• Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
Infomu
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
No Result
View All Result
Infomu
No Result
View All Result
Mengapa Nabi Terakhir harus dari Arab?

Mengapa Nabi Terakhir harus dari Arab?

Syaiful Hadi by Syaiful Hadi
23 September 2025
in Literasi
0

Mengapa Nabi Terakhir harus dari Arab?

Untuk memahami mengapa Nabi terakhir lahir di Arab, kita harus membayangkan kembali panggung sejarah abad ke-6 M. Jazirah Arab bukanlah tanah subur penuh kerajaan megah, melainkan padang pasir luas yang nyaris gersang. Air hanya ditemukan di oasis atau sumur-sumur kecil. Kehidupan bergantung pada kafilah dagang yang menembus gurun. Di malam hari, langit penuh bintang menjadi peta jalan para pengembara.

Secara geografis, Arab terletak di antara dua raksasa peradaban, yakni Romawi Timur (Bizantium) di barat dan Persia (Sassaniyah) di timur. Dua kekaisaran ini memiliki birokrasi yang rumit, tentara yang kuat, dan tradisi intelektual yang panjang. Namun justru di tanah yang kosong dari istana megah dan perpustakaan besar inilah agama terakhir lahir.

Mengapa bisa terjadi demikian? Menurut Yasir Qadhi, salah satu alasannya adalah karena Arab memiliki keunggulan yang jarang kita sadari, yaitu kebebasan dari dominasi asing. Tidak ada penjajah yang menanamkan institusi atau ideologi permanen. Kosongnya struktur politik itu justru memberi ruang bagi agama baru untuk tumbuh tanpa harus bertabrakan dengan kekuasaan mapan.

Bayangkan sejenak jika Islam lahir di Bizantium. Sebuah risalah monoteisme baru akan segera dicap bid‘ah. Kaisar dan gereja memiliki hubungan erat; kekuasaan politik justru bergantung pada legitimasi agama resmi. Ajaran baru yang menantang tatanan itu hampir pasti akan dikejar, diadili, bahkan dimusnahkan. Sejarah Kekristenan awal memberi contoh nyata bahwa kelompok-kelompok yang dianggap menyimpang dari doktrin resmi sering diburu hingga punah.

Sekarang bayangkan jika Islam muncul di Persia. Kekaisaran Sassaniyah berdiri di atas fondasi Zoroastrianisme. Birokrasi negara, ritual kenegaraan, hingga hak istimewa kelas bangsawan semuanya bertumpu pada agama itu. Ajaran baru yang tidak mengakui dominasi Zoroastrianisme akan dipandang sebagai ancaman langsung terhadap struktur politik. Bukan hanya ditolak, kemungkinan besar ia akan ditumpas sebelum sempat bernapas.

Dengan kata lain, justru “kehampaan politik” di Arab seperti ketiadaan kerajaan mapan, birokrasi kokoh, dan institusi agama resmi inilah yang justru memberi Islam ruang lahir dan bertumbuh. Gurun yang sepi istana itulah yang menjadi panggung awal bagi risalah universal.

Orang Arab sendiri adalah masyarakat sederhana. Mereka hidup keras di gurun yang memaksa setiap individu untuk tahan banting, baik fisik maupun mental. Mereka menjunjung tinggi keberanian, kesetiaan, dan kehormatan. Satu lagi kelebihan penting yaitu daya ingat. Di dunia tanpa buku, kebanyakan syair, silsilah, dan cerita diwariskan lewat hafalan. Keterampilan ini kelak menjadi kunci dalam menjaga keaslian Al-Qur’an.

Namun kita juga harus lebih rendah hati. Tradisi menghafal, keberanian, atau kejujuran bukanlah milik Arab semata. Bangsa-bangsa lain pun memilikinya. Menurut Thomas A. Hale, suku-suku Afrika Barat, misalnya, memiliki para griot yang berfungsi sebagai arsip hidup. Mereka menyimpan sejarah, silsilah, dan pengetahuan kolektif melalui ingatan yang diwariskan lintas generasi.

Pun demikian dengan di India kuno yang memiliki tradisi memori yang baik. Menurut Rajendra Nath Sharma, para brahmana menjaga Weda dengan cara yang hampir mustahil bagi kita bayangkan hari ini. Mereka melatih lidah dan telinga agar mampu mengulang ribuan bait tanpa satu pun meleset, selama berabad-abad dari generasi ke generasi.

Semua ini menunjukkan satu hal bahwa tradisi hafalan kolektif bukanlah sesuatu yang unik bagi Arab. Di Afrika Barat ada para griot dan di India ada para brahmana. Karenanya, hampir di setiap peradaban besar ada sekelompok manusia yang ditugasi menjadi “hard disk” masyarakatnya.

Tetapi tidak semua tempat mendapatkan restu teologis. Kehendak Tuhan tidak bisa dipisahkan dari perjalanan sejarah. Arab dipilih bukan semata-mata karena kemampuan manusianya, melainkan juga karena panggung sejarah dan kehendak ilahi bertemu di satu titik.

