Menjemput Fajar Baru Kaderisasi Muhammadiyah
Catatan dari Rakornas MPKSDI PP Muhammadiyah 2025 di UMS Surakarta
(Tulisan ke-27 dari Beberapa Tulisan Terkait Kaderisasi Muhammadiyah)
Oleh: Amrizal, S.Si., M.Pd. – Wakil Ketua MPKSDI PWM Sumatera Utara / Dosen Unimed
Langit Surakarta tampak cerah pagi itu. Di halaman Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), ratusan peserta berdatangan dari berbagai penjuru negeri—bahkan dari luar negeri. Wajah-wajah penuh semangat dan sapaan akrab “Assalamu’alaikum, saudaraku!” memenuhi udara di penghujung Oktober 2025. Hangat, bersahaja, dan sarat makna persaudaraan.
Di kampus yang menjadi simbol kemajuan amal usaha Muhammadiyah ini, Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani (MPKSDI) Pimpinan Pusat Muhammadiyah menggelar Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) selama tiga hari, 24–26 Oktober 2025. Bertempat di Auditorium Muhammad Djasman, kegiatan ini bukan sekadar agenda administratif, melainkan momentum bersejarah untuk menata kembali arah kaderisasi Muhammadiyah dalam menjawab tantangan zaman.
Mengusung tema “Muhammadiyah 2050: Profil Kader Islam Berkemajuan di Era Society 5.0”, Rakornas ini bagaikan panggilan dari masa depan. Tema itu menggugah kesadaran bersama bahwa kader Muhammadiyah tidak cukup hanya memahami ideologi, tetapi juga harus unggul secara kompetensi, berdaya secara sosial, dan siap bersaing di kancah global.
Hangatnya Persaudaraan, Seriusnya Perbincangan
Sejak hari pertama, suasana Rakornas terasa hidup dan penuh energi. Aula megah tempat berlangsungnya kegiatan bergema oleh lantunan ayat suci Al-Qur’an dan lagu “Sang Surya”. Setelah pembukaan resmi oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si., atmosfer berubah menjadi lebih dinamis dan reflektif.
Dalam sambutannya, Prof. Haedar melihat Muhammadiyah dari 4 sudut Pandang. Pertama; Nilai yang baik, kedua; Pemikiran yang baik, ketiga; ssstem yang baik, dan keempat; Aktor/Manusia yang baik. Hal ini menegaskan bahwa masa depan Muhammadiyah sangat ditentukan oleh kualitas kadernya.
“Kita bersyukur kader Muhammadiyah tumbuh di berbagai lini kehidupan, namun kualitas sumber daya insani harus terus ditingkatkan. Kaderisasi tidak boleh berhenti di tahap seremoni, melainkan menjadi gerakan pembinaan yang berkelanjutan,” ujarnya penuh semangat.
Sebagai salah satu peserta Rakornas yang hadir sejak awal hingga akhir, saya merasakan betapa hangat dan dinamisnya suasana di setiap sudut kegiatan. Di sela istirahat, para peserta saling bertukar kisah: dari Aceh hingga Papua, dari Sumatera hingga Nusa Tenggara, bahkan dari diaspora Muhammadiyah di Eropa. Semua datang membawa semangat yang sama—menghidupkan kembali ruh kaderisasi sebagai jantung gerakan.
Namun kehangatan itu tidak menghilangkan ketegangan yang sehat. Di ruang-ruang sidang komisi, diskusi berlangsung intens. Gagasan dan argumen berseliweran, tetapi tetap dibalut ukhuwah yang menyejukkan. Seorang peserta dari Sulawesi berujar sambil tersenyum,
“Perdebatan di Muhammadiyah itu indah, karena ujungnya bukan siapa yang menang, tapi bagaimana kita saling menguatkan.”
Tiga Komisi: Menyusun Masa Depan Kaderisasi Muhammadiyah
Rakornas kali ini dibagi ke dalam tiga komisi utama, masing-masing mengemban peran strategis untuk merumuskan arah baru kaderisasi Muhammadiyah.
