Home / Opini / Nadi Gerakan Muhammadiyah

Nadi Gerakan Muhammadiyah

Nadi Gerakan Muhammadiyah

Oleh: Partaonan Harahap, ST,.MT

Penulis, adalah Sekretaris LPCR-PM Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara , Dosen Fakultas Teknik UMSU dan Ketua Asosiasi Alumni Teknologi Teladan Medan (AATT)

Dalam tubuh manusia, nadi adalah tanda kehidupan. Ia berdetak secara teratur, menjadi pertanda bahwa tubuh masih hidup, darah masih mengalir, dan energi masih bergerak. Begitu pula dengan gerakan Muhammadiyah. Organisasi Islam ini memiliki nadinya sendiri, sebuah denyut kehidupan yang membuat gerakan dakwah tetap bersemangat, terarah, dan berkemajuan. Nadi itu mengalir melalui cabang, ranting, dan masjid ketiga elemen yang menjadi jantung sekaligus urat nadi Persyarikatan yang hidup di tengah umat.

Cabang, ranting, dan masjid bukan sekadar bagian dari struktur administratif Muhammadiyah. Mereka adalah simpul-simpul kehidupan yang menyalurkan ruh dakwah ke seluruh pelosok negeri. Di situlah Islam berkemajuan dijalankan, bukan hanya diajarkan. Cabang dan ranting menjadi tangan dan kaki Persyarikatan, sedangkan masjid menjadi jantung spiritual yang memompa energi dakwah ke seluruh sendi kehidupan umat. Ketiganya adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan saling menguatkan, menopang, dan menghidupkan.

Cabang dan ranting merupakan ujung tombak gerakan. Mereka hadir di tengah masyarakat, menjadi pelayan umat dalam segala aspek kehidupan: pendidikan, sosial, ekonomi, kesehatan, dan spiritual. Ketika Pimpinan Pusat menetapkan kebijakan strategis, cabang dan rantinglah yang menerjemahkannya ke dalam kerja nyata di lapangan. Tanpa mereka, gagasan besar hanya akan berhenti sebagai wacana. Melalui cabang dan ranting, dakwah Muhammadiyah hadir di surau-surau kecil, di ruang belajar anak-anak desa, di rumah-rumah sederhana, dan di tengah denyut kehidupan masyarakat akar rumput. Di situlah nadi gerakan berdetak paling kuat.

Namun, kekuatan cabang dan ranting tidak akan berarti banyak tanpa adanya masjid yang hidup. Masjid adalah jantung spiritual yang menyalurkan darah ke seluruh tubuh gerakan. Ia bukan hanya tempat sujud, melainkan juga pusat pembelajaran, penguatan umat, dan penanaman ideologi Islam berkemajuan. Dalam sejarah Muhammadiyah, masjid selalu menjadi titik awal peradaban. Dari masjid lahir gagasan pembaruan, dari masjid tumbuh solidaritas sosial, dan dari masjid pula muncul semangat berkhidmat untuk kemanusiaan.

Masjid yang hidup akan melahirkan ranting yang dinamis. Sebaliknya, ranting yang aktif akan membuat masjid makmur dan penuh kegiatan. Hubungan keduanya bersifat timbal balik: masjid memberikan ruh spiritual, sedangkan cabang dan ranting memberikan tenaga struktural dan organisatoris. Karena itu, memakmurkan masjid tidak bisa dipisahkan dari upaya menghebatkan cabang dan ranting. Inilah hakikat tema besar yang diusung Lembaga Pengembangan Cabang Ranting dan Pembinaan Masjid (LPCRPM) Muhammadiyah tahun 2025: “Memakmurkan Masjid, Menghebatkan Cabang Ranting.”

Tema ini bukan sekadar slogan, melainkan sebuah panggilan untuk menyatukan spirit dan struktur gerakan. Masjid harus menjadi pusat kehidupan umat yang sesungguhnya, tempat segala aktivitas keislaman, pendidikan, dan sosial bermula. Sementara itu, cabang dan ranting harus berperan sebagai penggerak yang memastikan energi masjid menyebar ke seluruh lini kehidupan masyarakat. Ketika keduanya bersinergi, maka dakwah Muhammadiyah akan lebih kokoh, membumi, dan berdaya guna.

Sayangnya, di beberapa tempat, nadi gerakan itu kadang terasa melemah. Ada masjid yang megah tetapi sepi kegiatan, ada ranting yang tercatat aktif namun tidak bergerak di lapangan. Ada pula cabang yang sibuk dengan administrasi, tapi kehilangan ruh pengabdian. Inilah tantangan besar yang harus disadari bersama. Muhammadiyah tidak boleh kehilangan denyut kehidupannya. Ia harus kembali ke sumber tenaganya: masjid yang makmur dan cabang-ranting yang hidup. Hanya dengan cara itu gerakan ini dapat bertahan dan beradaptasi dengan zaman.

