Home / Pendidikan / Guru Menyalakan Harapan, Refleksi Kritis terhadap Peran Guru dalam Pendidikan Nasional Indonesia

Guru Menyalakan Harapan, Refleksi Kritis terhadap Peran Guru dalam Pendidikan Nasional Indonesia

Guru Menyalakan Harapan,  Refleksi Kritis terhadap Peran Guru dalam Pendidikan Nasional Indonesia

Oleh : Partonan Harahap, ST.,MT

Hari Guru Nasional selalu diperingati dengan rangkaian penghormatan dan ucapan terima kasih yang melimpah. Namun, bagi sebagian besar guru di Indonesia, peringatan ini bukan sekadar seremoni tahunan yang bersifat ritualistik. Ia berfungsi sebagai ruang refleksi mendalam tentang kondisi pendidikan nasional, sebuah wajah yang masih dipenuhi oleh tantangan struktural, ketidakadilan sosial, dan keterbatasan sumber daya, namun tetap bercahaya berkat keteguhan para guru yang terus menyalakan harapan di tengah kegelapan sistemik.

Guru Indonesia telah menunjukkan bahwa inti pendidikan bukan terletak pada tumpukan regulasi birokrasi atau kebijakan formal yang sering kali tidak konsisten, melainkan pada dimensi humanistik, yaitu hati dan ketulusan. Mereka hadir setiap pagi di ruang kelas dengan dedikasi yang tak tergoyahkan, meskipun gaji tidak sebanding dengan beban kerja yang berat, fasilitas pendidikan minim, dan perlindungan hukum sering kali absen atau tidak efektif. Dalam konteks ini, guru menyalakan harapan bukan sebagai respons terhadap kondisi ideal, melainkan sebagai bentuk resiliensi di tengah negara yang belum sepenuhnya hadir untuk memuliakan profesi ini secara bermakna. Opini ini ditulis sebagai penghormatan akademik bagi guru-guru tersebut—para penjaga masa depan bangsa yang tetap menjadi cahaya ketika banyak faktor eksternal mencoba memadamkannya.

Dalam perspektif sosiologis, peran guru dalam masyarakat Indonesia dapat dianalisis melalui lensa teori fungsionalisme, di mana guru berfungsi sebagai agen sosialisasi yang mentransmisikan nilai-nilai budaya dan pengetahuan. Namun, realitas empiris menunjukkan bahwa fungsi ini sering kali terganggu oleh ketidaksetaraan struktural. Data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada tahun 2023, misalnya, mencatat bahwa lebih dari 1,2 juta guru honorer masih menghadapi ketidakpastian status, sementara rasio guru terhadap siswa di daerah terpencil mencapai 1:50, jauh di atas standar UNESCO yang merekomendasikan 1:25. Kondisi ini tidak hanya mempengaruhi kualitas pembelajaran, tetapi juga menimbulkan pertanyaan etis tentang komitmen negara terhadap pembangunan sumber daya manusia.

Opini ini bertujuan untuk mengintegrasikan analisis kritis dengan penghormatan inspiratif, menekankan bahwa harapan bangsa tetap menyala berkat kontribusi guru yang tak tergantikan. Melalui pendekatan reflektif, artikel ini mengundang pembaca untuk mempertimbangkan ulang peran guru dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik Indonesia saat ini.

  1. Realitas Sunyi: Ketika Guru Harus Kuat Meski Terluka

Di tengah arus perubahan sosial dan teknologi yang deras, peran guru semakin kompleks dan multidimensi. Mereka bukan hanya bertugas sebagai pengajar materi akademik, tetapi juga berfungsi sebagai penasihat psikologis, penengah konflik keluarga, pembimbing karakter moral, dan bahkan sebagai satu-satunya figur otoritas yang peduli terhadap masa depan seorang anak. Kompleksitas ini, sebagaimana dijelaskan dalam teori peran sosial oleh Talcott Parsons, menempatkan guru sebagai “aktor sentral” dalam sistem pendidikan. Namun, beratnya tugas ini sering kali tidak sebanding dengan dukungan sistemik yang mereka terima, baik dari segi finansial, fasilitas, maupun perlindungan hukum.

