Perkuat Peran BPR/BPRSyariah
Oleh :Dr. Salman Nasution, SE.I.,MA
Masih ingat, ketika ratusan bank tutup semenjak pendirian di Indonesia. Spekulasi pun muncul akan kehancuran ekonomi nasional, karena bank dianggap memiliki peranan yang vital dalam pembangunan ekonomi nasional. Sebagai lembaga keuangan yang penting, bank bergerak pada jasa keuangan pada aktivitas ekonomi seperti simpanan, pinjaman dan jasa lainnya, atau lebih tepatnya sebagai lembaga intermediasi. Kebutuhan masyarakat terhadap lembaga keuangan ini, tentu menambah kuantitas bank, tidak hanya perbankan dengan level bank umum, namun lembaga keuangan lainnya seperti BPR/BPRSyariah, Baitul maal waatamwil dan lainnya.
Perkembangan tidak hanya pada kuantitas eksistensi bank, namun juga jumlah nasabah yang melibatkan diri
pada aktivitas perbankan. Catatan-catatan tersebut adalah cerita dahulu, apalagi sebelum krisis moneter 1997-1998, yang mengakibatkan ratusan bank umum melakukan likuidasi, mau tidak mau atau tidak suka, mereka harus memperkuat modal melalui investasi pemegang saham, atau merger beberapa perbankan. Tindakan merger ini merupakan respons terhadap kondisi ekonomi dan bisnis yang mengalami kemandekan akibat krisis keuangan. Banyak nasabah tidak mampu membayar kewajibannya karena usaha yang dijalankan mengalami kerugian, sementara modal semakin terbatas.
Di sisi lain, masyarakat justru berbondong-bondong mendatangi lembaga keuangan untuk memperoleh pinjaman demi memenuhi kebutuhan hidup, padahal perputaran ekonomi seharusnya tetap berjalan secara normal. Situasi ini semakin pelik karena perbankan tidak memiliki likuiditas yang memadai, sementara para pengusaha kesulitan menjalankan usahanya akibat kekurangan modal. Akibatnya, kebutuhan hidup masyarakat mendesak, pekerjaan semakin sulit didapatkan, dan muncul gejolak sosial berupa meningkatnya kriminalitas seperti penjarahan, pencurian, dan kejahatan lainnya. Beruntung bank (BUMN) yang dimiliki oleh pemerintah, karena suntikan dana (bail-out) menjadi angin segar lembaga keuangan ini tetap bergerak. Bahkan, pemerintah siap utang ke luar negeri hanya untuk menghidupkan perusahaannya, namun data-data menunjukan, BUMN selalu rugi apalagi anak perusahaannya, padahal BUMN memiliki pasar yang jelas atau bisa dikatakan monopoli. Kerugian BUMN banyak disebabkan karena manajerial atau human error. Seharusnya kehadiran BUMN adalah supporter APBN. Jika melihat data bahwa sekitar 20 persen kontribusi BUMN terhadap APBN tahun 2024, namun belum dapat data bahkan tertutup, berapa besar persentase kontribusi APBN terhadap BUMN, seperti penyertaan modal, kerugian BUMN dan lainnya.
Kembali pada perbankan, kehadiran Bank Perekonomian Rakyat atau dikenal dengan BPR (atau BPR Syari’ah) adalah solusi bagi perekonomian rakyat, dimana BPR/Syariah hadir ditengah-tengah ekonomi rakyat menengah ke bawah (mikro). Bank yang disahkan legalitasnya pada tahun 1988 adalah jawaban dari kesengsaraan ekonomi
rakyat, disaat itu banyak rentenir memainkan perannya dengan jawaban solusi modal namun penderitaan menjadi-jadi. Pada saat itu, BPR, sebelum diubah namanya Perkreditan menjadi Perekonomian, berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Perubahan nama ini bertujuan memperkuat peran BPR/BPRSyariah dalam mendukung perekonomian masyarakat, terutama UMKM, dan memperluas cakupan layanannya, termasuk kegiatan penukaran valuta asing. Namun bagi penulis, apakah hanya dengan mengganti nama, BPR/BPRSyariah tidak bisa melakukan kegiatan valuta asing sementara satu diantara kegiatan perbankan adalah sebagai intermediasi, sementara yang penting dari kegiatan operasional BPR/BPRSyariah adalah SOP (Standar Operasional Prosedur), bahwa aktivitas keuangan BPR/BPRSyariah adalah berada dibawah ekonomi menengah ke bawah, sedangan bank umum berada di level menengah ke atas. Logikanya, tidak mungkinpenjual lontong bertransaksi valuta asing.
