Menyalakan Bara Kesadaran Kader Muhammadiyah
(Tulisan ke-26 dari Beberapa Tulisan Terkait Kaderisasi)
Catatan Reflektif Menjelang Rakornas MPKSDI Muhammadiyah 2025
Oleh: Amrizal, S.Si., M.Pd – Wakil Ketua MPKSDI PWM Sumatera Utara/Dosen Unimed
“Kader bukan sekadar pewaris amal, tetapi penjaga nilai.”
— Refleksi Kaderisasi Muhammadiyah
Ketika Kaderisasi Tak Lagi Sekadar Seremonial
Setiap gerakan besar akan bertahan lama karena memiliki sistem kaderisasi yang hidup. Begitu pula Muhammadiyah. Ia berdiri tegak bukan hanya karena amal usahanya yang luas dan mapan, tetapi karena adanya manusia-manusia yang sadar akan misi dakwahnya.
Namun, di tengah derasnya modernitas dan derasnya gelombang digitalisasi, muncul pertanyaan yang perlu dijawab bersama: apakah bara kesadaran kader itu masih menyala?
Pertanyaan sederhana ini sebenarnya menyentuh akar persoalan kita hari ini. Menjelang Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani (MPKSDI) Muhammadiyah, pertanyaan itu perlu diangkat kembali. Rakornas bukan sekadar forum laporan kerja tahunan, tetapi seharusnya menjadi muhasabah nasional — saat untuk menimbang kembali arah, nilai, dan kualitas kaderisasi Muhammadiyah di seluruh pelosok negeri.
Krisis Kesadaran: Kaderisasi yang Kehilangan Ruh
Di banyak daerah, kaderisasi kini tampak sibuk pada hal-hal administratif: sertifikat, laporan, dokumentasi kegiatan. Namun substansi sejatinya — pembentukan ideologi dan kesadaran dakwah — justru sering terpinggirkan.
Fenomenanya nyata di lapangan. Ada kader yang bekerja di Amal Usaha Muhammadiyah (AUM), tapi tidak aktif di cabang atau ranting. Ada pula yang tak bekerja di AUM, namun militansinya luar biasa. Sebagian bahkan aktif hanya saat menjabat struktural, lalu hilang begitu masa jabatan usai. Semua ini menunjukkan bahwa menjadi warga Muhammadiyah tidak otomatis karena pekerjaan, garis keturunan, atau lingkungan. Kesadaran ber-Muhammadiyah lahir dari proses ideologis yang mendalam — proses yang membentuk cara pandang, semangat, dan akhlak dakwah.
Jika kesadaran ini pudar, maka yang tersisa bukanlah mujahid Muhammadiyah, tetapi sekadar pegawai Muhammadiyah — mereka yang bekerja di bawah logonya, namun tak hidup dalam nilai-nilainya.
Sosiolog agama seperti Robert Bellah pernah menulis bahwa gerakan keagamaan yang bertahan lama bukanlah yang paling besar, tetapi yang paling memiliki “kesadaran moral kolektif.” Itulah yang membuat gerakan hidup lebih dari sekadar struktur.
Antara Idealisme dan Realitas
Muhammadiyah dikenal memiliki sistem kaderisasi yang cukup mapan: Baitul Arqam, Darul Arqam, dan berbagai pelatihan ideologi seperti Ideopolitor, Pelatihan Penggerak Persyarikatan, dll di tingkat Daerah, wilayah maupun pusat. Tetapi tantangan zaman kini jauh berbeda.
Pertama, kaderisasi ideologis belum sepenuhnya menjadi fondasi struktural. Masih ada pimpinan yang belum melalui jalur kaderisasi formal, sehingga keputusan organisasi kadang kehilangan ruh ideologisnya.
Kedua, belum adanya peta kader nasional. Hingga kini kita belum memiliki basis data yang memetakan asal, latar, dan persebaran kader Muhammadiyah. Padahal, data semacam ini penting untuk menentukan arah pembinaan dan penguatan kader secara tepat sasaran.
Ketiga, Amal Usaha Muhammadiyah belum sepenuhnya menjadi ladang kaderisasi. Banyak AUM yang sibuk dengan akreditasi, sertifikasi, dan administrasi, tetapi lupa bahwa ruh utamanya adalah dakwah dan pembentukan karakter Islami. Padahal seperti diingatkan Buya Syafii Maarif, “Amal usaha Muhammadiyah tidak boleh kehilangan rohnya; ia harus tetap menjadi alat perjuangan, bukan tujuan itu sendiri.”
