal, maka Muktamar ke-49 bukan hanya akan terlaksana dengan baik, tetapi akan menjadi penanda bahwa Muhammadiyah memiliki pemimpin-pemimpin yang matang jiwanya dan jernih hatinya. Kita ingin dikenang bukan sebagai banyaknya ketua di satu kota, tetapi sebagai barisan pemimpin yang mampu menundukkan diri demi kemenangan ikhtiar bersama. Di momen inilah kita dapat menunjukkan kepada umat bahwa kekuatan Muhammadiyah selalu lahir dari hati yang ditautkan oleh keikhlasan dan cita-cita besar memajukan peradaban.
Di Negeri Para Ketua, Kita Ditantang Menjadi Lebih Bijaksana
Bersahabat dengan banyak orang yang ingin menjadi ketua bukan perkara mudah. Ada dinamika yang rapuh di sana. Ada ego yang saling bersenggolan. Ada ambisi yang beradu di balik senyum. Namun, pemimpin yang matang tidak melihat itu sebagai ancaman, melainkan sebagai kesempatan untuk mendewasakan diri dan barisan.
Ia tahu bahwa tugasnya bukan memperbanyak kekuasaan, tetapi memperbanyak ketenangan. Bukan memperkuat kendali, tetapi memperkuat kesadaran bersama. Ia hadir bukan hanya sebagai pengambil keputusan, tetapi sebagai penjaga suasana.
Karena di Muhammadiyah, kekuatan terbesar bukan pada jumlah pemimpin yang tampil, melainkan pada jumlah hati yang ikhlas bekerja.
Langkah Kecil yang Berbuah Besar
- Mulai dari Kesadaran Ideologis
Pemimpin yang baik tidak lahir dari ambisi jabatan, melainkan dari pemahaman akan amanah. Kajian manhaj kepemimpinan Muhammadiyah harus terus dihidupkan agar nilai-nilai ini tetap terjaga.
- Evaluasi yang Jujur dan Saling Menenangkan
Pertanyaannya bukan “seberapa sering hadir di rapat”, tetapi “apakah tugas diemban dengan amanah dan tanpa melampaui batas?”
- Ciptakan Ruang Saling Mengingatkan
Ketidaksepahaman bukan musuh, jika kita punya budaya tabayyun. Ruang dialog adalah jembatan yang membuat kita melihat saudara kita lebih utuh.
- Ketua Harus Menjadi Nadi Keteladanan
Ketika ketua bersikap adil, tenang, dan merangkul semua pihak, maka organisasi seperti mendapatkan rumah. Dan rumah adalah tempat hati pulang.
Penutup: Kita Semua Bisa Memimpin, tetapi Tidak Semua Harus Menjadi Ketua
Menjadi ketua bukanlah puncak kehormatan. Ia adalah pintu masuk menuju kerja yang lebih berat. Yang membedakan bukan gelarnya, tetapi seberapa luas hatinya. Tidak semua harus menjadi ketua, tetapi semua harus siap dipimpin. Tidak semua memegang jabatan, tetapi semua bisa memikul amanah.
Di negeri para ketua, kita tidak diminta untuk bersaing memimpin, tetapi ditantang untuk bersaing dalam keikhlasan. Kita tidak diminta menjadi yang paling kuat, tetapi diminta untuk saling menguatkan.
Mari kita rawat marwah kolektif kolegial ini. Mari kita jaga rumah besar Muhammadiyah ini dengan hati yang jernih, langkah yang lembut, dan tekad yang selalu terarah pada dakwah yang berkemajuan.
Karena pada akhirnya, kekuatan Muhammadiyah tidak lahir dari banyaknya jabatan, tetapi dari kuatnya kebersamaan.
Wallahu a‘lam bish-shawab.

