Peristiwa Bencana dalam Pandangan Fikih Kebencanaan Muhammadiyah
Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Syakir Jamaluddin, menyampaikan kajian tentang Fikih Kebencanaan dalam pengajian Zuhur di Masjid KH Ahmad Dahlan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Kajian ini berangkat dari keprihatinan atas bencana banjir bandang dan longsor yang melanda sejumlah wilayah Sumatra, termasuk terseretnya batang-batang pohon besar akibat kerusakan hutan.
Syakir membuka ceramah dengan mengajak jamaah mendoakan para korban. Ia menegaskan bahwa mereka yang wafat akibat tenggelam dalam lumpur dan banjir berpeluang mendapat derajat syahid. Sementara para penyintas diharapkan diberi kekuatan lahir batin serta tetap menjaga ibadah. “
Kita menemukan para korban tetap menjaga salat di tengah lumpur dan banjir. Ini yang paling penting,” ujarnya.
Mengutip Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah Jilid 3, Syakir menjelaskan bahwa memaknai bencana tidak boleh hanya dengan satu sisi sebagai “kemarahan Allah”. Meskipun sejumlah ayat dan hadis dapat dikutip untuk itu, Muhammadiyah menekankan pendekatan takziah yang menghibur dan memberi harapan.
“Tidak semua musibah merupakan hukuman. Bisa jadi itu bentuk kasih sayang Allah, cara Allah mengampuni dosa hamba-Nya dan mengangkat derajat keimanan,” jelasnya.
Syakir menerangkan bahwa seluruh peristiwa yang menimpa manusia hakikatnya adalah ujian, sebagaimana termaktub dalam QS Al-Baqarah 155. Ujian dapat berbentuk kebaikan maupun keburukan, termasuk kehilangan harta, kelaparan, atau wafatnya anggota keluarga. Hal utama bagi seorang muslim adalah melakukan muhasabah, kembali meningkatkan iman dan ibadah, serta mempersiapkan diri menghadapi kematian yang pasti datang.
Syakir menyebut tarjih Muhammadiyah membagi bencana menjadi dua kategori: bencana alam murni dan bencana non-alam akibat ulah manusia. Ia menyoroti kerusakan hutan yang memperparah bencana—seperti penggundulan hutan, alih fungsi lahan, serta penggunaan tanaman industri yang tidak mampu menggantikan fungsi ekologis pohon hutan.
Ia mengutip QS Ar-Rum 41 tentang kerusakan di darat dan laut akibat tangan manusia. Syakir menilai riset para ilmuwan, aturan pemerintah, dan literatur tentang lingkungan telah jelas memperingatkan bahaya pembalakan, tetapi ketaatan pada aturan menjadi persoalan.
“Banjir di masa lalu ada, tetapi tidak sedahsyat sekarang karena hutan masih berdiri. Hari ini dampaknya berlipat-lipat akibat ulah manusia,” tegasnya.
Ia juga mengkritik tata kelola perizinan hutan yang menurutnya selama bertahun-tahun melibatkan tiga pihak: penguasa pemberi izin, pengusaha pemilik konsesi, dan pihak lokal yang melindungi aktivitas ilegal.
Dalam ceramahnya, Syakir juga menyinggung pentingnya kepedulian sosial. Ia menyampaikan laporan bahwa Lazismu UMY telah menghimpun dana sekitar Rp120 juta untuk disalurkan kepada para penyintas dan mahasiswa Muhammadiyah dari daerah terdampak.
Komunitas “Kopi Ngaji” yang ia bina turut menggalang donasi sebesar Rp14 juta, dan akan melanjutkan pengumpulan pada pekan berikutnya. “Ngaji Muhammadiyah tidak hanya mengaji, tetapi harus melahirkan amal,” katanya.
Terkait aktor yang harus bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan, Syakir menjelaskan bahwa Al-Qur’an memberikan pedoman tegas. Ia merujuk QS Al-Maidah 33–34 tentang hukuman bagi pihak yang membuat kerusakan di bumi. Menurutnya, penguasa, pengusaha, dan pihak lokal yang terlibat pembalakan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai undang-undang, termasuk ganti rugi dan reboisasi.
Namun, ia menegaskan bahwa pintu tobat tetap terbuka. “Ada peluang bagi mereka untuk memperbaiki kesalahan, mengganti kerugian, dan memulihkan hutan. Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.”
Mengakhiri kajian, Syakir mengajak jamaah untuk meningkatkan iman, menjaga kelestarian alam, dan memperkuat empati kepada para korban bencana. Ia berharap pemahaman fikih kebencanaan dapat mendorong sikap yang lebih bijak, solutif, dan bertanggung jawab. (muhammadiyah.or.id)