Zaman kini menghadirkan tantangan baru yang jauh lebih kompleks dibanding masa-masa awal berdirinya Muhammadiyah. Perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi mengharuskan setiap bagian dari Persyarikatan menyesuaikan diri tanpa kehilangan jati diri. Dakwah kini tidak lagi terbatas pada mimbar dan majelis taklim, tetapi juga harus hadir di ruang digital, media sosial, dan dunia maya yang menjadi bagian dari kehidupan umat modern. Oleh karena itu, masjid dan ranting tidak hanya perlu makmur secara fisik, tetapi juga harus hidup secara digital. Platform dakwah online, kelas virtual, dan kegiatan sosial berbasis teknologi dapat menjadi jembatan baru bagi kader Muhammadiyah untuk menjangkau masyarakat yang semakin luas.

Dalam konteks ini, peran LPCRPM Muhammadiyah menjadi semakin penting. Lembaga ini tidak hanya mengurusi aspek struktural organisasi, tetapi juga bertugas menumbuhkan kembali semangat dan energi dakwah yang bersumber dari masjid. Melalui kegiatan seperti Cabang, Ranting, dan Masjid Award, Muhammadiyah berusaha memberikan penghargaan dan penguatan moral kepada para penggerak di akar rumput yang sering kali bekerja dalam senyap, tetapi sesungguhnya menjadi denyut kehidupan organisasi. Penghargaan ini bukan sekadar seremoni, melainkan momentum untuk menyatukan visi dan menyegarkan kembali semangat dakwah di seluruh lapisan Persyarikatan.

Kekuatan nadi gerakan Muhammadiyah terletak pada keikhlasan kader-kadernya. Mereka tidak menunggu diperintah untuk bergerak, tetapi bergerak karena sadar bahwa dakwah adalah kewajiban dan pengabdian. Di desa-desa terpencil, di daerah rawan konflik, di kawasan perkotaan yang padat, selalu ada ranting Muhammadiyah yang hidup dan bekerja dengan semangat tulus. Mereka mengajar anak-anak tanpa pamrih, menolong fakir miskin tanpa berharap imbalan, dan menjaga masjid tetap hidup meski dengan fasilitas sederhana. Inilah wajah sejati Muhammadiyah gerakan dakwah yang membumi, berorientasi pada amal, dan berakar kuat di tengah masyarakat.

Gerakan ini tidak pernah bergantung pada tokoh atau kekuasaan. Ia bertahan karena struktur yang hidup dan kader yang berjiwa ikhlas. Cabang dan ranting menjadi ruang pengkaderan yang paling efektif karena di sanalah nilai-nilai dasar Muhammadiyah dipraktikkan: keikhlasan, kemandirian, keilmuan, dan kerja sosial. Ketika seorang kader mampu memakmurkan masjid, menggerakkan pengajian, dan menghidupkan amal usaha di lingkungannya, maka sesungguhnya ia sedang menjaga denyut nadi gerakan tetap berdetak.

Dalam kerangka ini, kaderisasi menjadi kunci utama. Tanpa regenerasi, nadi gerakan akan melemah. Generasi muda Muhammadiyah harus diajak kembali ke masjid, bukan sekadar sebagai jamaah, tetapi sebagai pengelola, inovator, dan pemimpin masa depan. Masjid dapat dijadikan laboratorium kepemimpinan tempat anak muda belajar mengelola program, berkomunikasi dengan masyarakat, dan membangun jejaring sosial. Di tangan generasi muda yang kreatif, masjid bisa menjadi ruang produktif yang memadukan dakwah dengan pemberdayaan ekonomi, teknologi, dan pendidikan.

Kehidupan masjid yang ideal dalam pandangan Muhammadiyah bukanlah masjid yang hanya ramai di waktu shalat, tetapi masjid yang menjadi pusat segala aktivitas umat. Di sana ada ruang belajar, perpustakaan, koperasi umat, lembaga pelatihan, bahkan inkubator wirausaha. Masjid menjadi tempat masyarakat menemukan solusi, bukan sekadar tempat berdoa. Dengan menjadikan masjid sebagai pusat kehidupan, Muhammadiyah telah meneguhkan posisinya sebagai gerakan Islam yang tidak hanya berpikir tentang akhirat, tetapi juga membangun peradaban dunia.

