Membangun Generasi Unggul: Peran Strategis Mahasiswa dalam Revolusi Industri 5.0
Oleh : Partaonan Harahap
Penulis adalah Sekretaris LPCR-PM Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara ,
Dosen Fakultas Teknik UMSU dan Ketua Asosiasi Alumni Teknologi Teladan Medan (AATT)
Revolusi Industri 5.0 bukanlah sekadar kelanjutan dari Revolusi Industri 4.0 yang ditandai dengan digitalisasi dan otomatisasi di berbagai sektor, melainkan lompatan paradigma menuju kolaborasi antara manusia dan mesin secara harmonis. Di era ini, teknologi tidak lagi menggantikan peran manusia, tetapi justru menjadi mitra dalam menciptakan nilai-nilai baru yang berbasis pada empati, kreativitas, dan kecerdasan emosional. Oleh karena itu,
pembangunan sumber daya manusia yang unggul menjadi agenda strategis bangsa, dan mahasiswa berada di garis depan perubahan tersebut. Mereka adalah generasi transisi yang harus mampu menjad jembatan antara kemampuan teknologis dan nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam konteks Indonesia, tantangan globalisasi, transformasi digital, serta kompleksitas sosial dan lingkungan menuntut kehadiran generasi muda yang tidak hanya kompeten secara akademik, tetapi juga berdaya saing, beretika, dan berkontribusi nyata dalam pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, opini ini mengangkat tiga subbahasan penting yang saling berkaitan:
(1) Makna Revolusi Industri 5.0 dan Implikasinya terhadap Dunia Pendidikan,
(2) Peran Strategis Mahasiswa sebagai Agen Perubahan, dan (3) Strategi Membangun Generasi
Unggul Menuju Indonesia Emas 2045.
Makna Revolusi Industri 5.0 dan Implikasinya terhadap Dunia Pendidikan Revolusi Industri 5.0 muncul sebagai respons terhadap ketidakseimbangan yang ditimbulkan oleh Revolusi Industri 4.0, di mana efisiensi dan kecepatan kerap mengabaikan dimensi kemanusiaan. Di era 4.0, manusia banyak digantikan oleh mesin, pekerjaan menjadi terspesialisasi, dan ketimpangan sosial meningkat karena tidak semua individu memiliki akses
atau kemampuan untuk bersaing secara digital. Maka, Revolusi Industri 5.0 hadir membawa misi kemanusiaan: mengembalikan sentralitas manusia dalam ekosistem industri melalui pemanfaatan teknologi cerdas yang mendukung nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam kerangka ini, dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, dituntut untuk melakukan reorientasi kurikulum. Tidak cukup hanya melatih mahasiswa menguasai perangkat lunak, bahasa pemrograman, atau keterampilan teknis lainnya. Pendidikan di era 5.0 harus menanamkan nilai-nilai empati, kepemimpinan kolaboratif, kemampuan berpikir kritis dan adaptif, serta kemampuan untuk terus belajar di luar batas ruang kelas. Mahasiswa perlu disiapkan tidak hanya menjadi tenaga kerja, tetapi juga pencipta lapangan kerja, pemimpin komunitas, dan inovator sosial.
Implikasinya sangat luas: lembaga pendidikan tinggi perlu memfasilitasi pembelajaran lintas disiplin, menggabungkan ilmu sosial, humaniora, dan teknologi dalam satu kerangka pembelajaran yang dinamis. Pembelajaran harus berpusat pada mahasiswa (student-centered learning), yang memberikan ruang bagi eksplorasi, eksperimen, dan inisiatif pribadi. Mahasiswa didorong untuk tidak hanya menerima pengetahuan, tetapi menciptakan pengetahuan baru yang relevan dengan tantangan zaman.
Peran Strategis Mahasiswa sebagai Agen Perubahan
Mahasiswa, sebagai kaum intelektual muda dan bagian dari bonus demografi Indonesia, memiliki posisi strategis dalam mendukung transformasi bangsa di era 5.0. Mereka adalah kelompok yang memiliki akses terhadap informasi global, peka terhadap perubahan sosial, serta cukup fleksibel dalam menerima dan memanfaatkan teknologi. Dengan potensi tersebut, mahasiswa dapat mengambil berbagai peran penting dalam kehidupan masyarakat, baik dalam ranah sosial, ekonomi, politik, maupun lingkungan. Kampus sebagai pusat ilmu pengetahuan adalah ladang subur bagi lahirnya inovasi. Mahasiswa dapat menjadi motor penggerak dalam
menciptakan teknologi tepat guna, membangun startup berbasis teknologi dan sosial, serta melakukan penelitian terapan yang menyentuh kebutuhan masyarakat. Dengan pendekatan design thinking dan pemanfaatan teknologi digital, mahasiswa dapat menghadirkan solusi kreatif terhadap permasalahan lokal.
Di tengah kompleksitas masalah kemiskinan, ketimpangan, hingga krisis lingkungan, mahasiswa harus menjadi bagian dari solusi. Mereka bisa terlibat dalam gerakan sosial, advokasi kebijakan publik, hingga program pengabdian masyarakat yang nyata dan berkelanjutan. Peran ini tidak hanya memberikan dampak sosial, tetapi juga melatih mahasiswa untuk menjadi pemimpin yang memiliki kepekaan dan empati terhadap kondisi sekitarnya. Dalam era Revolusi Industri 5.0, literasi digital menjadi syarat utama untuk mampu bersaing. Mahasiswa bisa menjadi agen literasi digital bagi masyarakat luas, membantu kelompok rentan memahami dan
menggunakan teknologi secara produktif, serta menjadi pelindung masyarakat dari hoaks dan disinformasi.
Dalam sejarah Indonesia, mahasiswa selalu hadir di garda depan perubahan, mulai dari era pergerakan kemerdekaan hingga reformasi. Semangat kritis dan idealisme mahasiswa menjadi benteng terakhir ketika institusi negara gagal menjalankan fungsinya. Di era 5.0, tantangan etika dan tata kelola yang baik menjadi semakin kompleks. Oleh karena itu, mahasiswa tetapdibutuhkan sebagai suara nurani bangsa.
Strategi Membangun Generasi Unggul Menuju Indonesia Emas 2045
Indonesia menargetkan menjadi negara maju pada tahun 2045, tepat 100 tahun setelah kemerdekaan. Visi besar ini hanya dapat tercapai jika bangsa ini mampu membangun generasi muda yang unggul dalam berbagai aspek: intelektual, karakter, keterampilan, serta kepemimpinan. Membangun generasi unggul berarti mempersiapkan mahasiswa tidak hanya untuk dunia kerja hari ini, tetapi juga untuk tantangan masa depan yang belum diketahui.
Beberapa strategi yang bisa ditempuh antara lain:
Pertama, penguatan pendidikan karakter dan literasi digital. Pendidikan karakter harus menanamkan nilai integritas, kerja keras, tanggung jawab, dan kolaborasi. Di sisi lain, literasi digital harus menjadi bagian dari semua program studi, agar mahasiswa mampu menjadi pengguna dan pencipta teknologi yang bijaksana.
Kedua, membangun ekosistem inovasi di kampus. Kampus harus menjadi tempat yang memfasilitasi kreativitas dan riset mahasiswa. Inkubator bisnis, laboratorium inovasi sosial, serta kolaborasi dengan industri harus diperkuat. Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) merupakan momentum penting yang harus dimanfaatkan untuk memperluas pengalaman belajar mahasiswa di luar kampus.
Ketiga, internasionalisasi pendidikan tinggi. Mahasiswa perlu dibekali dengan wawasan global melalui program pertukaran pelajar, magang internasional, atau kolaborasi riset lintas negara. Dalam dunia yang semakin terhubung, keunggulan bersaing ditentukan oleh kemampuan adaptasi lintas budaya dan jejaring global.
Keempat, mendorong kewirausahaan mahasiswa. Pendidikan tinggi tidak lagi cukup hanya mencetak lulusan pencari kerja, tetapi harus mencetak pencipta kerja. Mahasiswa harus didorong menjadi wirausahawan sosial dan digital, yang mampu membangun usaha sekaligus memberikan solusi atas masalah masyarakat.
Kelima, pelibatan aktif dalam pembangunan daerah. Mahasiswa harus dilibatkan dalam program-program strategis daerah, baik dalam perencanaan pembangunan, penyuluhan teknologi, atau peningkatan kapasitas masyarakat. Dengan demikian, mereka menjadi bagian dari pembangunan nasional sejak masih menjadi mahasiswa.
Penutup
Revolusi Industri 5.0 membawa perubahan fundamental dalam cara hidup, bekerja, dan belajar. Di tengah disrupsi teknologi yang semakin cepat, mahasiswa memiliki peran strategis sebagai jembatan antara teknologi dan kemanusiaan. Mereka bukan hanya calon profesional masa depan, tetapi juga pemimpin, inovator, dan penjaga nilai-nilai bangsa.
Membangun generasi unggul berarti membekali mahasiswa dengan keterampilan abad 21, karakter tangguh, dan semangat kolaborasi lintas sektor. Dunia pendidikan, pemerintah, industri, dan masyarakat harus bersinergi untuk menciptakan ekosistem pembelajaran yang inklusif dan transformatif. Hanya dengan demikian, kita dapat mewujudkan cita-cita besar Indonesia Emas 2045, dengan mahasiswa sebagai salah satu tonggak utamanya. (***
*** Penulis, adalah Sekretaris LPCR-PM Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara , Dosen Fakultas Teknik UMSU dan Ketua Asosiasi Alumni Teknologi Teladan Medan (AATT)