Dengan pergantian nama perkreditan menjadi perekonomian, tentu menambah persyaratan untuk eksistensi keberlanjutan BPR/BPRSyariah. Adanya peraturan POJK Nomor 5/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti BPR/BPRSyariah wajib memiliki miminum kewajiban modal inti yakni Rp. 3 miliar di 2020 dan Rp. 6 miliar pada 2024. Ada 3 (tiga) yang harus dilakukan BPR/BPRSyariah lakukan diantaranya perkuat modal (menerima investasi), merger, atau tutup. Tidak sedikit BPR/BPRSyariah tidak memiliki modal lebih dari Rp. 6 miliar.
Pemerintah harus memetakan kebutuhan dan pemanfaatan BPR/BPRSyariah dalam perekonomian masyarakat. Jika kebutuhan masyarakat bersifat massif dan besar, maka kebutuhan masyarakat dapat tertuju pada bank umum, apalagi bank umum saat ini sudah sangat besar dari sisi modal dan perkantorannya. Reformasi BPR/BPRSyariah seperti yang diharapkan pemerintah, tentu kalah saing dari sisi jumlah aset, bangunan serta modal. BPR/BPRSyariah cukup berperan pada perekonomian yang sedang dan kecil, sebagai lembaga keuangan antisipatif rentenir yang menggurita di kalangan masyarakat.
Tentunya, BPR/BPRSyariah harus lebih aktif untuk mensosialisasikan produknya ke masyarakat secara massif dan efektif, walaupun mereka sudah menjamah kepada masyarakat seperti UMKM, sekolah atau madrasah. Jika ada pertanyaan nasabah BPR/BPRSyariah terkait kebutuhan yang lebih besar, ada 2 (dua) jawaban diantaranya nasabah belum banyak melakukan yang lebih besar, dengan simpanan dan pinjaman sudah memenuhi kehidupan sehari-hari, apalagi pendapatan mereka belum cukup melakukan hal-hal yang besar, disamping ketidak-adanya pengetahuan, motivasi, pemikiran berbisnis yang lebih besar. Namun jika ditanya lebih lanjut, bagaimana mereka membutuhkan layanan dari perbankan untuk melakukan transaksi yang lebih besar. Mereka menjawab akan melakukan transaksi terhadap bank-bank yang sudah besar seperti bank umum.
Beberapa lembaga keuangan lainnya seperti Baitul maal wattamwil sudah mengalami penutupan massal, begitu juga dengan koperasi sudah hampir musnah. Kebijakan presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto mengangkat posisi koperasi menjadi kebutuhan masyarakat dengan program dan efeknya di desa. Koperasi Merah Putih dibantu secara langsung oleh pemerintah dengan persyaratan yang sudah ditentukan sebagaimana Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. Koperasi Merah Putih ini dibiayai operasional dengan memberikan pinjaman dengan bunga rendah (6% per tahun) hingga Rp. 3 miliar.
Penulis berfikir lebih jauh bahwa, BPR/BPRSyariah harus dilibatkan pada program-program pemerintah dipedesaan seperti pada Koperasi Merah Putih, apakah dengan tabungan atau pembiayaan skala kecil, pembinaan masyarakat seperti edukasi laporan keuangan koperasi, konsultasi keuangan, sebagaimana perannya pada level menengah ke bawah, maka layak untuk disandingkan program-program pemerintah di tingkat pedesaan. Tentunya, BPR/BPRSyariah harus menangkap potensi program-program pemerintah di pedesaan, seperti potensi Koperasi Merah Putih, mengingat kebijakan pemerintah ini sangat besar. Karena potensi keberhasilan ekonomi pada BUMDes menjadi ikon ekonomi dan bisnis di desa yang meningkatkan pendapatan masyarakat. Sselain itu, dukungan penuh Koperasi Merah Putih, Program Keluarga Harapan, Anggaran Dana
Desa, Bantuan Langsung Tunai, dan lainnya menjadi program kerja yang harus diperankan oleh BPR/BPRSyariah untuk menguatkan eksistensinya sebagai lembaga keuangan yang masih dibutuhkan oleh masyarakat di level ekonomi menengah ke bawah.
Akhir paragraf ini, penulis mengemukakan bahwa BPR/BPR Syariah harus menjadi garda terdepan dalam menangani permasalahan-permasalahan ekonomi, yaitu sebagai lembaga alternatif bahkan solusi bagi masyarakat pedesaan maupun ekonomi level menengah ke bawah. Pemerintah melalui OJK bersama-sama dengan BPR/BPR Syariah perlu melihat kebutuhan nyata masyarakat, memperkuat akses pembiayaan yang mudah dan terjangkau, serta meningkatkan literasi keuangan agar masyarakat tidak terjerat praktik pinjaman ilegal. Dengan demikian, BPR/BPR Syariah tidak hanya hadir sebagai institusi finansial, tetapi juga sebagai motor pemberdayaan ekonomi rakyat yang berkeadilan, berkelanjutan, dengan prinsip ekonomi kerakyatan atau Syariah.
*** Penulis adalah Dosen UMSU, Pengurus MES Sumut dan KPEU MUI SU