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia diwarnai oleh berbagai kasus yang membuat banyak guru merasa terpukul secara emosional dan psikologis. Guru yang menegur murid atas pelanggaran disiplin dilaporkan secara hukum ke aparat penegak hukum, sering kali berdasarkan interpretasi subjektif dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) No. 20 Tahun 2003 yang menekankan perlindungan hak anak. Guru yang memberi hukuman mendidik, seperti membersihkan kelas atau menulis kalimat motivasi, dianggap sebagai bentuk intoleransi atau kekerasan fisik, meskipun hukuman tersebut bertujuan edukatif. Guru yang menjaga kedisiplinan disalahpahami oleh orang tua sebagai tindakan otoriter, sementara guru yang jujur mengungkap kondisi sekolah—seperti kekurangan buku atau infrastruktur—malah ditegur oleh atasan karena dianggap “mengganggu citra” institusi.

Ketegasan mereka sering kali dibaca sebagai kekerasan, sedangkan dedikasi mereka jarang dihargai secara proporsional. Mereka berdiri di tengah badai kritik publik, di mana kesalahan sekecil apa pun dibesar-besarkan melalui media sosial, namun ketika mereka memberikan pengorbanan lebih—menghabiskan waktu di luar jam kerja, tenaga untuk mentoring, dan bahkan sumber daya pribadi—pengakuan yang layak jarang hadir. Ini bukan sekadar narasi tragis individual, melainkan realitas struktural yang selama bertahun-tahun menuntut untuk diakui dalam diskursus pendidikan nasional. Dari perspektif kritis, fenomena ini mencerminkan “kekuasaan hegemonik” masyarakat yang lebih memihak konsumerisme anak daripada otoritas pendidik, sebagaimana dikemukakan oleh Paulo Freire dalam “Pedagogi Orang-orang Tertindas.”

Di balik program-program pemerintah yang tampak ideal, seperti Merdeka Belajar atau Kurikulum Merdeka, masih banyak guru honorer yang bekerja dengan gaji yang tidak layak. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2022, sekitar 40% tenaga pendidik di Indonesia adalah honorer, dengan gaji rata-rata di bawah UMR daerah. Mereka mengajar dengan semangat setara dengan guru pegawai negeri sipil (PNS), menyusun materi pembelajaran, membimbing murid dalam kegiatan ekstrakurikuler, dan menghadapi tantangan psikologis yang sama. Namun, status mereka tetap tak pasti. Puluhan tahun mengabdi tidak otomatis memberi jaminan kepastian kerja; biaya hidup naik drastis akibat inflasi, peluang seleksi aparatur sipil negara (ASN) terbatas oleh kuota, dan prosedur seleksi sering kali tidak memihak mereka yang telah lama mengajar di lapangan.

Meskipun demikian, guru honorer tetap datang ke kelas. Tetap tersenyum. Tetap mengajar seolah-olah semua baik-baik saja. Mereka bertahan bukan karena imbalan finansial, melainkan karena pengabdian adalah bahasa intrinsik yang mereka pahami sejak awal. Ini mencerminkan konsep “calling” atau panggilan hidup dalam psikologi kerja, di mana profesi guru dilihat sebagai misi altruistik, bukan sekadar pekerjaan. Namun, ketidakpastian ini menimbulkan burnout, dengan survei dari Asosiasi Guru Indonesia (AGI) menunjukkan bahwa 60% guru honorer mengalami stres kronis akibat ketidakstabilan.

