Sedekah Bukan Hanya Harta, Tapi Juga Perbuatan Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Royan Utsani, menyampaikan pengajian bertema makna luas sedekah dan keteladanan sahabat Abu Dzar al-Ghifari di Masjid KH Sudja, Kamis (04/12).
Dalam kajiannya, ia mengupas hadis riwayat Imam Muslim yang mengisahkan kegelisahan para sahabat yang merasa “kalah pahala” dari orang-orang kaya.
Royan membuka materi dengan membacakan hadis dari sahabat Abu Dzar al-Ghifari, ketika sejumlah sahabat menyampaikan kegundahan kepada Rasulullah: “Orang-orang kaya telah pergi membawa pahala yang banyak. Mereka salat sebagaimana kami salat, mereka puasa sebagaimana kami puasa, dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka.”
Menurut Royan, keresahan para sahabat adalah keresahan yang logis—bukan iri dengki terhadap harta, tetapi keinginan kuat untuk memperbanyak amal akhirat.
Royan menjelaskan bahwa Nabi memperluas makna sedekah—tidak terbatas pada harta. Zikir seperti tasbih, takbir, tahmid, dan tahlil, semuanya termasuk sedekah. Bahkan, tindakan kebaikan seperti amar makruf nahi mungkar serta hubungan suami istri yang halal juga dihitung sebagai sedekah.
“Sedekah itu pintunya banyak sekali. Kebaikan sekecil apa pun, selama dilakukan dengan ikhlas, dihitung sebagai sedekah,” tegasnya.
Royan menekankan bahwa sedekah yang paling utama adalah sedekah yang diberikan kepada pihak yang benar-benar membutuhkan, termasuk korban bencana dan kelompok rentan.
Ia menyinggung fenomena bencana yang melanda sejumlah wilayah di Sumatra dan beberapa negara tetangga. Menurutnya, sebagian bencana memang murni ujian, tetapi sebagian lain dipicu oleh ulah manusia terhadap alam.
“Di saat-saat seperti ini, sedekah pada korban bencana adalah sedekah yang paling afdal,” ujarnya.
Royan kemudian memaparkan biografi singkat Abu Dzar al-Ghifari, sahabat yang dikenal zuhud, sederhana, dan tegas dalam membela kebenaran. Ia berasal dari kabilah Ghifar yang dahulu dikenal sebagai kelompok perampok, namun Abu Dzar termasuk yang pertama memeluk Islam dengan kesadaran penuh.
“Beliau zuhud bukan karena pencitraan, tetapi keteguhan hati. Ia tidak rakus pada dunia, berani menyuarakan keadilan meski berisiko kehilangan kenyamanan dunia,” jelas Royan.
Abu Dzar terkenal kritis terhadap penumpukan harta dan kekuasaan. Baginya, harta hanya bernilai jika digunakan untuk kebaikan.
Royan juga membacakan nasihat Nabi kepada Abu Dzar: “Perbaharuilah kapalmu, karena lautan itu dalam. Ambillah bekal yang cukup karena perjalanan itu jauh. Ringankan beban bawaan karena lereng sulit dilalui. Berikhlaslah dalam beramal, karena Allah Maha Teliti.”
Ia menjelaskan bahwa kehidupan akhirat adalah perjalanan yang jauh dan memerlukan bekal amal saleh, sementara kehidupan dunia sangat singkat.
“Orang sering menghabiskan tenaga untuk urusan dunia yang sebentar, tetapi lupa akhirat yang jauh lebih panjang,” ujarnya.
Di akhir pengajian, Royan mengutip hadis lain yang diriwayatkan Abu Hurairah tentang cabang-cabang iman yang jumlahnya lebih dari 60 atau 70. Yang paling utama adalah mengucapkan lailahaillallah, sementara yang paling ringan adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.
“Ucapan sangat menentukan. Orang masuk Islam karena ucapan, dan bisa keluar dari Islam juga karena ucapan,” terang Royan.
Ia menutup dengan penekanan bahwa kebaikan dalam bentuk apa pun—zikir, amar makruf nahi mungkar, maupun tindakan kecil seperti menyingkirkan paku atau pecahan kaca di jalan—semuanya bagian dari sedekah dan cabang iman. (muhammadiyah.or.id)

