Menjaga Adab dan Marwah Sistem Formatur dalam Kepemimpinan Muhammadiyah
(Tulisan ke Sepuluh dari Beberapa Tulisan)
Oleh: Amrizal, S.Si., M.Pd – (Wakil Ketua MPKSDI PWM Sumut/Dosen Unimed)
“Adab lebih tinggi daripada ilmu. Kepemimpinan tanpa adab hanya melahirkan konflik dan kekacauan.”
Ketika Kepemimpinan Menjadi Ujian Akhlak Muhammadiyah bukan hanya organisasi dakwah. Ia adalah gerakan pembaharuan Islam yang meletakkan nilai akhlak, adab, dan integritas sebagai fondasi utama. Dalam setiap tingkatan kepemimpinan, dari Pimpinan Ranting hingga Pimpinan Pusat, sistem pemilihan tidak hanya dimaknai sebagai ajang demokrasi, tetapi juga proses spiritual dan moral dalam menentukan pemegang amanah.
Salah satu ciri khas Muhammadiyah yang menjunjung tinggi nilai kolektifitas adalah sistem formatur. Sistem ini bukan sekadar teknis memilih ketua dan pimpinan, melainkan ruang kontemplatif untuk mengenali siapa yang paling siap memikul beban dakwah. Namun, dalam dinamika kontemporer, mulai tampak keretakan kecil: ambisi individu, pembangkangan adab, dan keinginan untuk memaksakan kehendak telah mulai menodai proses sakral ini.
Memahami Sistem Formatur dalam Muhammadiyah
Sistem formatur dalam Muhammadiyah merupakan bentuk demokrasi musyawarah yang telah berlangsung sejak masa awal berdirinya. Berikut tahapan umum dalam Musyawarah:
1. Pengumpulan Aspirasi Awal, Pimpinan/Anggota Muhammadiyah mengusulkan nama-nama calon pimpinan yang dinilai layak.
2. Pemilihan 39 Besar, Dari usulan awal, dilakukan pemungutan suara untuk memilih 39 nama.
3. Pemilihan 13 Formatur, Dari 39 nama, musyawirin memilih 13 yang mendapat suara terbanyak. Inilah tim formatur.
4. Pemilihan Ketua oleh Formatur, Setelah itu, ke-13 anggota formatur bermusyawarah untuk menentukan Ketua. Secara adab, formatur pertama (dengan suara terbanyak) ditanya lebih dulu tentang kesediaannya, dan jika bersedia, anggota lain memberi dukungan penuh dengan semangat sami‘na wa atha‘na. “Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka.” (QS. Asy-Syura: 38)
Ketika Adab Ditinggalkan, Amanah Menjadi Rusak
Belakangan, muncul fenomena yang mengkhawatirkan: ketika formatur terpilih tidak menghormati urutan suara terbanyak, atau bahkan mengusulkan calon ketua lain meski dirinya sendiri mendapat dukungan kecil. Ada pula yang secara diam-diam membangun “koalisi” untuk menghalangi kader dengan suara tinggi menjadi ketua. Ini bukan hanya menciderai sistem, tapi juga melukai ruh adab yang diwariskan KH. Ahmad Dahlan dan para tokoh
Muhammadiyah awal. Jika dibiarkan, maka sistem formatur yang bijak akan berubah menjadi ajang manuver kekuasaan.
Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang meminta kepemimpinan, maka kami tidak akan memberikannya kepadanya. Dan siapa yang dibebankan kepadanya tanpa meminta, maka Allah akan menolongnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Contoh-Contoh Pelaksanaan Rapat Formatur yang Menginspirasi
1. Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar (2015), Dalam proses pemilihan, Prof. Dr. Haedar Nashir mendapatkan suara tertinggi. Ketika ditanya oleh tim formatur, beliau tidak langsung menyatakan kesediaan, melainkan bertanya kepada yang lain, mengajak bermusyawarah. Namun akhirnya semua memberi kepercayaan penuh. Inilah wujud ketawadhu’an dan penghormatan terhadap adab formatur.
2. PWM Sumatera Utara (2005), Musyawarah wilayah yang dilaksanakan di Kota Siantar yang mendapatkan suara terbanyak kala itu adalah Bapak Drs, Mario Kasduri, MA. Namun ketika ditanyakan kesediaan beliau, beliau belum siap untuk menjadi ketua dan menyatakan tidak bersedia. Setelah suara pertama tidak bersedia maka ditanyakan kepada suara tertinggi kedua, saat itu Bapak Prof. Dr, Asmuni, MA. Beliau tidak bersedia karena tidak mendapatkan izin dari Rektor UIN, karena beliau masa itu sedang menjabat sebagai Wakil Rektor II UIN Sumut. Suara tertinggi pertama dan kedua setelah dipertanyakan tidak bersedia, maka ditanyakanlah kepada suara tertinggi ketiga, saat itu bapak Drs, Dalail Ahmad, MA. Alhamdulillah beliau bersedia dan dengan Mufakat seluruh formatur Bapak Dalail Ahmad terpilih sebagai Ketua PW. Muhammadiyah Sumatera Utara periode
2005-2010.
Menanamkan Kesadaran: Adab di Atas Segalanya
Agar sistem formatur tetap bersih dan beradab, Muhammadiyah perlu melakukan langkah-langkah strategis:
1. Pembinaan Akhlak Organisasi Sejak Dini, Baitul Arqam harus menanamkan bahwa menjadi pemimpin bukan kehormatan, tapi beban amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
2. Etika Musyawarah Dibahas dalam Materi Kaderisasi, Setiap calon pimpinan harus memahami aturan tidak tertulis bahwa urutan suara mencerminkan aspirasi umat, bukan sekadar angka.
3. Penguatan Budaya Samikna Wa Atha‘na, Budaya ini harus dihidupkan agar tidak ada “penentang dalam tim formatur” yang malah menolak suara tertinggi hanya karena alasan pribadi atau kelompok.
4. Transparansi dan Etika Komunikasi dalam Rapat Formatur, Proses pemilihan ketua seharusnya menjadi ruang doa dan diskusi ikhlas, bukan lobi dan strategi dominasi.
Nasihat Para Tokoh Muhammadiyah
Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif “Kepemimpinan Muhammadiyah itu bukan urusan siapa duduk di atas, tapi siapa yang paling siap untuk melayani dengan ikhlas.”
Prof. Dr. Haedar Nashir “Bermuhammadiyah itu harus ikhlas. Ketika masuk dalam sistem, jangan berpikir tentang diri sendiri. Pikirkan umat dan masa depan dakwah.”
Menjaga Ruh Musyawarah
Sistem formatur bukan sekadar sistem administratif, tapi warisan adab dari pendiri Muhammadiyah. Kita semua memikul tanggung jawab untuk menjaga agar sistem ini tidak terdegradasi oleh ambisi dan kepentingan. Kita harus kembali menanamkan bahwa pemimpin Muhammadiyah bukan dipilih untuk dilayani, tapi untuk melayani. Bukan untuk disanjung, tetapi untuk memikul beban dakwah.
Mari kita jaga bersama marwah sistem formatur. Jadikan setiap musyawarah sebagai ladang adab, dan setiap amanah sebagai sarana taqarrub kepada Allah. “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang beriman yang mengikutimu.” (QS. Asy-Syu‘ara: 215) “Pemimpin Muhammadiyah tidak lahir dari ambisi, tetapi dari kesediaan memikul amanah dengan adab dan keikhlasan.”
Wallahu a’lam Bish Shawab

