Whose knowledge is taught, and why? Murray Print dan Tantangan Pendidikan Agama di Indonesia
Oleh : I’anatut Thoifah
Pendidikan tinggi tengah bergerak cepat mengikuti dinamika masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan. Permasalahan kurikulum pendidikan agama di Indonesia terletak pada jarak yang masih lebar antara konsep ideal yang tertulis dalam dokumen kurikulum dan pengalaman nyata mahasiswa di ruang kuliah. Selama ini, pendidikan agama lebih banyak disampaikan sebagai kumpulan ajaran dan aturan, bukan sebagai ruang dialog yang menumbuhkan kedewasaan moral. Akibatnya, kurikulum belum sepenuhnya mampu menjawab tantangan zaman, mulai dari derasnya arus digitalisasi, meningkatnya polarisasi sosial, hingga melemahnya etika publik yang sebenarnya menuntut pendekatan keagamaan untuk lebih kontekstual, dan humanis.
Pendidikan agama dalam arah Pendidikan nasional, menempati ruang yang tidak pernah benar-benar sepi. Ia menjadi fondasi moral, sekaligus ruang kontestasi nilai yang terus berubah mengikuti dinamika sosial dan budaya. Ketika Murray Print bertanya, “Whose knowledge is taught, and why?”, ia sedang mengajak dunia pendidikan untuk menengok Kembali, siapa yang sesungguhnya menentukan isi pelajaran? Mengapa pengetahuan tertentu dianggap penting? Pertanyaan ini menjadi sangat bermakna ketika diterapkan pada pendidikan agama di Indonesia, di mana pilihan nilai dan ajaran yang diajarkan memiliki konsekuensi sosial yang besar.
Ketika pertanyaan Murray Print dibawa ke ranah pendidikan agama di Indonesia, maka konteksnya sangat kompleks. Indonesia menempatkan agama sebagai bagian penting dari pembentukan karakter bangsa, itulah sebabnya pendidikan agama hadir secara sistematis mulai dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Harapannya menjadi menjadi sumber nilai, pedoman etika, dan kekuatan moral bagi generasi muda.
Namun dalam praktiknya, pengembangan kurikulum pendidikan agama kerap berada di antara dua persimpangan yang sulit dipertemukan. Ada kalanya kurikulum dirumuskan dengan konsep yang sangat abstrak sehingga sulit menjawab persoalan kehidupan modern yang dihadapi mahasiswa. Di sisi lain, institusi diberi ruang kebebasan yang luas untuk mengembangkan kurikulum, tetapi tanpa kerangka nilai yang disepakati bersama dari jenjang ke jenjang. Akibatnya, kesinambungan pembelajaran agama tidak selalu terjaga, dan mahasiswa sering kali tidak memperoleh pengalaman belajar yang terarah dan utuh dari fase Pendidikan Dasar hingga Pendidikan Tinggi.
Inilah titik relevansi pemikiran Print. Ia memberikan kerangka untuk melihat bahwa pendidikan agama tidak boleh berjalan berdasarkan selera institusi atau preferensi personal para pengajar. Pendidikan agama membutuhkan kesepahaman nilai nasional, nilai moral, etika, dan civic responsibility yang disepakati sejak pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Tanpa fondasi nilai yang konsisten, pendidikan agama bisa menjadi fragmentaris, Dimana setiap sekolah mengembangkan narasinya sendiri, setiap kampus mengajarkan orientasi yang berbeda, dan setiap jenjang pendidikan berjalan tanpa keterhubungan makna. Akhirnya, pertanyaan Print mengajak kita kembali pada inti pendidikan agama, apakah yang kita ajarkan benar-benar mencerminkan kebutuhan mahasiswa hari ini? dan untuk siapa masa depan itu disiapkan?
*** Penulis, I’anatut Thoifah: Dosen Universitas Muhammadiyah Malang dan Mahasiswa S3 Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Surabaya

