Hormati dan Laksanakan Putusan MK, Polri Aktif Dilarang Duduki Jabatan Sipil
Farid Wajdi, Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020 menegaskan terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi perkara No. 114/PUU-XXIII/2025 mengenai larangan anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil harus dibaca sebagai koreksi konstitusional terhadap praktik yang selama ini dibiarkan mengaburkan batas fungsi lembaga negara. ” Putusan tersebut menegaskan penempatan polisi aktif di jabatan sipil hanya dapat dilakukan setelah yang bersangkutan mengundurkan diri atau pensiun. Amar ini tidak lahir dari ruang hampa; ia merupakan penegasan supremasi konstitusi tidak boleh ditawar dan lembaga negara harus bekerja dalam batas fungsional yang jelas,” tegas Farid.
Seruan untuk menghormati putusan MK selalu muncul setelah setiap putusan besar, namun konteks kali ini berbeda. Banyak jabatan sipil selama bertahun-tahun ditempati oleh anggota Polri aktif melalui mekanisme penugasan, membuka jalan pintas karier yang tidak tersedia bagi ASN maupun warga negara lain yang harus menempuh jalur seleksi panjang. Putusan MK hadir untuk menutup celah ini, sekaligus menegakkan prinsip meritokrasi yang menjadi landasan reformasi birokrasi. Menghormati putusan berarti mengakui praktik tersebut tidak sejalan dengan prinsip negara hukum.
Namun penghormatan tidak cukup tanpa pelaksanaan. Menjalankan putusan MK berarti mendesain langkah konkret: menarik anggota Polri aktif yang masih menduduki jabatan sipil, menata ulang regulasi teknis, serta menyelaraskan sistem kepegawaian agar tidak terjadi lagi tumpang tindih status. Pelaksanaan membutuhkan ketegasan; bila sebagian pihak mencoba menunda atau menafsirkan secara longgar, maka putusan itu akan kehilangan daya keberlakuannya dan supremasi konstitusi berubah hanya menjadi formalitas belaka.
Jelas Farid Wajdi, argumentasi MK berakar pada gagasan klasik lembaga bersenjata negara harus dipisahkan dari ranah sipil untuk memastikan objektivitas dan akuntabilitas. Polisi memiliki kewenangan koersif—penangkapan, penyidikan, hingga penggunaan kekuatan—yang menuntut kontrol ketat dalam struktur yang terpisah dari birokrasi eksekutif. Ketika batas itu kabur, risiko konflik kepentingan muncul: apakah seorang pejabat bertindak sebagai birokrat atau sebagai aparat penegak hukum? Putusan MK memulihkan garis pembeda tersebut agar tidak terjadi percampuran peran yang berpotensi merusak legitimasi kelembagaan.
Selain itu, keberlangsungan jabatan sipil oleh anggota Polri aktif menimbulkan masalah akuntabilitas. Birokrat terikat pada mekanisme pengawasan administrasi dan etika ASN, sementara polisi berada di bawah sistem disiplin institusional tersendiri. Dua rezim akuntabilitas yang berdiri berdampingan dalam satu individu berpotensi menciptakan ruang abu-abu pengawasan. Putusan MK meluruskan kembali rantai komando agar setiap pejabat publik hanya tunduk pada satu kerangka akuntabilitas.
Refleksi yang lebih luas menunjukkan negara tetap dapat memanfaatkan keahlian teknis anggota Polri tanpa harus melanggengkan rangkap status. Keamanan siber, terorisme, dan penegakan hukum ekonomi memerlukan kapasitas yang sering kali dimiliki oleh perwira Polri. Namun kontribusi itu seharusnya diberikan dalam status pensiun atau setelah proses alih profesi yang sah. Model ini dipraktikkan banyak negara demokratis: keahlian kepolisian tetap digunakan, tetapi dalam batas struktural yang menjaga independensi dan profesionalisme.
Akhirnya, putusan ini merupakan momen penting untuk menegaskan kembali wajah negara hukum Indonesia. Menghormati dan melaksanakan putusan MK berarti menjaga kemurnian struktur kekuasaan, memastikan birokrasi berjalan dalam koridor meritokrasi, dan menegakkan prinsip tidak ada lembaga yang berada di atas konstitusi. Jika seluruh pihak melaksanakan putusan dengan sungguh-sungguh, maka keputusan ini akan menjadi tonggak perbaikan tata kelola, bukan sekadar putusan yudisial yang cepat terlupakan. (***)