Komisi 1 – Reformasi Sistem Perkaderan Muhammadiyah
Sebagai anggota Komisi 1, saya turut terlibat langsung dalam perumusan Reformasi Sistem Perkaderan Muhammadiyah. Komisi ini menjadi ruang paling konseptual, membahas bagaimana sistem kaderisasi perlu disusun ulang agar adaptif terhadap perkembangan zaman, namun tetap berpegang teguh pada nilai ideologis persyarikatan.
Sekretaris MPKSDI PP Muhammadiyah, Dr. Azaki Khoiruddin, S.Pd.I., M.Pd, (selaku Pimpinan Sidang dan Penyusun Draft Buku Reformasi Sistem Perkaderan Muhammadiyah) menekankan bahwa sistem kaderisasi tidak boleh bersifat linear dan konvensional. “Kita harus punya desain yang menjangkau seluruh lapisan—dari kampus, amal usaha, hingga diaspora,” ujarnya.
Salah satu isu krusial yang disepakati komisi ini adalah bahwa pelaksanaan kaderisasi tidak boleh dilakukan secara online. Kaderisasi harus berlangsung secara langsung (tatap muka), karena di situlah proses pembentukan karakter, spiritualitas, dan kepribadian kader benar-benar terbentuk. Namun demikian, sistem digital dapat digunakan sebagai sarana pendukung pra dan pascakaderisasi—seperti pengelolaan data, pemantauan RTL (Rencana Tindak Lanjut), dan pelaporan kegiatan kaderisasi di seluruh wilayah.
Selain itu, Komisi 1 juga menggagas pentingnya digitalisasi data kader dan integrasi sistem pembinaan melalui Learning Management System (LMS) Muhammadiyah. Tujuannya bukan mengganti ruh kaderisasi dengan teknologi, melainkan memperkuat dan memperluas jangkauan pembinaan.
Semangat reformasi yang lahir dari komisi ini begitu kuat: membangun sistem kaderisasi yang melahirkan kader ideologis sekaligus profesional, kader yang tangguh memimpin umat, bangsa, dan dunia.
Komisi 2 – Coaching Korps Instruktur: Menguatkan Jantung Pembinaan
Jika sistem kaderisasi diibaratkan rangka tubuh, maka instruktur adalah jantungnya. Komisi kedua menyoroti pentingnya coaching dan penguatan kapasitas para instruktur di semua level.
Gagasan besar yang muncul adalah pembentukan Korps Instruktur Muhammadiyah diseluruh tingkatan, sebuah wadah untuk mengonsolidasikan para pelatih agar lebih terarah, solid, dan terus berkembang. Pelatihan bagi instruktur tidak hanya menekankan pada ideologi, tetapi juga memperluas keterampilan dalam manajemen, komunikasi, kepemimpinan, dan adaptasi digital.
Seorang peserta dari Kalimantan menyampaikan dengan lantang,
“Instruktur itu bukan sekadar pengisi forum, tetapi penggerak perubahan.”
Suasana diskusi di komisi ini penuh tawa dan semangat, namun juga serius ketika membicarakan tanggung jawab. Dari wajah-wajah yang hadir, tampak jelas kesadaran bahwa mereka sedang membicarakan masa depan gerakan dakwah berkemajuan.
Komisi 3 – Revitalisasi Sekolah Kader: Merancang Rumah Kepemimpinan
Sidang pleno Komisi Tiga dibuka oleh pimpinan sidang dengan sebuah pantun yang mencairkan suasana forum. Pantun itu berbunyi:
“Ikan hiu pakai kopiah, I love you Aisyiyah.”
Sontak seluruh peserta tertawa bahagia mendengarnya. Pimpinan sidang kemudian mengajak para ibu dari Aisyiyah untuk membalas pantun tersebut, namun tak seorang pun menanggapi. Ia pun kembali berpantun:
“Ikan hiu pakai sepatu, I love you tu.”
Tawa pun kembali pecah di ruangan itu. Suasana sidang menjadi hidup dan hangat. Kantuk yang sempat menyelimuti peserta seketika hilang, berganti dengan semangat, keceriaan, dan senyum yang mengembang di setiap wajah.