Namun, upaya memakmurkan masjid dan menghebatkan cabang-ranting tidak akan berhasil tanpa sinergi. Ketiganya harus berjalan dalam satu arah, satu semangat, dan satu cita-cita. Masjid memberi ruh, cabang memberi arah, ranting memberi tenaga. Jika salah satunya melemah, maka nadi gerakan pun terganggu. Karena itu, koordinasi, konsolidasi, dan komunikasi menjadi hal penting dalam menjaga keberlangsungan denyut gerakan ini. Muhammadiyah harus memastikan bahwa setiap masjid terhubung dengan struktur cabang dan ranting, dan setiap cabang-ranting memiliki basis masjid yang aktif sebagai pusat gerakannya.

Di era perubahan sosial yang cepat, sinergi ini dapat diperkuat melalui digitalisasi sistem data dan manajemen. LPCRPM dapat mengembangkan basis data nasional yang memetakan seluruh masjid, cabang, dan ranting di Indonesia. Data tersebut tidak hanya mencatat keberadaan, tetapi juga memantau aktivitas, potensi, dan tantangan di setiap lokasi. Dengan cara ini, kebijakan pengembangan dapat disusun secara lebih akurat dan berbasis kebutuhan nyata di lapangan.

Selain aspek struktural, aspek spiritual juga tidak boleh diabaikan. Gerakan Muhammadiyah akan kehilangan maknanya jika tidak berlandaskan tauhid yang murni dan nilai keislaman yang kuat. Masjid harus menjadi tempat penguatan akidah dan pembentukan karakter, bukan sekadar ruang seremonial. Kegiatan pengajian, kajian tafsir, dan pendidikan kader harus dikembalikan ke masjid sebagai titik pusatnya. Dari sanalah akan lahir kader-kader yang cerdas, berakhlak, dan berjiwa melayani umat.

Jika masjid adalah jantung, maka cabang dan ranting adalah pembuluh darah yang menyalurkan kehidupan itu ke seluruh tubuh umat. Dalam konteks inilah, setiap kegiatan Muhammadiyah, sekecil apa pun, menjadi bagian dari aliran darah yang menghidupkan tubuh gerakan. Pengajian ibu-ibu di kampung, bimbingan belajar anak-anak, koperasi syariah di ranting, hingga bakti sosial di cabang semuanya adalah denyut-denyut kecil yang menjaga nadi gerakan tetap hidup dan berirama.

Gerakan Muhammadiyah memiliki karakter unik yang membedakannya dari organisasi lain. Ia tidak hanya berbicara tentang dakwah dan pendidikan, tetapi juga tentang kemajuan dan kemanusiaan. Prinsip Islam berkemajuan yang diusungnya mendorong setiap kader untuk berpikir rasional, berilmu, dan berkontribusi bagi kesejahteraan umat. Masjid menjadi laboratorium moral, sementara cabang dan ranting menjadi ruang implementasi nilai. Ketika keduanya menyatu, lahirlah gerakan yang tidak hanya menegakkan ibadah, tetapi juga memperjuangkan keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat.

Kini, tantangan terbesar Muhammadiyah bukan lagi sekadar memperbanyak jumlah amal usaha, tetapi memastikan bahwa semua amal usaha dan struktur organisasi tetap berdenyut dalam satu ruh dakwah. Amal usaha yang besar harus tetap berakar di masjid, dan setiap masjid harus menjadi bagian dari jaringan sosial yang terhubung dengan cabang dan ranting. Jika semua itu berjalan serempak, maka nadi gerakan Muhammadiyah akan terus mengalir deras dan memberi kehidupan bagi umat, bangsa, dan dunia.

Pada akhirnya, yang membuat Muhammadiyah bertahan lebih dari seabad bukanlah kekuasaan, harta, atau jumlah anggota, melainkan semangat ikhlas dan konsistensi kadernya dalam menjaga nadi gerakan tetap berdetak. Selama masih ada masjid yang makmur, cabang yang hidup, ranting yang aktif, dan kader yang ikhlas berjuang, maka denyut itu tidak akan pernah berhenti. Ia akan terus berirama, membawa pesan Islam yang mencerahkan ke setiap penjuru kehidupan.

Nadi gerakan Muhammadiyah bukan sekadar metafora, melainkan kenyataan hidup yang bisa dirasakan di setiap sudut negeri. Dari masjid kecil di pedalaman hingga pusat kota yang ramai, dari pengajian sederhana hingga kegiatan sosial berskala besar, semua adalah bagian dari aliran darah dakwah yang tak pernah kering. Selama Muhammadiyah terus menjaga keseimbangan antara ruh dan struktur, antara ibadah dan pengabdian, maka nadi itu akan tetap berdetak mengalirkan kehidupan, pencerahan, dan kemajuan bagi umat manusia.

*** Penulis, Penulis, adalah Sekretaris LPCR-PM Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara , Dosen Fakultas Teknik UMSU dan Ketua Asosiasi Alumni Teknologi Teladan Medan (AATT)

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *