Manajemen Parkir di Medan: Eksperimen Gagal dan Ketidakpastian
Di tengah isu panas dinamika politik nasional, terjadi pergantian sistem parkir di Kota Medan dari berlangganan berbasis stiker ke sistem konvensional. Tentu itu bukan sekadar soal teknis di lapangan. Ia adalah cermin buruk tentang bagaimana kebijakan publik sering kali lahir tergesa, dieksekusi setengah hati, lalu ditinggalkan begitu saja tanpa evaluasi menyeluruh. Pertanyaan mendasar pun mencuat: untuk siapa sebenarnya kebijakan parkir ini dibuat—untuk kepentingan masyarakat luas atau sekadar melanggengkan kepentingan segelintir pihak?
Ketika sistem parkir berlangganan diluncurkan pada Juli 2024, ia digadang sebagai solusi modern: cukup bayar sekali setahun, pengendara terbebas dari pungutan harian, dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) bisa lebih stabil. Tarifnya pun relatif terjangkau—Rp 90 ribu untuk motor, Rp130 ribu untuk mobil, dan Rp170 ribu untuk truk atau bus. Secara konsep, sistem ini masuk akal. Namun, yang tampak di lapangan justru ketidaksiapan manajemen dan lemahnya pengawasan. Juru parkir (jukir) masih menagih secara konvensional, pengendara kebingungan menunjukkan stiker, dan benturan sosial pun tak terhindarkan. Alih-alih memberi kepastian, sistem ini justru menambah kerumitan.
Kini, hanya setahun berjalan, sistem berlangganan resmi ditarik. Medan kembali ke pola lama: parkir konvensional dengan jukir sebagai ujung tombak. DPRD Medan bahkan mendukung penuh langkah ini dengan dalih lebih praktis dan lebih bisa mendongkrak PAD. Namun, di balik alasan tersebut, publik berhak bertanya: apakah kegagalan sistem lama sudah benar-benar dievaluasi secara mendalam? Apakah hanya karena muncul konflik di lapangan, maka sistem baru ditutup tanpa mencoba memperbaiki titik lemahnya? Atau justru ada kepentingan yang lebih nyaman dipertahankan lewat model konvensional—sebab transparansi tarif dan setoran kerap kabur di jalan?
Jika ditelaah, sistem parkir konvensional memang memberi keuntungan jangka pendek bagi jukir dan birokrasi pengelola. Jukir tetap bisa bekerja dengan pola yang familiar, Dishub tidak perlu lagi mengurus administrasi stiker, dan PAD tetap mengalir, meski dengan tingkat kebocoran yang sulit diukur. Tapi masyarakat, sekali lagi, hanya menjadi objek percobaan. Mereka kehilangan kepastian tarif, rawan menghadapi pungli, dan tetap berada dalam sistem yang nyaris tak pernah memberi pelayanan transparan.
Lebih jauh, publik juga berhak mengetahui: berapa sebenarnya kontribusi sektor parkir terhadap APBD? Data menunjukkan, hanya untuk alokasi gaji jukir dan pencetakan stiker, APBD Medan menyedot Rp 26 miliar di 2024 dan Rp 79 miliar di 2025. Angka yang fantastis ini belum tentu berbanding lurus dengan pemasukan riil ke kas daerah. Ironis, jika anggaran sebesar itu justru habis untuk membiayai sistem yang akhirnya dianggap gagal.
Kegagalan parkir berlangganan di Medan seharusnya dijadikan pelajaran penting. Kota ini tidak kekurangan sumber daya manusia maupun teknologi untuk menerapkan sistem modern. Yang kurang adalah perencanaan matang, komunikasi publik yang jelas, serta kemauan politik untuk mengawal kebijakan hingga tuntas. Tanpa itu semua, setiap kebijakan hanya akan jadi eksperimen sesaat, berganti wajah tiap tahun, dan akhirnya menambah daftar panjang frustrasi warga.
Karena itu, jika pemerintah kota benar-benar serius menjadikan sektor parkir sebagai sumber PAD sekaligus layanan publik yang bermartabat, ada dua hal mendasar yang perlu dijalankan. Pertama, lakukan evaluasi menyeluruh berbasis data, bukan sekadar respons instan terhadap polemik. Kedua, libatkan publik dan pengendara dalam proses perumusan kebijakan, sehingga setiap sistem yang diluncurkan punya legitimasi sosial dan tidak hanya terasa seperti aturan dari atas. Tanpa langkah itu, parkir Medan akan terus menjadi cerita tentang kebijakan yang datang dan pergi—tanpa pernah benar-benar memberi jawaban?
*** Farid Wajdi
Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020