Bagi saya, pantun sederhana itu sesungguhnya sarat makna. Ia mengandung pesan simbolik bahwa sekolah kader pertama sesungguhnya adalah seorang ibu, dan bagi Muhammadiyah, peran itu diwujudkan melalui sosok mulia Ibunda Aisyiyah.
Komisi ketiga menarik perhatian banyak peserta. Gagasannya sederhana tetapi fundamental:
kaderisasi harus menjadi sistem pendidikan berjenjang dan berkelanjutan. Dari sinilah lahir gagasan pendirian Sekolah Kader Muhammadiyah, sebuah lembaga yang memadukan pembelajaran ideologi, kepemimpinan, dan kompetensi profesional dalam satu kurikulum utuh.
Sekolah ini diharapkan menjadi ruang tumbuhnya calon pemimpin Muhammadiyah masa depan—yang bukan hanya memahami nilai, tetapi juga mampu menggerakkan masyarakat dan membangun jejaring dakwah global.
Diskusi pun berkembang ke arah pentingnya database kader yang terintegrasi secara nasional, agar pembinaan dapat terukur, terdokumentasi, dan berkelanjutan. “Kita punya banyak kader hebat, tapi belum semuanya terdata dan terarah dengan sistem,” ujar perwakilan PWM Jawa Tengah. “Sekolah kader akan menjadi jembatan antara ideologi dan kompetensi.”
Antara Tantangan dan Harapan
Tiga hari Rakornas terasa begitu singkat, namun meninggalkan jejak yang dalam. Di akhir acara, suasana haru menyelimuti. Para peserta saling bersalaman dan berpelukan, bertukar kontak, dan berjanji akan menindaklanjuti hasil sidang komisi di wilayah masing-masing.
Rakornas ini tidak hanya menghasilkan rumusan teknis, tetapi juga menyalakan kembali api kesadaran bahwa kaderisasi bukan sekadar program, melainkan perjalanan spiritual dan intelektual untuk menumbuhkan manusia berkemajuan.
Era Society 5.0 menuntut kader Muhammadiyah yang tangguh menghadapi disrupsi teknologi, perubahan sosial, dan krisis moral. Namun semangat yang terpancar dari Surakarta menunjukkan bahwa Muhammadiyah siap menyongsong masa depan itu dengan keyakinan dan optimisme.
Dalam penutupan, Ketua PP Muhammadiyah Dr. Agung Danarto berpesan:
“Kader Muhammadiyah harus menjadi insan yang militan, berkarakter kuat, dan berpikir jauh ke depan. Kaderisasi bukan hanya menjaga ideologi, tetapi juga membangun peradaban.”
Refleksi: Kembali ke Ruh Gerakan
Rakornas MPKSDI 2025 sejatinya bukan hanya membahas sistem, pelatihan, atau sekolah kader. Ia adalah panggilan untuk kembali kepada ruh gerakan Muhammadiyah—mencetak manusia yang beriman, berilmu, dan beramal saleh.
Kaderisasi sejati bukan soal jumlah kader, melainkan bagaimana membentuk pribadi yang berpikir, berbuat, dan berdakwah dengan nilai-nilai Islam berkemajuan. Dari Surakarta, dari ruang-ruang sidang yang hangat itu, mengalir optimisme baru bahwa masa depan gerakan ini akan terus berdenyut dengan semangat pembaruan.
Seorang peserta muda dari IMM berbisik kepada saya sebelum pulang,
“Rakornas ini seperti menyalakan kembali api di dada. Menjadi kader Muhammadiyah bukan sekadar ikut organisasi, tapi memilih jalan hidup.”
Setia di Jalan Ini
Hari terakhir Rakornas, matahari bersinar terang di langit Surakarta. Sinar jingganya memantul di wajah-wajah lelah namun bahagia. Tak ada yang benar-benar ingin pulang, karena di dada mereka telah tumbuh tekad baru: bahwa kaderisasi Muhammadiyah adalah bagian dari membangun peradaban. Dengan langkah mantap, para peserta kembali ke daerah masing-masing membawa semangat yang sama: Setia di jalan ini. Menjadi kader yang berpikir, bergerak, dan beramal untuk Islam berkemajuan.
Wallahu a’lam bish shawab