Selain itu, banyak guru menjadi “korban birokrasi”-lebih banyak menghabiskan energi untuk laporan administrasi daripada untuk kreativitas mengajar. Aplikasi daring seperti Sistem Informasi Manajemen Pendidikan (SIMPKB), perangkat pembelajaran yang bertumpuk sesuai Permendikbud No. 22 Tahun 2016, dan tuntutan administratif lainnya membuat waktu mereka tersandera. Akibatnya, murid sering mendapatkan guru yang lelah secara fisik dan mental, bukan guru yang segar dan inspiratif. Padahal, guru adalah manusia dengan batas kapasitas. Namun, yang membuat profesi ini tetap mulia adalah keberanian mereka untuk terus belajar, beradaptasi, dan bertahan, meski banyak hal seharusnya membuat mereka menyerah.

Dalam konteks ini, guru menyalakan harapan bukan karena keadaan mempermudah mereka, melainkan justru ketika keadaan membuat mereka semakin kuat. Ini dapat dianalisis melalui teori resiliensi psikologis, di mana individu mampu bangkit dari adversitas. Misalnya, di daerah terpencil seperti Papua atau Nusa Tenggara Timur, guru sering kali menghadapi isolasi geografis, namun mereka tetap berkomitmen untuk mendidik generasi muda. Fenomena ini menunjukkan bahwa harapan bangsa tidak bergantung pada infrastruktur sempurna, melainkan pada semangat manusia yang tak tergoyahkan.

  1. Cahaya yang Tetap Terang, Guru sebagai Penjaga Masa Depan Bangsa

Meskipun negara belum sepenuhnya hadir dalam mendukung pendidikan secara holistik, meskipun kebijakan sering berubah tanpa persiapan matang dan evaluasi mendalam, guru tetap menjadi cahaya yang menerangi jalan pendidikan. Mereka hadir dengan ketulusan sebagai penjaga peradaban, menjaga agar nilai-nilai kemanusiaan tidak tergerus oleh arus modernisasi.

Bagi banyak guru, profesi ini bukan sekadar pekerjaan pragmatis, melainkan panggilan hidup yang mendalam. Mereka bisa memilih pekerjaan lain yang lebih nyaman secara finansial dan lebih menguntungkan, seperti di sektor korporasi atau swasta, tetapi hati mereka kembali pada tugas yang satu ini: melihat anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang baik, bermartabat, dan berkontribusi bagi masyarakat. Ini sejalan dengan teori motivasi intrinsik oleh Deci dan Ryan, di mana kepuasan datang dari nilai-nilai internal, bukan eksternal.

Cahaya itu tampak dalam tindakan sehari-hari yang sederhana namun bermakna. Ketika guru menunggu murid yang terlambat untuk mendengar ceritanya, bukan menghakiminya secara impulsif. Cahaya itu tampak ketika guru meminjamkan uang sekadar untuk memastikan muridnya bisa makan sebelum belajar, menunjukkan empati yang melampaui tugas formal. Cahaya itu tampak ketika guru berjalan menembus hujan, melewati jalan berlumpur menuju sekolah terpencil, hanya karena di sana ada anak-anak yang membutuhkan ilmu sebagai alat pembebasan. Indonesia masih memiliki harapan karena masih banyak guru yang menolak padam, meski tantangan seperti kemiskinan atau akses terbatas menghadang.

Di era digital, anak-anak dibanjiri informasi tanpa batas melalui media sosial dan internet. Namun, tidak semua informasi memberi arah moral yang benar; banyak yang justru menimbulkan disorientasi etis. Di sinilah guru hadir sebagai kompas nilai, mengajarkan prinsip-prinsip seperti jujur, hormat, tanggung jawab, empati, dan keberanian—nilai-nilai yang tidak bisa digantikan oleh teknologi. Dalam konteks ini, guru berperan sebagai agen moral, sebagaimana dikemukakan oleh John Dewey dalam filsafat pendidikan progresif, di mana pendidikan bukan hanya transfer pengetahuan, melainkan pembentukan karakter.

