Fastabiqul Khairat Tidak Cukup, Saatnya Fastabiqul Islah Kebijakan
Oleh : Jufri
Infak Jum’at Muhammadiyah yang menembus Rp70 miliar untuk korban bencana adalah bukti nyata kekuatan tauhid sosial. Ia menunjukkan bahwa solidaritas warga mampu bergerak lebih cepat, lebih rapi, dan lebih berempati dibanding banyak institusi negara. Namun, di titik inilah nurani Muhammadiyah justru diuji: apakah kita akan terus sibuk di hilir, sementara kerusakan di hulu dibiarkan?
Bencana demi bencana yang melanda negeri ini bukan sekadar “takdir alam”. Ia adalah buah dari kebijakan hutan, pertambangan, dan perkebunan yang rakus, longgar, dan sering kali kompromistis terhadap kepentingan modal. Deforestasi, tambang terbuka, alih fungsi lahan, dan perkebunan monokultur telah merusak daya dukung ekologis. Sungai kehilangan bantaran, hutan kehilangan fungsi, tanah kehilangan daya serap—dan rakyat kehilangan rasa aman.
Di sinilah Muhammadiyah tidak boleh berhenti pada karitas. Fastabiqul khairat harus naik kelas menjadi fastabiqul islah: berlomba-lomba melakukan perbaikan sistemik. Muhammadiyah memiliki legitimasi moral, basis keilmuan, dan jejaring sosial untuk mendesak pemerintah meninjau ulang bahkan membongkar kebijakan kehutanan, pertambangan, dan perkebunan yang zalim secara ekologis dan sosial.
Mendesak bukan berarti memusuhi negara. Justru sebaliknya, ini adalah bentuk amar ma’ruf nahi munkar dalam bernegara. Negara yang sehat membutuhkan koreksi dari kekuatan masyarakat sipil yang berakar pada etika. Muhammadiyah, dengan sejarah panjangnya, tidak pantas hanya menjadi “pemadam kebakaran” yang setia setiap kali api dinyalakan oleh kebijakan keliru.
Sudah saatnya Muhammadiyah menyuarakan secara tegas:
moratorium izin tambang dan perkebunan di kawasan rawan bencana,
audit ekologis dan hukum terhadap korporasi perusak lingkungan,
penegakan hukum yang tidak tunduk pada oligarki,
serta perubahan paradigma pembangunan dari eksploitatif menjadi berkeadilan dan berkelanjutan.
Jika tidak, maka infak yang terus mengalir akan menjadi ironi: umat menambal luka, sementara negara dan korporasi terus melukai.
Muhammadiyah lahir untuk memajukan kehidupan, bukan sekadar mengobati penderitaan. Menolong korban bencana adalah kewajiban mulia. Tetapi mencegah bencana melalui koreksi kebijakan adalah jihad peradaban.
Fastabiqul khairat, iya.
Namun hari ini, fastabiqul islah kebijakan lingkungan adalah keniscayaan.
Silaturahmi Kolaborasi Sinergi Harmoni
*** Penulis, Jufri, Ketua PDM Tebingtinggi tinggal di Tebingtinggi