Dan di titik inilah dimensi spiritual dan restu teologis muncul. Ka‘bah di Makkah diyakini sebagai rumah ibadah pertama yang dibangun untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Nabi Ibrahim pernah berdoa agar di antara keturunannya lahir seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Tuhan, mengajarkan kitab dan hikmah, serta menyucikan manusia (QS Al-Baqarah: 129).

Doa itu bergema melewati berabad-abad sejarah, dari gurun tandus hingga kota-kota besar, hingga akhirnya menemukan wujudnya dalam sosok seorang anak yatim dari Makkah. Muhammad sebagai keturunan Ismail menjadi jawaban doa itu. Nabi sendiri mengaku bahwa dirinya adalah jawaban doa Ibrahim, dan kabar gembira yang disampaikan Isa.

Namun penting digarisbawahi bahwa paparan ini tidak berarti bangsa Arab lebih unggul dibanding bangsa lain. Islam tidak mengenal rasisme. Dalam Islam, semua manusia setara; yang membedakan hanyalah iman dan takwa. Islam tidak datang hanya untuk komunitas Arab, melainkan untuk seluruh umat manusia.

Jika nabi-nabi sebelumnya terbatas pada bangsa tertentu, itu barangkali karena keterbatasan zaman, bisa jadi karena transportasi sulit, komunikasi lambat, dunia masih terfragmentasi. Tetapi pada abad ke-7, dunia mulai terkoneksi lewat jalur perdagangan yang menghubungkan tiga benua. Saat itulah sebuah risalah global mungkin untuk pertama kalinya benar-benar diaktifkan.

Al-Qur’an menegaskan bahwa Muhammad bukan sekadar rasul bagi Arab: “Dan tiadalah Kami mengutus engkau, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS Al-Anbiya: 107). Dalam ayat lain ditegaskan: “Katakanlah: Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk kalian semua” (QS Al-A‘raf: 158). Dengan kata lain, posisi Muhammad bukan nabi lokal, tetapi nabi universal.

Sejarah Islam juga membuktikan bahwa sejak awal, non-Arab memainkan peran besar. Salman al-Farisi (orang Persia), Bilal (dari Afrika), dan Shuhaib (dari Romawi) adalah sahabat Nabi yang sangat penting. Setelah Nabi wafat, banyak ulama besar Islam justru bukan Arab, dari Bukhari di Asia Tengah, al-Ghazali di Persia, hingga Ibnu Rusyd di Andalusia. Bahkan kekuatan politik Islam kemudian dipimpin oleh dinasti non-Arab, seperti Turki Usmani.

Hari ini, Arab hanyalah minoritas dalam dunia Islam. Mereka hanya sekitar 20 persen dari umat Muslim global. Mayoritas Muslim justru hidup di luar Arab seperti di Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Afrika. Fakta ini mempertegas satu hal bahwa Islam memang lahir di Arab, tetapi bukan agama orang Arab. Islam adalah agama umat manusia.

Bayangkan ritual haji di Makkah. Setiap tahun, jutaan orang dari lebih 180 negara berkumpul di satu titik yang sama. Dari Jakarta, Lagos, Islamabad, hingga New York dan London, manusia datang dengan pakaian putih sederhana, tanpa identitas kebangsaan. Mereka mengelilingi Ka‘bah yang sama, membaca doa yang sama, dalam bahasa yang sama.

Dalam prosesi haji itu, tidak ada raja atau rakyat jelata, tidak ada Arab atau non-Arab. Yang membedakan hanyalah kesadaran bahwa semua sedang berdiri di hadapan Tuhan yang satu. Ritual ini adalah bukti paling konkret bahwa Islam adalah agama universal yang memang lahir di Arab, tetapi hidup di seluruh dunia.

Sejarah kadang memilih panggung yang mengejutkan. Alih-alih di Bizantium yang mewah atau Persia yang canggih, agama terakhir justru lahir di gurun gersang. Tetapi gurun itu memberi sesuatu yang tak dimiliki kekaisaran mana pun yaitu ruang kosong untuk menanam benih peradaban baru. (muhammadiyah.or.id)

Bagikan ini:

  • Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
  • Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
  • Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
  • Klik untuk mengirimkan email tautan ke teman(Membuka di jendela yang baru) Surat elektronik
  • Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
  • Klik untuk mencetak(Membuka di jendela yang baru) Cetak
Tags: arabnabi
Previous Post

Memuhammadiyahkan Orang Muhammadiyah

Next Post

Muhammadiyah dan Dakwah Berbasis Bukti, Kritik Konstruktif atas Model Pelayanan Umat Modern

Next Post
Sumatera Utara di Simpul Strategis: Mampukah Muhammadiyah Wujudkan 60% Cabang Aktif

Muhammadiyah dan Dakwah Berbasis Bukti, Kritik Konstruktif atas Model Pelayanan Umat Modern

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • Beranda
  • Kabar
  • Literasi
  • Kolom
  • Kesehatan
  • Muktamar
  • Pendidikan
  • Redaksi
Call us: +1 234 JEG THEME

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.