Meski kurikulum berubah berkali-kali dari KTSP ke K-13, lalu ke Merdeka Belajar-standar berganti, dan kebijakan sering tidak konsisten, guru tetap bergerak maju. Mereka berinovasi, menyesuaikan diri, dan memastikan pembelajaran berjalan meski dengan alat seadanya. Mereka tidak menunggu negara sempurna; mereka terus menyalakan harapan meski dalam kegelapan kebijakan yang tidak terkoordinasi. Ini mencerminkan kapasitas adaptasi guru sebagai “agen perubahan,” mampu mentransformasi keterbatasan menjadi peluang pembelajaran.

Setiap orang dewasa hari ini pasti punya satu nama guru yang mengubah hidup mereka secara fundamental. Guru yang melihat potensi ketika orang lain melihat kekurangan. Guru yang percaya ketika dunia meragukan. Guru yang mengulurkan tangan ketika kita tersesat dalam kompleksitas kehidupan. Itulah keajaiban profesi ini: guru menyalakan harapan hari ini, dan dampaknya terasa bertahun-tahun kemudian, membentuk generasi yang lebih baik. Dalam analisis longitudinal, dampak guru dapat dilihat dari studi seperti PISA (Programme for International Student Assessment), di mana negara dengan guru berkualitas tinggi menunjukkan skor yang lebih baik, meskipun Indonesia masih perlu perbaikan. Dengan demikian, guru sebagai penjaga masa depan bangsa menunjukkan bahwa pendidikan sejati adalah tentang transformasi manusia, bukan sekadar akumulasi pengetahuan. Mereka menyalakan harapan dengan ketekunan, menjadikan profesi ini sebagai pilar ketahanan nasional.

Penutup: Harapan Tetap Menyala Karena Guru Tidak Pernah Padam

Negara mungkin belum sempurna hadir dalam mendukung pendidikan. Kesejahteraan masih timpang, dengan disparitas gaji antara PNS dan honorer yang mencapai 300% di beberapa daerah. Perlindungan hukum belum memadai, beban birokrasi masih menjerat, dan akses fasilitas di daerah terpencil masih minim. Namun, guru tetap menyalakan harapan. Tetap datang ke kelas. Tetap menuntun anak-anak bangsa dengan cahaya yang mereka miliki, meski dunia sering kali gelap.

Hari Guru Nasional seharusnya tidak hanya menjadi momen retoris untuk memberi ucapan penghormatan, tetapi momen reflektif untuk menegur diri sebagai bangsa. Sudahkah kita memuliakan guru secara nyata? Sudahkah kebijakan berpihak pada mereka, bukan hanya pada indikator statistik? Sudahkah masyarakat menjadi pelindung, bukan penghakim yang cepat mengkritik? Sudahkah kita memberi guru ruang untuk bernapas dan berkembang, baik secara profesional maupun personal?

Guru telah melakukan tugas mereka—bahkan lebih dari seharusnya, dengan pengorbanan yang sering kali tak terlihat. Kini, giliran negara, masyarakat, dan seluruh pemangku kepentingan untuk hadir lebih bermakna, melalui reformasi kebijakan yang inklusif dan dukungan yang berkelanjutan.

Karena selama guru terus menyalakan harapan, masa depan bangsa ini tidak akan pernah gelap. Mereka adalah cahaya yang tak tergantikan, membuktikan bahwa pendidikan adalah investasi terbesar untuk kemanusiaan. Selamat Hari Guru. Untuk semua guru yang tetap menjadi cahaya di tengah segala ketidaksempurnaan zaman. Semoga harapan yang mereka nyalakan terus menerangi jalan menuju Indonesia yang lebih baik.

*** Penulis adalah : Dosen Fakultas Teknik UMSU, Ketua Assosiasi Alumni Teknologi Teladan Medan,  Sekretaris LPCR-PM PWM Sumut, Wakil Ketua Lembaga Pelatihan Kerja Teknik Indonesia (LPKTI)

 

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *