MBG, Makan Bergizi, Risiko Tak Gratis
INFOMU.CO | Medan – Farid Wajdi Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020 menyoroti seputar MBG atau Makan Gizi Gratis. Akhir-akhir ini program MBG menjadi isu panas ditengah masyarakat. Perlu nggak sih, MBG itu dilanjutkan.
Kata Farid Wajdi, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diluncurkan dengan semangat luhur: memastikan anak-anak Indonesia mendapat asupan gizi layak, mengurangi beban keluarga, sekaligus menutup kesenjangan kualitas pendidikan akibat perbedaan sosial-ekonomi. Namun, alih-alih menuai apresiasi, program ini justru banjir kritik dan polemik. Dari kasus keracunan massal, distribusi yang amburadul, hingga menu yang dipandang tidak pantas, MBG tampak lebih seperti eksperimen politik ketimbang kebijakan publik yang matang.
Masalah paling mendasar terletak pada skala anggaran yang jumbo tetapi tata kelolanya keropos. Dengan proyeksi ratusan triliun rupiah per tahun, MBG sejatinya bukan program “gratis” sebagaimana jargon politik yang digaungkan. Ia adalah belanja publik dengan konsekuensi pajak rakyat. Di sinilah letak paradoks: alokasi anggaran nyaris setengah dari total pendidikan justru menghasilkan risiko kesehatan, bukan jaminan keselamatan. Dalam bahasa sederhana, publik sedang membayar mahal untuk sebuah janji yang justru menggerogoti masa depan anak-anak.
Sebut Farid, Kasus keracunan di berbagai daerah membuka borok yang selama ini ditutup jargon. Dari hulu ke hilir, rantai pasok MBG rapuh. Bahan baku yang tak terlacak asal-usulnya, penyimpanan tanpa rantai dingin, hingga vendor yang dipilih tanpa standar mutu ketat, menjadi ladang subur bagi kontaminasi. Laporan laboratorium yang menemukan bakteri berbahaya seperti E. coli hanyalah puncak gunung es dari lemahnya kontrol. Lebih ironis lagi, pemerintah tampak enggan mengambil langkah protektif berupa penghentian sementara, meski bukti bahaya sudah jelas.
Selain itu, menu yang disajikan kerap tidak sesuai standar gizi anak sekolah. Alih-alih mendukung tumbuh kembang, menu tersebut justru mengundang pertanyaan: apa benar “bergizi” berarti sekadar ada nasi, lauk seadanya, dan sayur tanpa perhitungan kalori maupun kebutuhan usia? Kebijakan publik yang mengatasnamakan kesehatan tidak boleh berhenti pada simbolisme, apalagi menutup mata dari praktik lapangan yang merugikan.
Dampak terburuk tentu saja menimpa anak-anak. Absensi meningkat karena sakit, proses belajar terganggu, bahkan muncul trauma dan penolakan dari orang tua. Kepercayaan terhadap sekolah dan negara pun tergerus. Bayangkan, institusi pendidikan yang seharusnya menjadi tempat paling aman justru berubah menjadi sumber ketidakpastian.
MBG Program Rapuh
Sementara itu, demikian Farid Wajdi yang kini menjadi pengajar di Pascasarjana UMSU itu, dari sisi efisiensi, kritik semakin keras. Dana jumbo yang seharusnya bisa memperbaiki fasilitas belajar, menambah tenaga pendidik, atau meningkatkan layanan kesehatan sekolah, dialokasikan pada program yang rapuh sejak perencanaan. Opportunity cost-nya sangat besar: apakah kita rela mengorbankan kualitas pendidikan demi program yang belum terbukti aman dan efektif?
Kekeliruan desain MBG jelas terlihat. Program ini dipaksakan secara nasional tanpa pilot project yang terukur. Mekanisme pengawasan longgar, vendor dipilih dengan logika volume, bukan kualitas. Tidak ada sistem tanggung jawab yang tegas ketika anak-anak menjadi korban. Dalam situasi demikian, label “gratis” justru menjadi ilusi yang menyesatkan.
Satu hal yang menjadi catatan penting: niat baik tidak membenarkan cara buruk. Negara wajib memastikan setiap rupiah belanja publik menghadirkan manfaat, bukan malapetaka. Karena itu, pemerintah harus berani mengambil langkah korektif: melakukan audit independen, menghentikan distribusi di wilayah bermasalah, menegakkan standar keamanan pangan, hingga memberikan kompensasi nyata bagi korban.
Tanpa itu, sebut Farid, MBG hanya akan tercatat sebagai proyek politik jangka pendek yang mahal, berisiko, dan berbahaya. Mungkin sudah saatnya kita bertanya dengan jujur: apakah “gratis” yang ditawarkan pemerintah benar-benar untuk rakyat, atau sekadar untuk menutup kegagalan negara mengelola amanah dengan akal sehat? (***)