Keempat, putusnya mata rantai antar-generasi. Kader yang aktif di IPM, IMM, atau Pemuda Muhammadiyah sering tidak terhubung dengan pembinaan kader dewasa. Akibatnya, proses regenerasi ideologis tidak berjalan secara utuh dan berkelanjutan.
Arah Pembaruan: Membangun Sistem Kaderisasi yang Hidup
Rakornas MPKSDI kali ini semestinya menjadi momentum pembaruan paradigma kaderisasi. Ada beberapa langkah yang bisa menjadi pijakan:
Pertama, membangun database nasional kader Muhammadiyah. Sudah saatnya kaderisasi memiliki sistem digital yang mencatat riwayat pelatihan, keaktifan, dan ideologi kader di seluruh Indonesia. Dengan data yang kuat, pembinaan akan lebih terukur dan personal.
Kedua, mengukur indeks kesadaran bermuhammadiyah. Perlu riset nasional tentang motivasi seseorang bergabung dengan Muhammadiyah: apakah karena pekerjaan, keluarga, pernikahan, atau kesadaran ideologi. Dengan memahami pola ini, kita bisa merancang strategi pembinaan yang lebih efektif.
Ketiga, merevitalisasi Baitul Arqam. Program ini harus kembali menjadi jantung pembentukan ideologi. Modulnya perlu diperbarui agar relevan dengan konteks zaman — memasukkan isu digital ethics, ekologi dakwah, dan tantangan moral generasi muda.
Keempat, digitalisasi kaderisasi. Generasi Z hidup di ruang digital. Maka dakwah dan kaderisasi pun harus hadir di sana. Modul ideologi dan sejarah Muhammadiyah bisa dikembangkan dalam format Learning Management System (LMS) nasional yang mudah diakses dari Sabang sampai Merauke.
Kelima, menjadikan AUM sebagai pusat kaderisasi. Setiap sekolah, universitas, rumah sakit, hingga panti asuhan Muhammadiyah seharusnya menjadi “madrasah nilai.” Guru, dosen, dan pegawai AUM perlu mendapatkan orientasi ideologi Muhammadiyah secara berkala.
Keenam, meneguhkan keteladanan kepemimpinan. Kaderisasi sejati hanya akan hidup bila pemimpinnya menjadi contoh. Pemimpin yang sederhana, jujur, dan berkomitmen pada dakwah akan melahirkan kader yang kuat secara ruhani dan akhlak.
Menyalakan Bara, Menjaga Arus
Kaderisasi bukan sekadar pelatihan atau rutinitas kegiatan. Ia adalah proses panjang menyalakan api kesadaran — api yang tak boleh padam oleh derasnya arus zaman. Bara itu kecil, tetapi jika dijaga, bisa menyalakan obor peradaban.
Muhammadiyah tidak akan diukur dari banyaknya gedung sekolah atau rumah sakit, tetapi dari seberapa dalam kesadaran kadernya terhadap nilai-nilai perjuangan. Sebagaimana ditegaskan Haedar Nashir, kekuatan Muhammadiyah ada pada “kesadaran ideologis yang melahirkan gerak praksis.” Tanpa kesadaran itu, amal usaha sebesar apa pun hanyalah bangunan tanpa jiwa.
Dari Rakornas Menuju Gerakan Kesadaran
Rakornas MPKSDI bukan sekadar ajang laporan dan evaluasi program, melainkan momen untuk meneguhkan arah gerakan. Saatnya kita menata ulang sistem kaderisasi, menyatukan langkah, dan memperkuat ruh ideologis agar setiap kader yang lahir bukan hanya cakap secara administratif, tetapi juga kokoh secara spiritual dan intelektual.
Karena pada akhirnya, kader sejati bukanlah mereka yang hanya hadir dalam struktur, tetapi yang hidup di dalam nilai-nilai Muhammadiyah.
“Menjadi Muhammadiyah bukan karena bekerja di bawah logonya, tetapi karena hidup dalam ideologinya.”
Wallahu a‘lam bish-shawab
